TIMES JATIM, PACITAN – Ladang-ladang di pesisir selatan Pacitan kembali bergolak. Dalam satu tahun terakhir, warga Desa Widoro, Kecamatan Donorojo, menghadapi serangan berulang koloni besar kera ekor panjang (Macaca fascicularis) yang merusak tanaman pangan sebelum mencapai masa panen. Serangan terjadi hampir setiap hari, bahkan dalam skala yang kian meluas ke desa tetangga.
Di Dusun Tenggar, misalnya, kerusakan tanaman berlangsung dalam pola yang membuat warga kewalahan. “Banyak yang gagal panen setelah tanamannya dirusak kawanan kera ekor panjang. Dua sore datang, dua sore pergi lagi. Apapun dirusak, jagung sebelum panen sudah kedahuluan kera. Kacang ditinggal pulang tahu-tahu ludes,” ujar Kaur Pemerintahan Desa Widoro, Eniati, Jumat (5/12/2025).
Menurutnya, situasi ini sudah berlangsung setahun terakhir, dan bukannya mereda, justru semakin menyebar hingga ke Desa Sendang, Sawahan, Kalak, serta Desa Dersono di Kecamatan Pringkuku.
Ladang Rusak, Gubuk Petani Diserang
Kerusakan tidak hanya menimpa tanaman pangan, tetapi juga menyasar gubuk-gubuk kecil milik petani yang berada di area tegalan. Eniati mengatakan, perilaku kera kini tampak semakin berani dan tak lagi takut manusia.
“Gubuk petani juga dirusak. Gentingnya dilempar-lempar. Kalau yang punya gubuk itu pernah menghardik kawanan, pasti diincar. Sepertinya di hutan sekarang sudah tidak ada lagi makanan,” katanya.
Beberapa warga mencoba menembak untuk mengusir, tetapi upaya itu justru memperburuk keadaan. “Misalnya ditembak, maka yang terjadi justru timbul dendam dan ngamuk membawa kawanan yang lebih banyak,” tambahnya.
Bahkan alat pengusir yang biasa efektif, petasan long, bunyi-bunyian, hingga lem tikus tak memberi hasil berarti. Kera hanya menjauh sesaat, kemudian kembali lagi begitu suara mereda.
Gubug penyimpanan sementara hasil petani gula kelapa tak luput dari amukan kera ekor panjang. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Jejak Ekologi yang Berubah
Letak geografis Widoro membuat wilayah ini langsung bersinggungan dengan bentang alam pesisir. Di utara berbatasan dengan Desa Klepu, timur dengan Sawahan dan Kalak, di barat dengan wilayah Wonogiri, dan selatan dengan Samudra Hindia. Perubahan fungsi ruang di garis pantai disebut warga berkontribusi terhadap perpindahan satwa.
“Kami menduga yang tadinya berada di kawasan tebing laut selatan, terus begitu ramai untuk wisata mereka merasa terusik. Dulu tidak pernah terjadi. Baru setahun terakhir ini,” ujar Eniati.
Widoro kini memiliki sejumlah destinasi wisata di area pesisir Pantai Nyawiji, Kijingan, Banyu Tibo, dan Buyutan. Aktivitas wisata semakin intens dalam beberapa tahun terakhir.
“Kemungkinan menurut kami itu penyebabnya,” imbuhnya.
Pada malam hari, kera-kera tersebut bertengger di pepohonan yang tersisa: akasia, walikukun, dan jati berukuran kecil. Namun, fragmen hutan yang semakin menyusut mengurangi ketersediaan pakan alami.
Ratusan Ekor, Ukuran Besar, Tak Takut Manusia
Petani Dusun Widoro, Parmo (51), mengaku serangan koloni kera terjadi hampir setiap hari. Menurutnya, jumlahnya bisa mencapai ratusan, terbagi dalam beberapa rombongan.
“Hampir setiap hari kawanan kera menyerbu lahan pertanian hingga kepala kelapa yang selama ini kami ambil air niranya. Cengkir kelapa dirusak sebelum jadi degan. Kalau sudah rombongan seratusan, itu beberapa rombongan,” tuturnya.
Ia menambahkan, habitat lama kera kemungkinan berada di tebing pantai yang kini menjadi jalur wisata. “Dulu makanannya buah pandan atau belibis, kepiting bebatuan. Akhirnya tegalan warga jadi sasaran,” katanya.
Parmo kini tidak berani menderes kelapa. “Paragonnya dirusak sama kera. Kalau sudah begitu, air niranya juga susut. Bikin kesal,” keluhnya.
Warga lain, Mukadi (75), menyampaikan hal serupa. Ladangnya di kawasan Ngaglik tak luput dari serangan. “Ada yang sempat diserang kawanan kera seukuran manusia. Berani sama manusia. Jagung tak berani tanam,” ujarnya.

Penderes Kelapa Turut Terancam
Nusrina (42), penderes kelapa, juga merasa pekerjaannya semakin berisiko. “Kelapanya pernah dijarah kera. Sehari saya biasanya menderes nira 9 liter. Sekarang khawatir kalau naik pohon,” ungkapnya.
Ia menyebut, rombongan kera terbesar sering muncul di kawasan Banyutibo. “Keranya banyak, tidak takut manusia, siang bolong,” katanya.
Catatan Lapangan BBKSDA Jawa Timur
Call Center BBKSDA Jatim menerima laporan warga Widoro pada 2 Desember 2025. Tim Respon Cepat RKW 06 dari Seksi KSDA Wilayah II Bojonegoro segera menuju Dusun Serenan.
Meski saat petugas datang kawanan kera tidak terlihat, kerusakan tanaman meninggalkan jejak jelas. Daun jagung patah, batang singkong tercabut, pisang tercerai-berai, rumput gajah seperti habis digasak.
Petugas mencatat bahwa serangan juga terjadi di Talunrejo, Nguluh, Gesing, hingga Tenggar.
Menurut hasil wawancara, jumlah kera diperkirakan mencapai seratusan ekor dalam beberapa koloni. Tanaman yang rusak meliputi singkong, kelapa, pisang, jagung, kacang tanah, hingga pohon nangka.
BBKSDA Jatim menilai pola ini konsisten dengan fenomena konflik satwa-manusia akibat perubahan bentang alam. Ketika hutan terfragmentasi, satwa liar beradaptasi dan mencari sumber makanan baru ke area pertanian.
Dalam kunjungan itu, petugas sempat memberikan edukasi mengenai teknik pengusiran yang lebih terstruktur dan pentingnya pencatatan kejadian harian meliputi jumlah individu, arah pergerakan, dan jenis kerusakan. Data ini menjadi dasar mitigasi jangka panjang.
Tekanan Ekologis yang Semakin Nyata
Dalam catatan konservasi, Macaca fascicularis termasuk primata oportunis yang cepat mempelajari pola-pola baru. Ketika habitat terganggu, mereka berpindah mendekati ruang manusia demi mendapatkan energi dengan upaya minimal.
Kasus Widoro bukan kejadian tunggal di Indonesia, tetapi menjadi contoh gamblang bagaimana perubahan lanskap dapat menciptakan tekanan ekologis yang berujung konflik.
BBKSDA Jatim menyatakan siap mendampingi warga melalui strategi mitigasi, edukasi, dan pemantauan populasi. Namun, solusi jangka panjang membutuhkan sinergi antara konservasi, tata kelola wisata, dan pengelolaan ruang hidup satwa.
Kasus Widoro mengajarkan bahwa keseimbangan ekologis bukan konsep abstrak. Ia hidup bersama manusia, berubah ketika ruang alam berubah, dan menuntut perhatian serius agar satwa dan manusia dapat hidup berdampingan tanpa harus saling merugikan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kera Ekor Panjang Serbu Ladang di Pacitan: Konflik Satwa-Manusia Meluas, Petani Terancam Gagal Panen
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Deasy Mayasari |