TIMES JATIM, PONOROGO – Dalam tradisi negara hukum (rechtsstaat), hukum acara pidana sejatinya dirancang sebagai benteng terakhir untuk membatasi kekuasaan negara ketika berhadapan langsung dengan kebebasan warga. Karena, tanpa prosedur yang adil dan pasti, hukum kehilangan legitimasi moralnya dan berubah menjadi alat dominasi.
Namun, hadirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2025 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dijadwalkan berlaku pada 2 Januari 2026, justru menempatkan Indonesia pada sebuah jalan terjal dan persimpangan penting negara hukum.
Hukum pidana baik materiil maupun formil merupakan wajah paling nyata dari legitimasi negara, karena melalui instrumen inilah negara membatasi kebebasan warganya secara langsung. Oleh sebab itu, hukum acara pidana semestinya menjadi penjaga gerbang (gatekeeper) prinsip negara hukum: menjamin due process of law, melindungi hak asasi manusia, dan memastikan pengawasan yang efektif terhadap penggunaan kekuasaan.
Sayangnya, KUHAP Baru justru memunculkan sejumlah persoalan mendasar. Salah satunya adalah ketentuan peralihan yang problematik. Aturan yang membiarkan dua rezim hukum acara pidana berjalan bersamaan KUHAP lama dan KUHAP baru dalam satu tahapan proses peradilan, berpotensi menciptakan ketidaksinkronan dan ketidakpastian hukum.
Ketika sebuah perkara telah dilimpahkan ke pengadilan, tetapi pemeriksaan belum dimulai hingga KUHAP Baru berlaku, maka pemeriksaan dilakukan berdasarkan KUHAP Baru. Situasi ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan ancaman serius terhadap asas kepastian hukum (legal certainty) dan asas peradilan yang adil.
Dalam perspektif negara hukum, kepastian hukum adalah prasyarat keadilan. Hukum acara pidana tidak boleh bersifat ambigu, apalagi membuka ruang tafsir yang berbeda-beda di antara aparat penegak hukum.
Ketika dua rezim hukum berjalan paralel, risiko lumpuhnya fungsi peradilan menjadi nyata: hakim, jaksa, advokat, dan aparat penegak hukum lainnya akan berhadapan dengan standar prosedural yang tidak seragam. Korban dan terdakwa pun berada dalam posisi rentan karena hak-haknya dapat ditafsirkan secara berbeda bergantung pada rezim hukum yang diterapkan.
Masalah tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses pembentukan KUHAP Baru yang terkesan tergesa-gesa dan minim partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Negara hukum menuntut pembentukan undang-undang yang terbuka, deliberatif, dan akuntabel. Ketika ruang partisipasi publik dipersempit, kualitas norma yang dihasilkan pun rentan mengandung kontradiksi internal dan bias kekuasaan.
Kekhawatiran ini semakin menguat ketika KUHAP Baru memperluas dominasi kewenangan aparat tertentu, khususnya melalui subordinasi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) kepada penyidik Polri. Pengaturan ini berpotensi menggerus independensi penyidikan dan menghambat efektivitas penegakan hukum sektoral, misalnya di bidang lingkungan hidup, kehutanan, atau kelautan.
Dalam konteks reformasi kelembagaan, dominasi kewenangan yang berlebihan justru kontraproduktif dengan agenda pembenahan institusi penegak hukum, termasuk reformasi Kepolisian Republik Indonesia yang selama ini menjadi harapan publik.
Lebih jauh, hingga akhir Desember 2025 ini, berbagai aturan pelaksana KUHAP dan KUHP Baru, baik itu dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, maupun peraturan Mahkamah Agung, belum sepenuhnya tersedia. Padahal, dalam negara hukum, undang-undang yang membatasi hak dan kebebasan warga harus didukung oleh kerangka regulasi turunan yang jelas dan kesiapan institusional yang memadai. Tanpa masa transisi yang terencana, penerapan KUHAP Baru berpotensi menimbulkan kekacauan administratif dan kesulitan teknis di seluruh sistem peradilan pidana.
Kekhawatiran lain yang tak kalah serius adalah kecenderungan penggunaan hukum pidana sebagai alat kontrol sosial dan politik. Pemidanaan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berdemonstrasi semakin menguat.
Dalam praktik, hukum pidana tidak lagi tampil sebagai instrumen perlindungan warga negara, melainkan sebagai sarana pembungkaman kritik. Fenomena ini bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis, yang menempatkan kebebasan sipil sebagai fondasi utama.
Kerentanan yang sama terlihat dalam isu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam. Pembela lingkungan, masyarakat adat, petani, mahasiswa, dan pendamping hukum kerap berhadapan dengan jerat pidana, sementara pelaku perusakan lingkungan berskala besar dan korporasi sering kali luput dari pertanggungjawaban. Ketimpangan ini menunjukkan adanya impunitas struktural yang diperkuat oleh diskresi aparat penegak hukum yang luas tanpa pengawasan yudisial yang efektif.
Dalam kerangka negara hukum, diskresi memang diperlukan, tetapi harus dibatasi oleh mekanisme kontrol yang ketat dan transparan. Diskresi tanpa pengawasan yudisial yang kuat hanya akan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan dan merusak kepercayaan publik terhadap hukum.
Lebih berbahaya lagi, kegagalan menempatkan hukum acara pidana sebagai penjamin perlindungan hak asasi manusia termasuk bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak akan menjadikan KUHAP bukan sebagai pembatas kekuasaan negara, melainkan sebagai instrumen legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Oleh karena itu, penundaan pemberlakuan KUHAP Baru patut dipertimbangkan secara serius oleh Presiden RI sampai seluruh aturan pelaksana tersedia dan kesiapan institusional aparat penegak hukum terpenuhi. Bersama DPR RI, diperlukan pembahasan ulang yang terbuka dan akuntabel untuk memastikan KUHAP benar-benar selaras dengan prinsip due process of law dan perlindungan HAM.
Mahkamah Agung dan lembaga penegak hukum lainnya pun semestinya tidak menerapkan KUHAP Baru sebelum standar pengawasan yudisial yang kuat dan pedoman teknis yang jelas tersedia.
Pengawalan terhadap KUHAP Baru bukan semata tanggung jawab negara, tetapi juga masyarakat sipil, akademisi, advokat, jurnalis, seniman, dan seluruh elemen bangsa. Sikap kritis ini merupakan wujud nyata kepedulian seluruh elemen bangsa sekaligus komitmen bersama untuk menjaga hukum acara pidana tetap menjadi pelindung hak warga negara dan pilar utama negara hukum Indonesia yang membahagiakan rakyat.
***
*) Oleh : Lukman Santoso Az, Lukman Santoso Az, Pengajar Hukum pada Fakultas Syariah UIN Ponorogo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |