TIMES JATIM, MALANG – Embun pagi menyapa pada Senin Kliwon (6/9/2021). Warga Desa Sumbersuko di Lereng Timur Gunung Kawi mulai berjalan menuju Punden Sentono.
Janur kuning melengkung menyambut langkah kaki menuju jalan setapak. Lokasi punden itu berada di pinggir hutan. Kanan kiri suara tonggeret bersahutan. Matahari lembut menerobos ranting dedaunan. Sepanjang perjalanan nampak asri karena pohon tumbuh subur dan berdaun lebat. Seolah tak pernah kekeringan air.
Ada beberapa anak tangga menuju punden yang dibangun mirip pendopo. Para tetua desa telah berkumpul. Ibu-ibu membawa encek, wadah berbentuk persegi dari pelepah pisang berisi nasi dan aneka lauk. Bapak-bapak menata encek dalam satu barisan rapi. Anak-anak bersila menanti acara syukuran.
Tepat pukul tujuh pagi ritual metri atau bersih desa dimulai. Ritual yang menandai kesakralan bulan Suro di mana legenda Nyai Diah Sekarsari berada. Sosok yang lekat dikenal sebagai Mbok Rondo Kuning. Konon, ia juga dijaga oleh Singobarong.
Sesaat kemudian, tetua desa memberikan sambutan dan mengukir sekelumit kisah legendaris.
Tak banyak literatur dan catatan yang menjelaskan kapan desa tersebut dibuka. Namun jika melihat jejak sejarah sekitar Rabut Katu (Gunung Katu) di mana ditemukan artefak peninggalan zaman Ken Angrok, maka bisa jadi desa ini sudah lama berdiri.
Kendati nama-nama dalam artefak juga tidak terlacak, namun bisa disanepokan atau disamarkan dengan cerita rakyat tentang kisah ibu dan anak yang ayahnya tidak dikenali secara tegas. Dan itu mengarah pada Ken Angrok.
Jejak yang ada kemudian mengarah pada akhir abad ke-17 sekitar masa Perang Diponegoro. Sebagian pasukan Diponegoro lari di Kawasan Gunung Kawi dan sekarang dikenal dengan Pesarean Gunung Kawi.
Jika dilihat lagi lebih jauh hingga naik ke puncak Kawi, juga banyak ditemukan artefak peninggalan masa awal Singasari atau Tumapel dan sisa-sisa masa Medang. Ada pula puncak batu tulis yang merupakan pecahan prasati di Gunung Kawi.
Oleh sebab itu masyarakat adat di Desa Sumbersuko masih kuat memegang teguh tradisi. Saat bulan Suro tiba warga menggelar ritual metri atau bersih desa.
Mereka bersama mengumandangkan doa sebagai wujud syukur segala kelimpahan kekayaan alam. Selesai doa, warga saling bertukar encek untuk dibawa pulang dan menikmatinya bersama keluarga.
Wadah encek tidak menggunakan karton, kertas dan plastik. Karena tahun ini warga kembali memanfaatkan pelepah batang pisang yang dirangkai menjadi nampan sesaji atau encek sesaji. Demikian juga dengan tutup dan alas makanan dibuat dari daun pisang. Bahan-bahan berasal dari lahan masing-masing.
Founder Yayasan DIAL sekaligus Ketua Jawi Kawi Pietra Widiadi mengatakan, langkah ini adalah upaya memberikan makna perlindungan sekaligus pemeliharaan alam dengan membuat sampah organik yang mudah diurai. "Dengan langkah itu warga dapat berhemat karena tidak perlu mengeluarkan biaya," terangnya.
<
Pada saat daun-daun pisang dan pelepah pisang diambil, batang pohon pisang melakukan peremajaan. Sebab bagian yang tidak digunakan tidak akan menua dengan sia-sia. Begitu pula sampah wadah encek saat dibuang di tegal atau lahan akan segera menyatu dengan tanah dan menjadi pupuk.
Bagi Pietra dan warga setempat, metri desa kali ini merupakan simbol pelestarian kawasan desa penyangga hutan di lereng Gunung Kawi tersebut.
"Ini langkah awal, awal sekali untuk mengembalikan ingatan bahwa kehidupan sehari-hari harus bersahabat dengan alam untuk melestarikan kehidupan manusia itu sendiri. Jadi tidak akan sia-sia melaksanakan tradisi dan bagian dari budaya laku Jawa bagi masyarakat Jawa," terang alumnus FISIP Universitas Airlangga ini.
Pietra mengatakan, ritual metri kali ini jatuh pada Senin Kliwon 6 September 2021. Sesuai arahan tetua desa. Upacara ini memberikan makna rasa syukur pada alam semesta yang telah memberikan kehidupan satu tahun sebelumnya.
Meski pada dasarnya sebagian dari warga sudah tidak lagi menggantungkan kehidupannya dengan kegiatan bertani atau tergantung pada alam sepenuhnya.
Makna bergantung pada alam kemudian harus disematkan pada raya syukur bahwa bumi alam semesta masih memberikan berkah berupa limpahan air yang dihasilkan dari hutan yang ada di Kawasan Desa Sumbersuko.
Sebab air adalah kehidupan. Ketergantungan warga pada alam masih tetap kuat. Maka dengan upacara bersih desa atau metri desa ini diharapkan pada tahun mendatang kehidupan warga harus berorientasi pada upaya perlindungan dan pelestarian sumber daya alam. Karena Kawi adalah menara air.
"Dalam hal ini adalah air dan kehidupan pertanian serta perkebunan atau agro-forestry," ujarnya tentang Desa Adat Sumbersuko di lereng Gunung Kawi. (*)
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Ronny Wicaksono |