TIMES JATIM – H. Warsubi dan KH. Salmanuddin Yazid atau Gus Salman (Warsubi-Salman) bakal dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Jombang, Kamis (20/2/2025) di Jakarta.
Namun, Pekerjaan Rumah (PR) sudah menanti pasangan yang menang di Pilkada 2024 lalu. Salah satunya, Kabupaten Jombang dianggap tak ramah disabilitas. Mulai dari kekerasan, minimnya lapangan pekerjaan hingga tidak adanya data disabilitas yang terpadu dan terintegrasi dan akses publik.
Keluhan kesah tersebut disampaikan oleh Aliansi Disabilitas Jombang saat konferensi pers di Kantor Women Crisis Center (WCC) Kabupaten Jombang di Jalan Pattimura Selatan No.7 Blok pada Selasa (18/2/2025) sore kemarin.
Dalam kesempatan tersebut, pihak Aliansi Disabilitas Jombang menyatakan jika hingga saat ini berbagai program layanan disabilitas belum berbanding lurus dengan komitmen Pemerintah Daerah untuk segera menghadirkan kebijakan disabilitas.
Terlebih untuk memberikan gambaran nyata tentang perubahan atau peningkatan aksesibilitas di setiap layanan publik. Pada tanggal 11 Februari 2025, 10 organisasi disabilitas yang tergabung dalam Aliansi Disabilitas Jombang memberikan penegasan dan tuntutan kepada Bupati Jombang.
10 organisasi difabel tersebut diantaranya PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia), IPC (Ikatan Penyandang Cacat), PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia), GERKATIN (Gerakan Tuna Rungu Indonesia), SDM (Suara Difabel Mandiri), KVDJ (Kelas Volunteer Difabel Jombang).
Juga ada LBHAM (Lembaga Bantuan Hak Asasi Manusia), NPCI (National Paralympic Committee Indonesia), DMI (Disabilitas Motorik Indonesia) dan KORATUL (Komunitas Ramah Tuli Jombang).
Tuntutan yang disampaikan agar dalam periode kepemimpinan kedepan bisa segera mengambil langkah konkret dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan yang lebih inklusif untuk penyandang disabilitas.
Menurut Adib Sumarsono, selaku Koordinator Aliansi Disabilitas Jombang menyebut ada beberapa problem mendasar yang dihadapi disabilitas di Jombang.
Di antarnya, perempuan disabilitas korban kekerasan seksual sulit mengakses hak atas pemulihan. Belum ada jaminan ruang aman dan inklusif bagi disabilitas untuk terbebas dari perilaku kekerasan bahkan pada level satuan pendidikan.
Ia mencatat, pada tahun 2024 lalu, remaja disabilitas perempuan berinisial ACS (17) menjadi korban pelecehan seksual oleh oknum guru di Kabupaten Jombang.
Saat itu majelis hakim di Pengadilan Negeri Jombang menjatuhkan vonis dengan hukuman pidana penjara selama 8 tahun 6 bulan dan membayar Restitusi kepada ACS, sejumlah Rp 5.672.000,00.
Namun sejak putusan berkekuatan hukum tetap, tidak satupun struktur pelaksana kebijakan baik pemerintah dan institusi penegak hukum di Kabupaten Jombang mendorong upaya eksekusi Restitusi untuk mendukung pemenuhan hak korban atas pemulihan dan pemberdayaannya.
Pendamping korban di WCC Jombang melaporkan bahwa dukungan pemberdayaan tidak hanya sukar didapatkan perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan.
"Selama ini program pemberdayaan yang diinisiasi oleh Pemerintah Daerah masih jauh dari kata keberlanjutan. Terlebih sampai yang kekerasan seksual ini sangat berbahaya," ucapnya seperti keterangan yang diterima TIMES Indonesia, Rabu (19/2/2025).
Kekerasan seksual terhadap individu dengan disabilitas dapat menimbulkan dampak serius, baik secara psikologis maupun fisik. Korban sering mengalami trauma psikologis yang mendalam, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca trauma (PTSD).
Selain itu, kekerasan seksual juga dapat menyebabkan cedera fisik, seperti luka, patah tulang, dan infeksi. Tidak hanya itu, korban sering kali menghadapi stigma dan diskriminasi dari masyarakat, yang menyulitkan mereka dalam mendapatkan bantuan dan dukungan yang diperlukan.
Adib melanjutkan, upaya membangun kemandirian disabilitas di Jombang juga tidak berbanding lurus dengan kondisi lapangan kerja yang sangat diskriminatif.
"Belum adanya Akomodasi yang layak bagi disabilitas di tempat kerja, mengindikasikan hambatan sistematis dalam merealisasikan tujuan pendidikan di Kabupaten Jombang," ujarnya.
Ia menjabarkan, di Kabupaten Jombang terdapat 17 Sekolah Luar Biasa dengan total kurang lebih 1.000 peserta didik belum termasuk siswa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di sekolah Inklusi.
Baginya, kemandirian disabilitas tidak hanya tentang memberikan pelatihan keterampilan atau pendidikan, namun bagaimana tentang menciptakan peluang yang setara dan inklusif di dunia kerja.
"Aksesibilitas yang minim, seperti ruang kerja yang tidak ramah disabilitas, atau peralatan yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan, semakin mempersempit ruang bagi mereka untuk berkontribusi secara maksimal," katanya.
Keberhasilan pemberdayaan disabilitas tidak akan pernah tercapai jika sistem dan lingkungan kerja tidak berubah untuk memberikan kesempatan yang adil bagi mereka.
Menurutnya, tanpa adanya kebijakan yang mendukung dan lingkungan kerja yang ramah disabilitas, impian untuk menjadi mandiri akan tetap menjadi angan-angan.
"Akomodasi yang layak bukan hanya sekadar kewajiban, melainkan hak yang harus diberikan kepada setiap individu, tanpa terkecuali," imbuhnya.
Tidak hanya tentang kekerasan dan minimnya lapangan pekerjaan. Pihaknya juga menyayangkan terkait perihal tidak adanya data disabilitas yang terpadu dan terintegrasi.
Terlebih mengenai mekanisme penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) yang belum berbasis data disabilitas menjadi hambatan sistematis yang memperburuk situasi.
Ia mencontohkan, pada masa pandemi Covid-19, permasalahan ini begitu kompleks. Saat itu, berbagai program Bansos di inisiasi pemerintah untuk diberikan kepada kelompok rentan yang membutuhkan baik itu Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa atau Bansos Tunai (BST) Kemensos sejumlah Rp 600 ribu.
Maupun Bansos Pemerintah Kabupaten Jombang atau Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 200 ribu serta KPM BPNT (Keluarga Penerima Manfaat Bantuan Pangan Non Tunai) berupa beras, telur, ayam.
"Meskipun program-program ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, kenyataannya banyak kelompok yang tidak mendapatkan manfaat secara optimal, salah satunya adalah penyandang disabilitas," ungkapnya.
Menurutnya, tidak adanya data disabilitas yang terpadu dan terintegrasi, menjadi akar permasalahan ketidakakuratan dan kesalahan sasaran dalam pemberian bantuan sosial.
"Tanpa data yang akurat, pihak berwenang kesulitan dalam memverifikasi siapa saja yang benar-benar membutuhkan bantuan. Penyandang disabilitas, yang sudah terbiasa dengan stigma dan kesulitan akses, semakin terpinggirkan dalam distribusi bantuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka," bebernya.
Selain itu, pihaknya juga menyesalnya terkait aksesibilitas layanan publik yang belum ramah disabilitas. Meskipun sudah ada regulasi yang mengatur hak-hak penyandang disabilitas seperti Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pada kenyataannya masih banyak layanan publik di Kabupaten Jombang yang belum sepenuhnya ramah disabilitas.
"Ambil contoh, Gedung Pemerintah Kabupaten memang dilengkapi dengan lift, nyatanya dalam setiap sesi kegiatan di gedung pemerintah, masyarakat dengan disabilitas masih sangat kesulitan akses untuk menuju ruang pertemuan rapat dengan menaiki tangga," tukasnya.
Hal serupa juga terjadi di Gedung Pendopo Kabupaten Jombang, yang belum menyediakan akses kursi roda, termasuk di kamar mandinya. Lalu di Masjid Jami Alun-Alun dan masjid lainnya pun belum memiliki fasilitas yang mendukung kebutuhan disabilitas.
"Selain itu, dalam setiap informasi layanan masyarakat di Kabupaten Jombang belum dilengkapi ketersediaan running text untuk memudahkan orang disabilitas menjangkau berbagai iklan layanan masyarakat secara inklusif dimanapun dia berada dan pentingnya dukungan ahli bahasa isyarat," ucapnya menambahkan.
Beberapa catatan diatas diharapkan bisa sampai ke telinga pemimpin baru Kabupaten Jombang. Karena itu, Aliansi Disabilitas Jombang menyatakan desakan kepada Pemerintah Kabupaten Jombang dan DPRD bisa segera menyusun kebijakan tentang disabilitas baik melalui Peraturan Bupati maupun Peraturan Daerah dan memiliki data disabilitas yang terpadu di Jombang.
"Dalam mewujudkan hal tersebut agar bisa bekerjasama dengan SLB se Jombang dan Sekolah Inklusi yang ada di Jombang," katanya.
Pihaknya juga mendorong pemenuhan hak disabilitas melalui akses layanan kesehatan, pendidikan, dan hukum yang inklusif. Juga penyediaan infrastruktur ramah disabilitas di seluruh pusat pelayanan publik di Kabupaten Jombang
"Juga Pemkab bisa mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang disabilitas secara integratif untuk meningkatkan pemahaman tentang hak-hak penyandang disabilitas bagi pelaksana kebijakan di seluruh SKPD dan masyarakat di kabupaten Jombang," pungkasnya.(*)
Pewarta | : Rohmadi |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |