https://jatim.times.co.id/
Berita

Tak Ada Makam Sunan Kalijaga di Pacitan, Tapi Jejak Dakwahnya Masih Hidup

Jumat, 19 Desember 2025 - 07:22
Tak Ada Makam Sunan Kalijaga di Pacitan, Tapi Jejak Dakwahnya Masih Hidup Jejak dakwah Sunan Kalijaga di kawasan Pantai Kali Uluh, Klesem, Kebonagung, Pacitan berupa Pasolatan baru yang kini masih ada. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)

TIMES JATIM, PACITANKabupaten Pacitan memang tak pernah tercatat sebagai tempat peristirahatan terakhir Sunan Kalijaga. Namun siapa sangka, di balik bukit-bukit karst dan pesisir selatan yang senyap, jejak wali legendaris itu justru hidup dalam petilasan sunyi, punden tua, dan makam murid yang hingga kini tak pernah sepi peziarah.

Nama Sunan Kalijaga selama ini lekat dengan Demak dan jalur pantura. Tetapi dalam lintasan dakwahnya yang panjang, wilayah pesisir selatan Jawa juga menjadi ruang singgah penting. 

Pacitan termasuk di antaranya. Di daerah ini, warisan Sunan Kalijaga tidak hadir dalam bentuk makam, melainkan berupa tapak-tapak spiritual yang dirawat oleh ingatan kolektif masyarakat.

Shalawat-Jawa-di-Pacitan-menandai.jpg

Shalawat Jawa di Pacitan menandai jejak dakwah Sunan Kalijaga yang masih eksis di masyarakat. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia) 

Jejak itu tersebar. Ada yang berupa batu besar yang disakralkan, ada pula punden yang diyakini menjadi tempat dakwah dan perenungan. Semua membentuk lanskap spiritual yang hingga kini masih hidup, menyatu dengan tradisi ziarah dan laku batin masyarakat.

Watu Lakar, Rencana Masjid yang Tak Pernah Jadi

Salah satu situs yang paling sering dikaitkan dengan Sunan Kalijaga adalah Watu Lakar. Di sinilah, menurut cerita tutur yang diwariskan turun-temurun, sang wali pernah merencanakan pendirian sebuah masjid. Namun rencana itu urung dilanjutkan.

Dalam narasi lokal, pembatalan tersebut bukan tanpa alasan. Sunan Kalijaga dikenal memilih jalan dakwah yang halus tidak ingin menonjolkan simbol, apalagi memaksakan kehadiran agama secara fisik. Prinsip itulah yang dipercaya menjadi latar kisah “masjid yang tak pernah berdiri” di Watu Lakar.

Watu Lakar juga dibalut legenda lain yang menambah lapisan maknanya. Masyarakat setempat meyakini adanya istana emas yang tersembunyi di bawah batu besar itu. Secara makna, ini diyakini sbagai simbol tentang kemuliaan batin yang tak selalu tampak di permukaan.

Punden Kali Uluh, Dakwah yang Menyatu dengan Alam

Jejak Sunan Kalijaga di Pacitan juga ditautkan dengan Punden Kali Uluh, yang berada di wilayah Desa Klesem, Kecamatan Kebonagung. Situs ini dipercaya sebagai tempat Sunan Kalijaga menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat setempat, termasuk pengenalan dasar-dasar ibadah.

Namun dakwah di Punden Kali Uluh tidak digambarkan sebagai ceramah formal. Ia hadir sebagai dialog, sebagai laku, sebagai proses perjumpaan batin. Di tempat ini, dakwah menyatu dengan alam, dengan air, pepohonan, dan kesunyian.

Tak heran jika hingga kini Punden Kali Uluh dikenal bukan hanya sebagai tempat ziarah, tetapi juga ruang meditasi dan laku spiritual. Pada waktu-waktu tertentu, lokasi ini ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah, menjadikannya salah satu simpul wisata religi di Pacitan.

Pacitan dalam Jalur Dakwah Pesisir Selatan

Secara geografis dan historis, Pacitan menempati posisi penting di pesisir selatan Jawa. Jalur ini menjadi salah satu ruang interaksi budaya yang intens, tempat bertemunya tradisi lokal dengan ajaran Islam yang dibawa para wali.

Sunan Kalijaga dikenal piawai membaca situasi semacam itu. Dakwahnya tidak berhadapan langsung dengan tradisi, melainkan merangkulnya. Seni, simbol, dan kearifan lokal dijadikan medium penyampai pesan keislaman.

Pendekatan inilah yang membuat ajaran Islam dapat diterima secara perlahan, tanpa gejolak. Di wilayah pesisir selatan, termasuk Pacitan, pola dakwah kultural semacam ini meninggalkan jejak panjang yang masih terasa dalam cara masyarakat memaknai ritual, ruang sakral, dan tradisi turun-temurun.

Makam Syekh Ali Murtadha, Simpul Ziarah yang Terus Hidup

Jejak Sunan Kalijaga di Pacitan semakin kuat dengan keberadaan makam Syekh Ali Murtadha, yang dikenal sebagai salah satu muridnya. Makam ini hingga kini menjadi tujuan ziarah penting, terutama bagi para penghafal Al-Qur’an.

Di kawasan yang sama, terdapat pula makam murid-murid lainnya. Aktivitas keagamaan seperti khataman Al-Qur’an kerap digelar, menjadikan area tersebut sebagai ruang spiritual yang terus berdenyut.

Kehadiran makam-makam ini menunjukkan bahwa Pacitan bukan sekadar wilayah persinggahan. Ia merupakan bagian dari mata rantai dakwah yang terhubung langsung dengan pusat-pusat penyebaran Islam di Jawa.

Warisan Budaya sebagai Jalan Dakwah

Warisan dakwah Sunan Kalijaga juga tercermin melalui kesenian, tembang, wayang kulit, hingga gamelan yang berkembang luas di Jawa, termasuk di wilayah selatan. Kesenian bukan sekadar hiburan, melainkan sarana penyampaian nilai dan pesan moral.

Di Pacitan, jejak pendekatan ini masih terasa dalam berbagai tradisi lokal yang menjunjung harmoni, simbolisme, dan kebijaksanaan. Nilai-nilai tersebut selaras dengan ajaran Islam yang menekankan keseimbangan lahir dan batin.

Sastra Jendra, Akar Dakwah Kultural yang Masih Dijaga

Jejak Sunan Kalijaga di Pacitan tidak hanya terbaca dari petilasan dan makam muridnya. Nilai-nilai dakwah kultural yang ia wariskan juga hidup dalam ajaran leluhur yang hingga kini dijaga para sesepuh adat. Salah satunya adalah Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, ajaran tua yang menekankan harmoni hidup dan pengendalian angkara murka manusia.

Salah satu penjaga nilai tersebut adalah Mislan (89), sesepuh adat dan Dalang. Pria yang akrab disapa Mbah Lan, warga Dusun Sengon, Desa Piton, Kecamatan Punung, menilai ajaran leluhur semacam Sastra Jendra justru semakin relevan di tengah kehidupan modern.

“Kita sadar, pada abad ke-21 ini banyak orang melakukan tindakan merusak atas dasar emosional dan keangkaramurkaan. Padahal nenek moyang dulu sudah menjalankan ajaran luhur Sastra Jendra,” ujar Mislan, Jumat (19/12/2025).

Menurutnya, Sastra Jendra mengajarkan pola relasi yang utuh dan berimbang. Tidak hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga relasi manusia dengan sesama makhluk dan alam semesta.

“Ada kesinambungan harmonisasi antara manusia dengan Tuhan, Tuhan dengan manusia, manusia dengan sesama makhluk, dan Tuhan dengan seluruh ciptaan-Nya,” imbuhnya.

Pola relasi inilah yang, menurut Mislan, sejalan dengan jalan dakwah Sunan Kalijaga. Dakwah yang tidak konfrontatif, tidak memaksakan simbol, melainkan meresap perlahan melalui laku hidup, keteladanan, dan kearifan lokal.

Dalam pemahaman Mislan, Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu bukan sekadar pengetahuan, melainkan petuah hidup yang menuntun manusia menuju keselamatan sejati.

“Sastra Jendra itu berwujud petuah. Maknanya adalah puncak keselamatan manusia, untuk memperindah semesta sekaligus mengendalikan sifat angkara murka dalam menjalani kehidupan,” jelasnya.

Ia menegaskan, ajaran yang diwariskan turun-temurun tersebut memiliki fungsi utama untuk merawat peradaban. Bagi Mbah Lan, menjaga ajaran leluhur sama artinya dengan menjaga kesinambungan nilai kemanusiaan di Nusantara.

“Sudah jelas, ajaran Sastra Jendra yang paling utama adalah untuk merawat peradaban yang telah lama dibangun oleh nenek moyang di tanah air tercinta ini,” tuturnya.

Karena itu, Mislan mengingatkan agar masyarakat tidak lagi saling membentur-benturkan pemahaman yang berujung pada perpecahan. Ia menilai, banyak konflik muncul karena manusia tercerabut dari akar budaya dan nilai asalnya.

“Jangan sampai ada perpecahan hanya karena kita melupakan adat istiadat dari mana kita berasal,” pesannya.

Ia mengajak masyarakat untuk kembali membuktikan bahwa peradaban Nusantara belum sirna. Justru di tengah keberagaman adat dan tradisi, terdapat kekuatan untuk melangkah bersama. “Nusantara dengan adat istiadatnya yang berbeda-beda itu bisa menyelaraskan langkah untuk maju bersama,” katanya.

Dalam Sastra Jendra, lanjut Mislan, manusia dituntut memiliki pedoman hidup yang kuat, yang dirangkum dalam konsep urip yang dalam pemaknaan Jawa mencakup ugeran (aturan), rukun, insaf, dan penak.

Namun untuk mencapai tingkat hidup tersebut, manusia harus menempuh laku batin. Sukma, jiwa, dan rasa dituntut untuk manunggal menyatu secara utuh. "Caranya dengan tirakat, tapa brata, dan laku prihatin. Dengan meninggalkan kenikmatan duniawi itulah manusia bisa sampai pada puncak kesempurnaan hidup,” ujarnya.

Nilai-nilai inilah yang, secara kultural dan spiritual, menjembatani ajaran leluhur Pacitan dengan jalan dakwah Sunan Kalijaga. Sebuah warisan sunyi yang tidak hanya hidup dalam situs dan petilasan, tetapi juga dalam laku hidup yang terus dijaga hingga hari ini.

Shalawat Jawa Jolotundo, Dakwah Walisongo yang Terus Berdendang

Jejak dakwah kultural ala Walisongo di Pacitan tidak berhenti pada petilasan, punden, atau ajaran leluhur yang dijaga para sesepuh adat. Di tengah gempuran modernisasi, nilai-nilai itu juga hidup melalui seni pertunjukan.

Salah satunya Shalawat Jawa Jolotundo, kelompok shalawat asal Pacitan yang hingga kini konsisten merawat dakwah melalui jalur budaya.

Shalawat Jawa Jolotundo dirintis pada 1999 oleh Ustadz Nasikin, dai muda asal Desa Ploso, Kecamatan Punung. Sejak awal, kelompok ini membawa misi sederhana namun kuat: mengenalkan dakwah ala Walisongo kepada masyarakat, terutama generasi muda, melalui bahasa seni yang membumi.

Ciri khas Jolotundo terletak pada irama gamelan lengkap yang dipadukan dengan duror dan syair shalawat berlanggam Jawa. Lagu-lagu yang dibawakan sarat dengan tuntunan dan nilai dakwah para Wali Songo, khususnya jalan dakwah Sunan Kalijaga.

“Awal merintis sekitar 1999. Waktu itu kondisinya masih sangat sederhana,” kenang Nasikin.

Ia mengakui, berdakwah di tengah masyarakat awam bukan perkara mudah. Tantangan kerap datang, termasuk soal keterbatasan sarana dan jarak tempuh. “Dulu sering jalan kaki sambil memikul alat musik puluhan kilometer, melewati jalan terjal hingga pelosok kampung lintas kabupaten,” ujarnya.

Meski penuh rintangan, Nasikin tetap teguh. Baginya, melestarikan seni dan tradisi bukan sekadar pilihan, melainkan napas hidup.

Kini, Shalawat Jolotundo telah melewati tiga generasi pergantian personel. Para penerusnya berasal dari kalangan seniman, musisi, hingga dalang muda yang berbakat. Di mata masyarakat Pacitan, Jolotundo bukan kelompok asing. Kehadirannya selalu dinanti dalam berbagai hajatan, mulai dari sunatan, walimah nikah, akikah, hingga pengajian umum.

Salah satu ciri khas yang selalu hadir dalam setiap penampilan adalah Syiir Jolotundo. Syair ini menjadi penanda sekaligus pengingat tentang pentingnya merawat budaya dan nilai-nilai agama.

Amiwiti klawan muji kang Kuwoso
Soho nderek coro dakwah Walisongo
Kabudayan ben lestari, lan agomo trus ngremboko
Jolotundo pinongko dadi pangarso
Syair tersebut mengajak umat untuk memuji Allah, mengikuti jalan dakwah Walisongo, serta menjaga agar budaya dan agama tetap lestari.
Syair lainnya menegaskan asal-usul dan cita-cita kelompok ini.
Jolotundo mijil songko Deso Ploso
Dadi conto nyedak marang kang Kuwoso
Wajibe dilakoni lan sunah diamalno
Jolotundo mugi lestari widodo

Nama Jolotundo sendiri, menurut Nasikin, lahir secara spontan. “Waktu itu ada yang tanya nama saat pertama kali diundang hajatan. Saya langsung bilang Jolotundo,” katanya sambil tersenyum.

Selain shalawat langgam Jawa, kelompok ini juga kerap membacakan Dziba’ Al-Barzanji dalam tradisi akikah bayi, yang di masyarakat dikenal sebagai Asyraqalan. Penampilannya menyesuaikan permintaan dan momentum acara.

“Tergantung kebutuhan masyarakat. Saya juga sering diminta mengisi pengajian,” pungkas Nasikin.

Melalui Jolotundo, Nasikin mengajak generasi muda untuk mencintai seni dan budaya warisan leluhur sebagai bagian dari jati diri bangsa. Baginya, seni adalah jalan dakwah yang lembut, menyentuh, dan mudah diterima.

Keberadaan Shalawat Jawa Jolotundo menjadi bukti bahwa dakwah ala Walisongo sebagaimana jejak Sunan Kalijaga di Pacitan, ternyata masih relevan hingga hari ini. Ia hidup, berdendang, dan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. (*)

Pewarta : Yusuf Arifai
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.