https://jatim.times.co.id/
Berita

Jadi Khatib Salat Idul Adha, Rektor UIN KHAS Jember Berbagi Hikmah Kisah Keluarga Ibrahim

Senin, 17 Juni 2024 - 13:38
Jadi Khatib Salat Idul Adha, Rektor UIN KHAS Jember Berbagi Hikmah Kisah Keluarga Ibrahim Rektor Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Shiddiq (UIN KHAS) Jember, Prof. Hepni (FOTO: Humas UIN KHAS Jember)

TIMES JATIM, JEMBER – Pada momen Idul Adha 1445 Hijriah, Rektor Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Shiddiq (UIN KHAS Jember), Prof. Hepni melaksanakan salat Id dan menjadi khatib di Masjid Muhammad Cheng Hoo Jember, Senin (17/6/2024). 

Dalam kesempatan tersebut, rektor yang baru sekitar 8 bulan menjabat ini membeberkan hikmah dari kisah hidup keluarga Nabi Ibrahim AS. 

Menurutnya, Islam adalah agama yang meneruskan tradisi Nabi Ibrahim, seperti ibadah haji dan qurban. Al-Qur'an juga banyak menceritakan kehidupan Ibrahim sebagai contoh yang perlu diteladani. Dalam beberapa ayat, Ibrahim menjawab bahwa ia pergi menuju Tuhan-Nya dan akan diberi petunjuk.

“Pertanyaan Fa ayna tadzhabun memiliki makna tentang tujuan hidup kita, di mana kita akan membawa jabatan, kekayaan, kekuasaan, dan popularitas kita,” kata dia. 

Menurutnya, Ibrahim mengajarkan bahwa seluruh perjalanan hidup harus ditujukan hanya untuk mencapai Tuhan. Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar adalah contoh hamba-hamba Allah yang meletakkan kehendak-Nya di atas segalanya, meskipun harus mengorbankan segalanya. 

Melalui ibadah haji dan idul qurban, bisa melihat makna simbolik dari perjalanan hidup Ibrahim. Saat Ibrahim diperintahkan untuk hijrah ke Mekkah, ia pergi dengan sedikit bekal dan meninggalkan istri dan bayinya di tempat yang tandus. Ketika istri Ibrahim bertanya mengapa mereka harus pergi ke tempat seperti itu, Ibrahim diam tapi akhirnya mengatakan bahwa itu adalah perintah Allah. 

“Siti Hajar menghibur dirinya bahwa jika itu adalah perintah Allah, maka Allah tidak akan mempersulit mereka,” kisah dia. 

Dialog yang mengiris hati ini lanjut Prof. Hepni, mencerminkan kedalaman iman dan sikap tawakal yang tinggi. Ibrahim dan Siti Hajar meninggalkan segala kemapanan dan pengorbanan semata-mata karena keyakinan bahwa hanya Allah yang dapat menghidupkan, melindungi, dan memberi rizki. Namun, ujian mereka belum berakhir. 

Ketika persediaan air dan makanan Siti Hajar habis, Isma'il bayi yang haus menangis, tetapi Allah memberikan pertolongan dengan memancarkan air dari langkah kaki sang bayi. Selanjutnya, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Isma'il. Kedua mereka sangat terguncang, tetapi Isma'il dengan tulus menerima perintah Allah dengan keberanian dan kesabaran. 

“Dari pengalaman ini, kita bisa mengambil banyak pelajaran, bahwa kerja keras, kesabaran, keyakinan, dan tawakkal yang total kepada Allah akan mendatangkan pertolongan yang tak terduga. Jadi, serahkan sepenuhnya kepada Allah tanpa keraguan, karena keyakinan yang kuat adalah kunci untuk mewujudkan kenyataan,” terang dia. 

Dalam hiruk-pikuk zaman modern ini, dengan segala kecanggihan teknologi dan kemajuan peradaban, manusia sering kali merasa kehilangan arah. Dunia yang seharusnya semakin mendekatkan satu sama lain justru sering kali memperlebar jarak. Krisis moral, konflik antar bangsa, dan ketidakadilan sosial semakin merajalela. Di tengah kegelisahan ini, ada satu sosok yang teladannya selalu relevan sepanjang masa: Nabi Ibrahim AS.

Ibrahim bukan hanya seorang nabi dalam arti religius, tetapi juga seorang pemimpin moral dan spiritual yang berani mempertanyakan status quo. Ia dikenal karena keberaniannya menentang penyembahan berhala, berdiri teguh di hadapan raja zalim, dan menjalankan perintah Tuhan dengan penuh ketulusan meskipun sering kali berat di sisi manusia. Keberanian dan keteguhan hati seperti inilah yang kita butuhkan di zaman ini.

“Mengapa kita butuh “Ibrahim-Ibrahim" baru..? Karena di tengah dunia yang semakin terpecah-belah oleh ideologi, politik, dan kepentingan pribadi, kita memerlukan figur-figur yang berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan tanpa takut akan konsekuensinya. Kita butuh pemimpin yang memiliki integritas, yang tidak hanya memikirkan kepentingan sesaat tetapi juga dampak jangka panjang bagi umat manusia dan alam semesta,” terang dia. 

Nabi Ibrahim juga mengajarkan tentang pengorbanan yang tulus. Dalam kisahnya yang legendaris, ia rela mengorbankan putranya, Ismail, sebagai bentuk kepatuhan kepada Tuhan. Pengorbanan seperti ini bukanlah tentang menghilangkan nyawa, melainkan tentang kesiapan untuk memberikan yang terbaik dari dirinya untuk kebaikan bersama. 

Di zaman sekarang kata Prof. Hepni, pengorbanan seperti ini bisa berarti memberikan waktu, tenaga, dan sumber daya untuk membantu mereka yang membutuhkan, untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Dalam konteks ini, “Ibrahim-Ibrahim" baru bisa muncul dari berbagai kalangan: pemimpin politik yang jujur, aktivis sosial yang berani, pendidik yang berdedikasi, hingga individu-individu yang dalam kesehariannya memilih untuk hidup dengan integritas dan kasih sayang. “Kita semua memiliki potensi untuk menjadi seperti Nabi Ibrahim dalam skala kita masing-masing, dengan cara berani bertindak benar meskipun berat dan tidak populer,” sambung dia. 

Menurutnya, sudah saatnya mengangkat kembali nilai-nilai yang diperjuangkan Nabi Ibrahim dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai keberanian, ketulusan, pengorbanan, dan keadilan. Dengan begitu, diri ini tidak hanya memperingati dan mengenang sosok beliau, tetapi juga benar-benar mewujudkan teladannya dalam dunia nyata. Pihaknya mengajak jemaah menjadi "Ibrahim-Ibrahim" baru yang dunia butuhkan, agar bisa membangun masa depan yang lebih baik dan penuh harapan bagi generasi yang akan datang.

Kisah Ibrahim menyembelih hewan kurban dan menghadapi ujian Allah dikenang dalam syariat penyembelihan hewan kurban pada musim haji. Ia dijadikan suri tauladan karena menunaikan perintah Allah dan dipilih menjadi imam bagi seluruh manusia. Ibrahim, istri, dan anaknya adalah teladan ideal dalam sebuah keluarga. Keluarga yang baik akan mempengaruhi kualitas masyarakat. 

Menurutnya, umat Islam perlu mengukur sejauh mana kecintaan kepada Allah melebihi segala-galanya, termasuk cinta kepada pekerjaan, tempat tinggal, harta, anak, istri, dan orang tua. Al-Qur'an dan hadits mengajarkan untuk mendahulukan kehendak Allah di atas kehendak diri sendiri.

“Kita perlu belajar menempatkan kehendak Allah di atas segalanya. Momentum hari raya ini dapat menjadi awal untuk munculnya semangat untuk berkorban demi memenuhi kehendak Allah atau melahirkan individu dengan etos mujahadah dan tawakkal tinggi. Hanya dengan itu, kita dapat mencapai ridha Allah dan mencapai kemakmuran sejati,” terang dia. (*)

Pewarta : Moh Bahri
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.