TIMES JATIM, MOJOKERTO – Lintang Budiyanti Prameswari (26) bergejolak. Semakin resah, gemetar, mengikuti perkembangan kasus tragedi Stadion Kanjuruhan Malang. Panggilan hati nuraninya menyerobot. Seolah ingin menyuarakan rasa simpati dan empati, ia menulis puisi "Sepasang Sepatu di Beranda Rumah Ibu" yang viral itu.
Sepasang Sepatu di Beranda Rumah Ibu
Hampir setiap detik ibu membuka pintu, menyibak tirai jendela, mondar-mandir di beranda,
Berharap ada kabar baik dari tetangga.
Melihat dan meratap di sepasang sepatu sekolahmu,
Berharap esok senin masih kau kenakan seragam putih biru itu.
Tapi kau tidak pulang,
Tergeletak tak berdaya di gelanggang,
Ricuh yang berisik di televisi,
Ibu masih menanti suara piringmu meminta sarapan esok hari.
Nak, nafasmu terengah-engah bukan karena soal matematika,
Namun di tengah permainan yang biasanya kau habiskan di sore hari bersama teman sebaya.
Betapa pengap menghirup asap yang seketika melenyapkan mimpi-mimpimu,
Membunuh dan menginjakmu bahkan sebelum kau bilang setuju.
Ibu akan membenci siaran televisi,
Dan piala dunia yang bersama bapakmu dulu selalu kau nanti-nanti.
Atau suara sirine yang menggaung,
Mengantar kepulanganmu, memaksa ibu untuk berkabung.
Nak, kenapa tak kau kenakan saja sepatu itu,
Yang sudah ibu cuci untuk mengantarmu menjemput tim kebanggaanmu,
Dan untuknya kau rela korbankan nyawa,
Dibunuh sendiri oleh mimpimu yang menyala.
Ibu tinggalkan talinya di beranda yang selalu terbuka,
Kapanpun kau ingin kembali ke rumah dan pelukan ibu yang sederhana.
Nak, ibu tinggalkan nasi bersama lauknya di atas meja,
Pulanglah dan santap habis setelah kau lelah berlaga.
Pulanglah, di rumah ada cinta,
Siap menampung berapapun banyak kau meneteskan -- air mata.
Lintang -sapaannya- ternyata seorang staf di Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan dan Setda Kota Mojokerto. Ia lulusan Telkom University, Bandung. Usianya 26 tahun lebih 1 bulan sekarang. Masih single.
Lahir 2 September 1996, Lintang kecil rupanya sudah terbiasa dengan rasa keingintahuan dan kegemaran membaca. Sosok ibunya, Elsa Fifajanti yang berpengaruh besar. Anak pertama dari dua bersaudara ini sejak kecil gemas dengan kisah fiktif, dongeng, dan aneka cerita lainnya.
"Ibu juga berpengaruh besar sih buat aku, dari kecil sudah dibiasakan membaca. Aku umur 2 tahun udah sekolah karena gemes pengen baca buku-buku dongeng yang dibeliin mama, jadi aku pengen bisa baca," kata Lintang kepada TIMES Indonesia, Sabtu (8/10/2022)
Lintang B. Prameswari dan partnernya, Aprilia yang merupakan staf pemerintah Kota Mojokerto. (Foto: Dok. TIMES Indonesia)
Ia menulis puisi rupanya juga mengagumi beberapa tokoh seniman. Membekas. Sebut saja karya Taufik Ismail dan Chairil Anwar. "Aku terbiasa baca buku2 puisi, dulu yg paling membekas itu karya Taufik Ismail yang tentang rokok, Tuhan Sembilan Senti. Sama aku suka Chairil Anwar, paling favorit Derai-Derai Cemara," jelasnya.
Lintang merasakan, hanya lewat puisi, ia bisa menjadi siapa saja, menjadi apa saja. Bercerita tentang apapun. Kebiasaan menulis puisi itu didasari atas pengalaman pribadinya. Murni curahan hati. Berkisah tentang hari-hari, masalah pribadi, dan keluh kesah. Tertuang mesra dalam buku diary.
"Terus aku punya satu motto kenapa aku harus terus menulis, karena aku pengen karyaku abadi. "Aku ingin menjadi letup, tidak menua, lalu meniada begitu saja." Lebih ke, pengen orang mengingat karyaku, walau ga kenal siapa aku dan ga tau aku yg mana, gapapa, aku mau puisiku aja yang bercerita," katanya.
Awal Muncul Ide Menulis Puisi Sepasang Sepatu
Headline foto Jakarta Post. Sebuah artikel berjudul "Team set up to probe soccer stampede; police use tear of gas in focus" mengilhami Lintang. Nampak foto dengan gate tertutup rapat. Kumpulan berpasang-pasang sepatu tergelatak. Tak bertuan. Lusuh. Kusut.
Lintang menangis melihat foto ini. Batinnya iba. Jiwa simpatinya meronta-ronta. Gelisah. Bergejolak. Senin, 3 Oktober 2022 malam. Jiwanya gelisah. Kegelisahan itulah yang membawa ide menulis puisi yang saat ini viral itu.
Gate di stadion Kanjuruhan Malang, yang mengilhami Lintang untuk membuat puisi. (Foto: Dok. Jakarta Post)
"Jadi ini tuh aku sama apriliapeng (partnerku) gabisa tidur dini hari, gara-gara baca-baca berita kerusuhan itu. Terus dia bikin karya, seperti biasa dia minta aku bikin captionnya. Akhirnya jadilah puisi itu, dan karya itu, yang awalnya kita buat semata-mata untuk bersimpati saja pada keluarga yang kehilangan, dan juga duka untuk sepak bola Indonesia," katanya.
Lintang penulisnya. Aprilia desain grafisnya. Benar meledak. Viral. Sudah ditulis Dahlan Iskan. Tayang di Disway.
Lintang hanya butuh 10 menit untuk menulis kisah ini. Mewakili ratusan orangtua yang matanya lebam dipukul derasnya air mata.
"Pengennya jadi bahan evaluasi buat semua pihak yang selama ini bertanggung jawab atas sepak bola di Indonesia, dan tentunya buat ibu-ibu di seluruh Indonesia yang kehilangan anaknya di laga itu, paling menyentuh berita yang ada anak kecil meninggal dibopong-bopong itu sih like we can not," pungkas Lintang Budiyanti Prameswari, penulis puisi Sepasang Sepatu di Beranda Rumah Ibu. (*)
Pewarta | : Thaoqid Nur Hidayat |
Editor | : Deasy Mayasari |