https://jatim.times.co.id/
Opini

Kampus Berdampak Etalase Baru Program Pendidikan

Kamis, 15 Mei 2025 - 17:28
Kampus Berdampak Etalase Baru Program Pendidikan Arif Budi Prasetya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya dan Mahasiswa Doktoral Universitas Airlangga

TIMES JATIM, MALANG – Program “Kampus Berdampak” yang diluncurkan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi melalui Direktorat Jenderal Diktisaintek tengah ramai dibicarakan. Konsepnya sederhana namun ambisius: mendorong perguruan tinggi untuk menghadirkan dampak nyata bagi masyarakat dan pembangunan nasional. 

Dalam semangat lanjutan dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), program ini disebut-sebut sebagai upaya agar kampus lebih relevan dengan dunia nyata, tidak lagi eksklusif di menara gading, tetapi membumi, aktif berkontribusi terhadap kebutuhan riil masyarakat. 

Gagasan ini tentu menarik, bahkan sangat penting, mengingat masih kuatnya kesenjangan antara dunia akademik dan kehidupan sosial di banyak tempat. Namun di balik semangat positif tersebut, program ini juga perlu dicermati secara lebih kritis. 

Apakah makna “berdampak” yang dimaksud? Sejauh mana program ini memberikan ruang bagi refleksi dan kebebasan akademik? Dan bagaimana agar inisiatif seperti ini tidak berujung menjadi etalase baru dalam programisme pendidikan?

Makna “Dampak”: Harus Kritis, Bukan Sekadar Praktis

Salah satu pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah: apa yang dimaksud dengan “dampak”? Apakah yang dimaksud hanyalah kegiatan pengabdian masyarakat yang terukur secara kuantitatif, berapa desa didatangi, berapa kegiatan dilaksanakan, berapa sertifikat dibagikan?

Ataukah “dampak” yang lebih dalam dan transformatif, seperti perubahan pola pikir, penguatan kapasitas sosial, dan pembentukan kesadaran kritis? Jika makna dampak hanya dipahami secara sempit, praktis, instan, dan administratif, maka sangat mungkin kampus akan terjebak dalam logika kegiatan formalistik.

Sibuk membuat proposal, menggugurkan target, dan mendokumentasikan kegiatan untuk kepentingan pelaporan semata. Masyarakat hanya menjadi latar belakang kegiatan kampus, bukan mitra berpikir atau subjek utama dalam proses perubahan sosial.

Dalam dua dekade terakhir, pendidikan tinggi di Indonesia semakin diarahkan pada pengukuran kinerja berbasis angka. Dosen didorong untuk memproduksi publikasi, akreditasi dinilai dari borang dan indikator kuantitatif, dan institusi bersaing dalam ranking yang sering kali mengabaikan konteks lokal. 

Dalam kerangka ini, Kampus Berdampak sangat mungkin menjadi bagian dari programisme baru: satu lagi proyek besar yang sarat beban administratif, padat laporan, dan miskin perenungan. Bahkan lebih jauh, ini bisa menjadi bentuk komodifikasi aktivitas pengabdian. 

Aktivitas pengabdian masyarakat yang seharusnya menjadi ruang etis dan partisipatif berubah menjadi sarana pencitraan institusi. Dosen dan mahasiswa terdorong bukan oleh semangat perubahan, tetapi karena tuntutan administratif. Kegiatan sosial menjadi “komoditas akademik” yang bisa dinilai, dikalkulasi, dan dimonetisasi melalui skema insentif atau akreditasi.

Daya Kritis Kampus Harus Dijaga

Perlu diingat, tugas utama kampus bukan hanya menciptakan solusi atas masalah, tetapi juga mempertanyakan dan mengkritisi akar persoalan itu sendiri. Kampus bukan sekadar “mitra pembangunan”, melainkan “penjaga nalar publik”. 

Kampus harus berani mempertanyakan arah kebijakan pembangunan, menganalisis ketimpangan, dan memberikan suara bagi yang tersisih dalam dinamika sosial-ekonomi-politik. Jika Kampus Berdampak hanya dipahami sebagai perpanjangan tangan birokrasi pembangunan, maka kampus kehilangan daya kritisnya. 

Kampus hanya menjadi pelaksana kebijakan, bukan lagi arena refleksi intelektual. Dalam situasi seperti ini, kampus menjadi fungsional secara administratif, namun kosong secara substansial.

Berpindah dari Pola Instruksional ke Kolaboratif

Untuk itu, penting untuk memikirkan kembali cara kampus hadir di tengah masyarakat. Jangan lagi menggunakan pendekatan instruksional, seolah kampus tahu segalanya dan masyarakat tinggal menerima. 

Pendekatan seperti ini sudah usang dan tidak relevan dalam konteks sosial yang semakin kompleks. Kampus seharusnya hadir dengan semangat kolaboratif: belajar dari masyarakat, bukan sekadar mengajari. 

Banyak pengetahuan lokal, nilai-nilai komunitas, dan strategi bertahan hidup masyarakat yang justru bisa memperkaya wawasan akademik. Dengan membangun relasi yang setara, kampus tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk kesadaran baru: bahwa perubahan sosial lahir dari dialog, bukan dari intervensi sepihak.

Etika Intervensi Sosial dalam Dunia Akademik

Hal lain yang patut disoroti adalah etika intervensi sosial. Di balik semangat “berdampak”, perlu disadari bahwa membawa program ke masyarakat berarti juga membawa kuasa. Dosen dan mahasiswa membawa label institusi, status sosial, bahkan harapan-harapan tertentu. 

Tanpa kesadaran etik, program pengabdian bisa berujung pada eksploitasi simbolik: masyarakat dijadikan subjek penelitian, dokumentasi kegiatan, atau konten media sosial, tetapi tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. 

Kampus perlu memastikan bahwa setiap aktivitas pengabdian memiliki asas partisipasi, transparansi, dan keberlanjutan. Tidak cukup hanya “turun ke lapangan”, yang lebih penting adalah membangun relasi jangka panjang, menumbuhkan kepercayaan, dan memastikan bahwa dampak yang ditinggalkan tidak sekadar jejak proyek, tapi juga perubahan sosial yang disadari bersama.

Kampus Berdampak bisa menjadi ruang pembaruan jika dikelola secara reflektif, kritis, dan kolaboratif. Namun jika dijalankan tanpa evaluasi mendalam, ia hanya menjadi etalase program baru yang memperkuat birokratisasi pendidikan tinggi. Masyarakat akan lelah dijadikan objek, dan kampus akan kehilangan ruhnya sebagai penjaga nalar kritis. 

Yang dibutuhkan hari ini bukan kampus yang sekadar “berkegiatan di luar tembok”, tapi kampus yang berani bersuara, berpihak pada yang kecil, dan hadir dalam perubahan sosial secara etis dan setara.

Dampak sejati bukan diukur dari seberapa banyak dokumen yang dibuat, tapi dari seberapa dalam kita belajar bersama masyarakat untuk membangun dunia yang lebih adil.

Membangun Program Kampus Berdampak yang Berkelanjutan dan Berkeadilan

Untuk menghindari jebakan programisme dan komodifikasi, serta mewujudkan dampak sosial yang nyata dan berkelanjutan, beberapa langkah strategis perlu diperhatikan:

Pertama, Mengedepankan Pendekatan Partisipatif dan Dialogis. Kampus harus membangun relasi setara dengan masyarakat. Proses pengabdian bukan sekadar transfer ilmu, tetapi dialog dua arah yang menghargai pengetahuan lokal dan kebutuhan riil masyarakat. Dengan begitu, program menjadi relevan dan benar-benar menjawab persoalan, bukan hanya sekadar formalitas.

Kedua, Memperkuat Peran Akademik Sebagai Penjaga Nalar Kritis. Kampus harus menjaga independensi intelektualnya. Selain melaksanakan program, perguruan tinggi perlu terus mempertanyakan kebijakan dan praktek pembangunan, mengangkat isu-isu ketimpangan, serta mengadvokasi keadilan sosial. Peran ini akan membuat program kampus berdampak tidak kehilangan arah dan tujuan.

Ketiga, Mengintegrasikan Evaluasi Kualitatif dalam Pengukuran Dampak. Tidak cukup hanya angka dan laporan kuantitatif. Pengukuran keberhasilan program harus memasukkan indikator kualitatif, seperti tingkat partisipasi masyarakat, perubahan kesadaran sosial, dan keberlanjutan program. Evaluasi yang komprehensif ini membantu kampus untuk terus belajar dan memperbaiki pendekatan.

Keempat, Mendorong Pendidikan Inklusif dan Kolaboratif di Kurikulum. Program kampus berdampak harus sejalan dengan kurikulum yang membuka ruang bagi mahasiswa untuk belajar secara langsung di masyarakat dengan metode reflektif. 

Hal ini menanamkan sikap empati dan pemahaman konteks sosial sejak dini, sehingga mereka tidak hanya menjadi tenaga teknis, tetapi juga agen perubahan yang beretika.

Kelima, Membangun Jejaring dan Kemitraan yang Kuat. Kampus perlu membangun kemitraan jangka panjang dengan komunitas, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lainnya. Jejaring ini penting agar program berdampak dapat berlanjut bahkan setelah proyek formal selesai, serta memastikan transfer pengetahuan yang berkesinambungan.

Dengan langkah-langkah tersebut, Program Kampus Berdampak tidak hanya menjadi rutinitas administratif semata, tetapi benar-benar berkontribusi bagi perubahan sosial yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Kampus pun bisa kembali menegaskan perannya sebagai institusi yang bukan hanya menghasilkan ilmu, tapi juga keadilan dan kemanusiaan.

***

*) Oleh : Arif Budi Prasetya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya dan Mahasiswa Doktoral Universitas Airlangga.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

_____________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.