TIMES JATIM, PACITAN – Ada banyak cara sebuah tempat mendapatkan namanya. Bisa dari letak geografis, peristiwa sejarah, atau sekadar kesepakatan belaka. Tapi bagi Desa Punjung, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, nama itu bukan sembarang nama. Ia lahir dari wasiat seorang petapa, seorang yang lebih dulu ada sebelum penduduk menetap dan sawah ladang membentang.
Desa Punjung berdiri tegak di antara perbukitan yang subur. Warganya hidup dari tanah, bertani dan beternak, menyesap udara pegunungan yang masih jernih. Namun, di balik kesederhanaannya, desa ini menyimpan kisah yang tak kalah menarik dari babad tanah Jawa.
Mantan Kepala Desa Punjung, Suharno, yang juga seorang pemerhati sejarah lokal, mengisahkan. Konon, sebelum ada pemukiman, daerah ini hanya dihuni oleh seorang petapa bernama Ki Ageng Punjung.
"Berapa lama ia bertapa, tak ada yang tahu pasti. Yang jelas, beliaulah awal mula semuanya," ujarnya, Jumat (14/2/2025).
Suatu hari, seorang warga yang melintas melihat Ki Ageng Punjung. Entah karena iba atau hanya ingin berbuat baik, ia pun memberikan makanan.
Sang pertapa menerima dengan senyum dan berkata, “Jika kelak tempat ini dihuni manusia, aku akan menamainya Punjung.” "Begitulah wasiatnya," tambah Suharno.
Tak hanya nama, Ki Ageng Punjung juga meninggalkan sebiji buah pakel yang ditanam di dekat tempat pertapaannya.
Pohon itu tumbuh besar, berbuah lebat, dan buahnya terkenal sebagai pakel gurih. Sayangnya, waktu tak bisa ditawar.
"Pohon pakel itu akhirnya mati, menyisakan dua batang kayu besar yang masih berdiri di samping punden," ungkap Suharno.
Punden Ki Ageng Punjung terletak di Dusun Gawang, berdampingan dengan pemakaman umum desa.
Warga setempat merawatnya dengan penuh hormat, membersihkannya secara berkala, dan membangunkan pagar serta rumah kecil di sekelilingnya.
Bagi sebagian warga, punden ini bukan sekadar situs sejarah, melainkan penjaga desa. Kepercayaan lama masih berbisik di antara mereka, bahwa tempat ini memberikan ketenteraman dan menolak mara bahaya.
Namun, di luar kepercayaan itu, yang lebih penting adalah warisan budaya yang tetap hidup.
“Melestarikan budaya bukan perkara ritual belaka. Ini soal kesadaran, soal meneruskan apa yang sudah ada tanpa perlu diperintah. Sehari-hari kita menjalani, sadar atau tidak, itulah bagian dari identitas kita," tegas Suharno.
Menjelang tahun 1800-an, wilayah ini mulai dihuni. Kepala desa pertama, Kasan Marwi, mengambil nama “Punjung” sesuai wasiat Ki Ageng Punjung.
"Maka, terbentuklah desa dengan beberapa dusun yang kemudian terus berkembang," jelas Suharno.
Kini, Desa Punjung bukan hanya sebuah tempat di peta. Ia adalah cerita yang terus hidup. Dari tanahnya yang subur hingga gunung-gunungnya—Gunung Lanang, Gunung Bathok, dan Gunung Jepen—segala sesuatu di sini memiliki makna.
Sejarahnya bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah bagian dari identitas yang terus dijaga. Dari kisah seorang petapa hingga sawah yang kini membentang, Desa Punjung adalah bukti bahwa warisan leluhur bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.
"Sebab, seperti yang sudah-sudah, tempat yang melupakan sejarahnya, cepat atau lambat, akan kehilangan jiwanya sendiri," pungkas Suharno. (*)
Pewarta: Dwi Ikhsandi, Mahasiswa Magang Non Kependidikan STKIP PGRI Pacitan.
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |