TIMES JATIM, JOMBANG – Pondok Pesantren Mambaul Hikam di Jatirejo Barat, Diwek, Jombang, tampak lebih ramai dari biasanya, Senin (24/11/2025). Sejak pagi, puluhan peserta Pelatihan Penggerak Moderasi Beragama dan Internalisasi Ekoteologi berdatangan. Mereka datang dari berbagai provinsi, mulai Sulawesi, Kalimantan, Bali, NTB, hingga Jawa. Tujuan mereka sama: melihat langsung bagaimana sebuah pesantren menerapkan prinsip ekoteologi dalam kehidupan sehari-hari.
Rombongan disambut hangat oleh pengasuh pesantren dan para santri. Suasana cair dan penuh rasa ingin tahu langsung terasa. Peserta yang sebagian besar adalah dosen, guru madrasah, guru pesantren, dan pegawai Kementerian Agama itu kemudian diarahkan menuju aula pertemuan pesantren untuk mendapatkan pemaparan awal.
Di hadapan peserta, Kepala Ma’had Manbaul Hikam, Hj. Maftuhah Mustiqowati, memulai sesi dengan penjelasan sederhana tetapi mengena. Ia menguraikan bahwa konsep ekoteologi—atau yang ia sebut sebagai ekomoderasi—sudah menjadi bagian dari budaya pesantren sejak hampir satu dekade lalu.
“Program ini sudah berjalan sejak 2015. Saat itu kami fokus dulu ke internal pesantren. Santri kami ajak peduli lingkungan melalui kegiatan-kegiatan kecil, seperti sedekah sampah dan pemanfaatan botol bekas,” tuturnya.
Menurutnya, gerakan itu tumbuh natural dari kesadaran bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari nilai keagamaan. Ekoteologi di pesantren bukan sekadar program kebersihan, tetapi gerakan yang menggunakan ajaran agama sebagai penggerak perubahan perilaku. “Kami memakai pendekatan teologi agar kecintaan terhadap lingkungan itu tidak hanya dipahami, tetapi dipraktikkan,” ujar Hj. Maftuhah.
Memasuki tahun-tahun berikutnya, program ekomoderasi tidak lagi berjalan sendirian. Pesantren mulai memperluas kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk komunitas lintas agama. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jombang dan umat Khonghucu menjadi dua mitra aktif yang terlibat dalam berbagai aksi lingkungan bersama. Fase ini menandai perubahan penting dalam cara pesantren memaknai moderasi beragama: bukan hanya wacana dialog, tetapi kerja nyata di lapangan.

“Lama kelamaan kami merasa perlu menggandeng saudara-saudara dari agama lain. Lingkungan itu milik bersama, jadi upaya merawatnya juga harus dilakukan bersama,” jelasnya. Kolaborasi itu diwujudkan dalam beragam kegiatan, mulai dari pembuatan biopori di area gereja dan klenteng, pengumpulan minyak jelantah, hingga pengolahan sampah plastik dan kertas.
Santri dan siswa dari lembaga pendidikan di bawah GKI Jombang bekerja bareng dalam proses itu. Menurut Hj. Maftuhah, kolaborasi tersebut bukan hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi sekaligus menjadi media pendidikan karakter dan toleransi. “Mereka belajar dua hal sekaligus: menjaga bumi dan belajar menghormati saudara sebangsa yang berbeda keyakinan,” katanya.
Kolaborasi lintas iman ini juga terintegrasi dengan program Asta Protas Ekoteologi, sebuah kerangka gerakan lingkungan berbasis nilai keagamaan yang dikembangkan pesantren. “Jadi apa yang kami sebut ekomoderasi memang berkelindan dengan Asta Protas ini. Keduanya berjalan beriringan,” tambahnya.
Pemaparan Hj. Maftuhah mendapat dukungan penuh dari Pendeta GKI Jombang, Diah Nooraini Kristianti, yang turut hadir. Diah mengatakan, kerja sama ini sangat berdampak pada siswa-siswa di bawah naungan GKI. Lewat kegiatan bersama santri Pesantren Manbaul Hikam, siswa belajar memaknai cinta lingkungan sekaligus cinta sesama sejak dini.
“Kami melihat program ini sangat positif. Siswa kami tidak hanya belajar soal ekologi, tetapi juga memahami bahwa keberagaman itu harus dijaga. Mereka belajar langsung bagaimana menjaga lingkungan, sambil menjaga kerukunan antarumat beragama,” tegas Diah. Ia menilai pengalaman konkret semacam ini jauh lebih efektif daripada sekadar teori di kelas.
Setelah sesi pemaparan, peserta pelatihan diajak berkeliling area pesantren. Mereka menyaksikan langsung proses pembuatan sabun dari minyak jelantah, pembuatan ekoenzim, hingga pembuatan kaligrafi dari bubur kertas. Di setiap titik, santri menjelaskan proses dan manfaatnya dengan mantap.
Beberapa peserta terlihat antusias bertanya, terutama mengenai proses pengolahan limbah minyak jelantah menjadi sabun. Ada pula peserta yang mencatat detail pembuatan ekoenzim untuk diterapkan di sekolah atau pesantren mereka. “Ini bisa kami bawa ke daerah kami. Modelnya sederhana, tetapi dampaknya besar,” ujar salah satu peserta dari Sulawesi Selatan.
Kunjungan belum berakhir. Para santri lalu menampilkan wayang Potehi sebagai bagian dari praktik seni budaya yang terus dilestarikan di pesantren. Para peserta tampak menikmati pertunjukan itu, yang menurut pihak pesantren menjadi simbol bahwa pelestarian lingkungan dan pelestarian budaya bisa berjalan beriringan.
Pelatihan ini sendiri merupakan program resmi Kementerian Agama yang diselenggarakan oleh UIN SATU Tulungagung. Kegiatan dimulai sejak 19 November 2025 dan berlangsung lebih dari sepekan. Peserta berasal dari berbagai wilayah, antara lain Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Jambi, dan sejumlah provinsi lain.
Program ini diharapkan mampu menguatkan praktik moderasi beragama sekaligus menanamkan kepedulian lingkungan di lembaga pendidikan berbasis agama di seluruh Indonesia. Dan Pesantren Mambaul Hikam dengan pengalaman panjangnya membangun ekoteologi lintas iman, kini menjadi salah satu rujukan penting bagi upaya tersebut. (*)
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |