TIMES JATIM, BANYUWANGI – Pondok Pesantren Tsamaroturroudloh Desa/ Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi Jawa Timur menggelar Haul Masyayikh, Selasa (28/9/2021) hari ini.
Sejumlah agenda sudah dilaksanakan sejak Senin (27/9/2021) kemarin, mulai pembacaan arwah hingga khotmil Al-Quran. Hari ini dilanjutkan dengan reuni alumni dan pengajian haul Masyayikh.
Pengasuh Ponpes Tsamaroturroudloh, KH. Ahmad Mudhakir Salim mengatakan, peringatan Haul Masyayikh tersebut merupakan bentuk syukur ndalem pondok atas jasa para pendiri dan Masyayikh dalam berkiprah di masyarakat.
"Di samping untuk mengirimkan doa kepada para leluhur dan para Masyayikh yang sudah wafat, juga untuk meniti tapak tilas dari rekam jejak beliau di masa hidupnya," kata Gus Mudhakir sapaan akrabnya.
"Mauidloh Hasanah nanti akan diisi oleh KH. A Sadid Jauhari, Pengasuh Pondok Pesantren Assunniyah, Kencong, Jember," imbuhnya.
Gus Mudhakir menceritakan, pendirian Ponpes Tsamaroturroudloh tak lepas dari kisah perjuangan Kiai Solehudin asal Magelang, Jawa Tengah, yang merantau ke Banyuwangi untuk mensiarkan Islam.
Kiai Solehudin bersama istri Nyai Solehudin datang dan menyebarkan dakwah agama di Tegalsari Banyuwangi sekitar tahun 1900. Saat itu wilayah tersebut masih dikuasai oleh Belanda dan masih berupa hutan belantara.
Kiai Solehudin kemudian membabat alas di wilayah itu. Sebagai langkah awal dakwahnya, beliau lalu membangun sebuah surau kecil. Tujuannya agar masyarakat sekitar bisa belajar ilmu agama di surau tersebut.
Dengan tirakat yang kuat dan keyakinan yang teguh, dengan sekejap surau itu ramai didatangi oleh masyarakat sekitar yang ingin nyantri untuk belajar ilmu agama kepada Kiai Solehudin.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan hingga tambah tahun tak disangka jumlah santri Kiai Solehudin kian meningkat. Nama Kiai Solehudin pun menjadi buah bibir dan terus harum hingga banyak santri luar kota Banyuwangi yang ingin belajar ilmu agama kepadanya.
Bahkan saking banyaknya, surau kecil yang menjadi pusat kegiatan mengaji itupun sudah tak lagi mampu menampung para santri. Karena kebutuhan, Kyai Solehudin bersama masyarakat sekitar dan para santrinya akhirnya membangun tempat ibadah yang lebih besar, berupa Masjid.
"Setelah selesai pembangunan, pada sekitar tahun 1917 Masjid tersebut dibuat tempat sholat Jumat. Hingga akhirnya ditetapkan sebagai hari berdirinya Ponpes Tsamaroturroudloh," ungkap Gus Mudhakir.
Setelah Masjid berdiri, ternyata santri Kyai Solehudin tambah banyak dan maju pesat, Ponpes Tsamaroturroudloh pun kian dikenal. Hingga akhirnya menarik perhatian Kiai Mukri dari Ponorogo, untuk nyantri kepada Kiai Solehudin.
Waktu terus berjalan. Kiai Solehudin yang melihat keilmuan dari santrinya Kiai Mukri tersebut, lalu menjodohkan dengan putrinya Ning Khodijah. Ning Khodijah pun menyambut gembira, hingga akhirnya keduanya melangsungkan akad pernikahan.
Singkat cerita, Kiai Mukri lah yang kemudian melanjutkan estafet kepemimpinan Kyai Solehudin di Pondok Pesantren Tsamaroturroudloh Tegalsari. Ditangan dingin Kyai Mukri Ponpes tersebut terus berkembang pesat.
"Bahkan beliau pernah didapuk menjadi Kepala Desa Tegalsari waktu itu," ungkap Gus Mudhakir.
Hari berganti hari bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, estafet kepemimpinan Kyai Mukri sepuh akhirnya dilanjutkan oleh putra dan menantunya. KH. Agus Salim, KH. Djazuli, dan KH. Nuruddin Qosim hingga akhir hayatnya.
Allahu Akbar. Seakan agar masyarakat mudah mengingat jasa dan perjuangan almarhum, pengasuh generasi ketiga Ponpes Tsamaroturroudloh tersebut oleh Allah SWT, diwafatkan pada angka tanggal yang sama, yakni 21.
"Mbah Yai Agus Salim 21 Ramadhan, Mbah Yai Djazuli 21 Jumadil Awal dan Mbah Yai Nuruddin 21 Safar," jelas Gus Mudhakir.
Kini para pendiri, sesepuh dan Masyayikh Ponpes Tsamaroturroudloh telah kembali kepada sang Khalik. Melalui sekelumit napak tilas tersebut, bagi pengasuh, alumni dan para santri, Masyayikh adalah potret sekaligus teladan. Bahwa perjuangan dan cita-cita luhur dapat terwujud jika dikejar dengan kerja keras dan sungguh-sungguh.
"Beliau mengajarkan bahwa santri bukanlah seseorang yang hanya fasih dalam beragama dan berilmu, tapi juga dapat hadir di tengah-tengah masyarakat, menjunjung tinggi kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Pengasuh Pondok Pesantren Tsamaroturroudloh Tegalsari, KH. Ahmad Mudhakir Salim. (*)
Pewarta | : Rizki Alfian |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |