TIMES JATIM, BANYUWANGI – Masyarakat yang mencintai rasa pedas di Kabupaten Banyuwangi terbilang cukup tinggi. Dalam kurun waktu satu tahun, konsumsi cabai rawit di Banyuwangi mampu menghabiskan 3 juta kilogram atau setara 3.000 ton.
Sudah menjadi rahasia umum, selain dikenal dari pariwisatanya, kabupaten Banyuwangi juga tersohor dari sisi kulinernya. Di Banyuwangi, ada begitu banyak destinasi goyang lidah.
Mulai dari emperan toko, hingga restoran atau rumah makan populer. Semuanya menyajikan menu pedas. Mulai dari olahan sayur hingga daging. Sebagai ciri khas, Banyuwangi memilih sego tempong sebagai sang legenda kuliner paling pedas.
Tidak hanya berupa menu makanan berat saja, olahan snack atau makanan cepat saji pun juga banyak variasi pedasnya. Seperti keripik singkong pedas, krecek pedas, mie stik pedas dan masih banyak lagi.
Penelusuran TIMES Indonesia, di Banyuwangi tercatat ada sekitar 1,3 juta orang dewasa. Dari total penduduk sekitar 1,5 juta jiwa. Jika dikonversikan dalam matematika sederhana, maka masing-masing individu di Banyuwangi mampu menghabiskan sekitar 2,3 kilogram cabai per tahun.
Tentunya jumlah tersebut tidaklah pasti jika dikalkulasikan dengan kelompok yang tidak mengkonsumsi pedas. Namun, ada juga kelompok usia di bawah 17 tahun yang juga menggemari sensasi pedas tapi tidak termasuk dalam hitungan masyarakat dewasa.
Kabid Holtikultura Dinas Pertanian Banyuwangi, Ilham Juanda menuturkan. Dalam satu tahun kebutuhan konsumsi cabai rawit di Kabupaten Banyuwangi mencapai 3.000 ton per tahun. Artinya, dalam satu bulan masyarakat Banyuwangi mampu mengkonsumsi 250 ton kilogram cabai rawit.
"Untuk kebutuhan perorang, konsumsinya satu tahun sekitar 3 ribu ton. Dengan jumlah penduduk satu koma sekian juta itu," kata Ilham Juanda, Kamis (25/3/2021).
Menurut Ilham, rata-rata masyarakat Banyuwangi menyukai konsumsi cabai yang segar. Dalam hal ini, cabai dikonsumsi dalam bentuk olahan sambal atau di campurkan dengan masakan. Seperti olahan kuliner pedas.
"Ternyata, masyarakat Banyuwangi cenderung senang dengan konsumsi cabai segar. Sebab itu, program kami untuk pelatihan olahan cabai sebagai pasta kurang sukses. Misalnya saja nasi tempong pakai sambal pasta, kan tidak cocok. Harus yang segar," jelas Ilham.
Tingginya konsumsi cabai di Banyuwangi tersebut berbanding lurus dengan keberadaan tanaman cabai di Banyuwangi. Menurut Ilham, lahan tanaman cabai di Banyuwangi tahun 2021 ini mencapai luasan total 3.000 hektar. Dari luasan tersebut, 2.000 hektar berada di Kecamatan Wongsorejo.
Namun, dengan kondisi alam saat ini mayoritas lahan tanaman cabai di Banyuwangi mengalami gagal panen. Tingginya curah hujan menyebabkan pohon dan buah terserang penyakit.
"Luas lahan yang bisa dipanen hanya sekitar 128 hektar saja. Kalau dirata-rata dengan tanaman yang sudah tidak produktif, bisa menghasilkan 192 ton. Itu estimasinya," katanya.
Ilham merinci, pada tahun 2017 luasan panen di Banyuwangi mencakup 3.657 hektar. Tahun 2018 mencakup 3.676 hektar. Tahun 2019 mencakup 2.790 hektar dan tahun 2020 mencakup luasan panen 3.795 hektar.
Untuk tujuan pasar, diantaranya di pasar induk Kramatjati Jakarta, pasar induk Kemang Bogor, pasar induk Cibitung Bekasi dan pasar induk Cikampek. Rata-rata ada sekitar 853.400 kilogram yang dikirimkan dalam satu kali panen raya di bulan Oktober sampai Desember.
"Data dari teman-teman pengepul cabai rawit, rata-rata dipasarkan di wilayah Jawa Barat. Wilayah Jabodetabek. Hampir satu juta kilogram per tahun-nya," kata Kabid Holtikultura Dinas Pertanian Banyuwangi. (*)
Agung Sedana
TIMES Indonesia
Pewarta | : Agung Sedana |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |