TIMES JATIM, SURABAYA – Persoalan dan konflik agraria semakin marak di Indonesia. Hal tersebut membuat Presiden RI Joko Widodo geram dan mengimbau untuk seluruh aparat hukum agar mengusut tuntas para mafia tanah.
Konflik agraria ini salah satunya dialami oleh H. Rachman, pemilik tanah seluas 6 hektar yang berlokasi tepat di depan terminal Oso Wilangon, Benowo-Surabaya.
Diketahui sebelumnya tidak ada konflik apapun mengenai tanah bersertifikat yang telah dimiliki oleh H. Rachman sejak 2003 tersebut. Namun, telah dilakukan penetapan eksekusi oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya seiring permohonan sengketa sisa tanah antara Pemkot Surabaya dengan keluarga (Alm) H. Djabar.
Persoalan ini berawal dari sengketa harta waris keluarga (Alm) H. Djabar yang diwakili oleh Kasman Cs dengan Pemkot Surabaya, yang mana pemkot telah memiliki dasar hukum untuk menguasai tanah tersebut.
H. Rachman mengaku tidak mengetahui dan tidak ikut bersengketa karena sesuai peta bidang dan sejarah pertanahan, persoalan itu tidak berada di lokasi miliknya. Padahal tanah tersebut akan dijadikan depo peti kemas yang akan menyerap banyak tenaga kerja.
"Kami sebagai pemilik tanah tidak pernah diberi tahu, baik secara tertulis maupun lisan. Kami juga bingung, meski sudah ditunjukkan sertifikat yang asli, pengadilan tidak percaya dan disuruh menggugat," ungkap H. Rachman.
Menurutnya, masalah ini merupakan tindak pidana yang belum diketahui data jelasnya dan dianggap mengambil hak milik orang lain.
"Mengambil tanahnya orang seperti merampok saja, langsung dipagar, makanya saya minta keadilan," tegasnya.
Di sisi lain, dari penetapan eksekusi tersebut terdapat kejanggalan yang sangat fatal saat melihat TKP (Tempat Kejadian Perkara).
Peter Sosilo selaku kuasa hukum H. Rachman, menjelaskan bahwa ada kesalahan eksekusi yang terlihat dengan jelas terutama pada posisi koordinat tanah yang ditentukan. Hal tersebut berbeda dengan pengumuman di plakat yang terpasang di lokasi.
"Kalau menurut penetapan pengadilan, disebelah barat adalah tanah tambak. Sedangkan di lokasi, yang terlihat adalah jalan raya Tambak Oso Wilangon," jelas Peter.
Dalam hasil putusan eksekusi, batas di sebelah timur tertulis jalan Oso Wilangon, sedangkan di plakat tercantum disebelah barat.
Namun, ada kejanggalan batas sebelah utara, yakni disebutkan tanah milik Edi Suratman. Padahal sesuai gambaran dari Google Maps, batas sebelah utara adalah milik PT Surya Oso Wilangon. Setelah dilakukan pengecekan di kelurahan, ternyata nama Edi Suratman tidak ada di riwayat tanah.
Menurut Peter, adanya kesalahan obyek eksekusi tersebut telah merugikan kliennya dan ketidakprofesionalan penegak keadilan. Namun, pihak PN tidak berkenan melakukan pengecekan kembali mengajukan gugatan ke jalur hukum.
"Jadi kami akan menuntut hak kami secara hukum kepada pemerintah, mengapa tiba-tiba tanah yang sudah bersertifikat hampir 20 tahun dikuasai oleh orang yang tidak jelas," ujar Peter tegas.
Selain itu, Peter mengungkapkan ada kejanggalan lain, yakni Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memohon kepada aparat TNI untuk menjaga aset tanah tersebut.
"Disini, kewenangan dalam melaksanakan hukum harus jelas, ada aturannya. Jangan sampai masyarakat sipil dibenturkan dengan TNI, kasihan dua-duanya," ungkap Peter menyayangkan.
Kemudian ada gugatan kembali terkait tanah sisa 6 hektar melalui permohonan Novum dan jadilah PK (Peninjauan kembali). Tanpa ada penelitian keputusan terdahulu, maka diputuskan seakan-akan bahwa sejarah tanah yang bersengketa merupakan milik (Alm) H. Djabar.
"Ini benang kusut yang harus diurai, karena dalam penetapan tanah sisa 6 hektar tersebut tidak melibatkan kelurahan dan BPN," kata Peter.
Peter kembali menambahkan bahwa masalah ini dapat ditindak secara pidana mengingat adanya keterangan dan data palsu yang diajukan oknum untuk memasang plakat di lokasi.
Sebagai kuasa hukum, Peter Sosilo berjanji akan mengupayakan keadilan untuk kliennya dan mengusut para mafia tanah, mengingat konflik agraria seperti ini banyak terjadi di Indonesia. Selain itu, Peter juga akan bersurat ke beberapa Instansi, termasuk kepada Presiden Jokowi terkait ketidakadilan ini. (*)
Pewarta | : Ammar Ramzi (MG-235) |
Editor | : Deasy Mayasari |