TIMES JATIM, JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno, tampil sebagai Keynote Speaker dalam kegiatan Capacity Building bertajuk Lanskap Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia yang diselenggarakan Center for Strategic and International Studies (CSIS). Ia hadir bersama Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri, serta peserta dari Dinas Lingkungan Hidup seluruh Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian PPN/Bappenas.

Dalam paparannya, Eddy menegaskan bahwa krisis iklim bukan lagi isu masa depan, melainkan ancaman nyata yang berpotensi menggoyang fondasi ekonomi nasional. Ia memaparkan sejumlah data yang menunjukkan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi akibat intensitas bencana yang semakin meningkat.

“Proyeksi menunjukkan Produk Domestik Bruto Indonesia dapat turun lebih dari satu persen pada 2030 karena tingginya bencana terkait iklim. Jika suhu global naik hingga tiga derajat, dampaknya bisa menekan pertumbuhan hingga hampir tujuh persen pada 2060,” ujarnya.

Eddy juga menyinggung berbagai kejadian ekstrem yang terjadi belakangan ini—mulai dari banjir besar di Bali, rob yang semakin sering terjadi di Semarang, hingga pencairan gletser Puncak Jaya di Papua yang diperkirakan hilang total pada 2026. Semua itu, menurutnya, menjadi alarm keras agar agenda ketahanan energi dan iklim tidak lagi ditunda.

Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia ini menilai Indonesia memiliki modal besar untuk membangun ekonomi rendah karbon. Hutan tropis, gambut, dan mangrove yang dimiliki, kata Eddy, merupakan aset penting sebagai penyerap karbon alami terbesar di dunia. “Kombinasi solusi berbasis alam dengan teknologi modern menjadi kunci membangun ekonomi hijau yang kompetitif dan menarik investasi berkelanjutan,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Eddy juga menyampaikan komitmennya memperjuangkan legislasi terkait lingkungan, termasuk RUU Energi Baru Terbarukan dan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim. Salah satu poin penting yang tengah diperjuangkan adalah pemberian insentif bagi daerah yang konsisten menjalankan aksi mitigasi dan adaptasi iklim.

“Usulan untuk memberikan insentif kepada kabupaten/kota yang serius menghadapi krisis iklim patut didukung. Ini bentuk apresiasi bagi daerah yang bekerja keras menekan dampak perubahan iklim,” tegasnya.

Eddy meyakini, insentif berupa pembiayaan maupun dukungan pembangunan mampu mendorong kepala daerah dan jajarannya untuk lebih berkolaborasi dalam menjaga lingkungan. “Saya percaya, stimulus seperti ini akan menjadi motivasi kuat bagi daerah untuk terus memperkuat aksi iklim,” ucapnya. (*)