TIMES JATIM, MALANG – Guru Besar Universitas Brawijaya, Prof Syahrul Kurniawan, memperkenalkan model Rancang Bangun Sistem Agroforestri dan Iklim (RaBaSATI). Model ini dia buat untuk menjadi solusi dalam menghadapi perubahan iklim, mencegah bencana hidrometeorologi, serta mendorong pembangunan berkelanjutan berbasis kehutanan sosial.
Dalam pemaparannya, profesor bidang Manajemen Agroforestri dan Kesuburan Tanah itu menyoroti bahwa alih fungsi hutan menjadi lahan tanaman semusim telah memicu berbagai permasalahan lingkungan, termasuk banjir bandang, tanah longsor, kekeringan, serta degradasi kesuburan tanah. Meski praktik ini memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek bagi masyarakat sekitar hutan, dampak ekologisnya sangat besar dan dapat berakibat buruk dalam jangka panjang.
"Alih pemanfaatan hutan dari pohon menjadi tanaman semusim memang memberikan peluang peningkatan ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga mengakibatkan berbagai bencana ekologis, terutama saat musim hujan dan kemarau," ujar Prof. Syahrul.
Fenomena ini mencerminkan konflik antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekologi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih holistik untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi masyarakat dengan pelestarian lingkungan.
Sebagai solusinya, Profesor ke 33 di Fakultas Pertanian UB ini memperkenalkan RaBaSATI, sebuah model agroforestri berbasis iklim yang mengintegrasikan sistem pertanian dan kehutanan dengan pendekatan sosial-ekonomi. Model ini dikembangkan dengan tujuan utama untuk mewujudkan hutan lestari sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Model RaBaSATI didesain untuk menjawab tantangan perubahan iklim dengan mengoptimalkan fungsi hutan sebagai penyangga ekosistem sekaligus sumber ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Menurut Prof. Syahrul, RaBaSATI memiliki karakteristik unik dan inovatif yang membedakannya dari pendekatan agroforestri konvensional. Karakteristik tersebut meliputi partisipatif, adaptif terhadap iklim, inovatif dan produktif, serta aplikatif.
"RaBaSATI menargetkan hasil yang beragam, konservasi tanah dan air, peningkatan cadangan karbon, peningkatan biodiversitas, peningkatan pendapatan petani, serta perbaikan kesehatan dan hubungan sosial masyarakat. Semua ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs)," jelas Prof. Syahrul.
RaBaSATI dirancang untuk menjawab berbagai tantangan lingkungan yang dihadapi Indonesia, terutama dalam sektor kehutanan dan pertanian. Beberapa manfaat utama model ini meliputi konservasi tanah dan air, peningkatan cadangan karbon, keanekaragaman hayati, hingga meningkatkan pendapatan petani.
"Pemilihan jenis tanaman dalam model RaBaSATI dilakukan berdasarkan kesesuaian lahan dan iklim, sehingga tanaman lebih adaptif terhadap lingkungan dan risiko gagal panen dapat diminimalisir. Selain itu, penerapan pemupukan yang tepat serta sistem irigasi hemat air menjadikan model ini lebih ramah lingkungan," tambah Prof. Syahrul.
Agar model RaBaSATI dapat diadopsi secara luas, Prof. Syahrul menekankan bahwa diperlukan dukungan kebijakan dari pemerintah. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memberikan insentif bagi petani yang menerapkan sistem agroforestri berbasis iklim ini.
"Pemerintah harus mengambil peran aktif dalam mendorong implementasi RaBaSATI, baik melalui regulasi maupun insentif kepada masyarakat yang menerapkan sistem ini. Dengan begitu, kita bisa mewujudkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan," tegasnya.
Selain itu, menurutnya, perlu ada integrasi antara berbagai sektor, termasuk akademisi, pemerintah, dan pelaku usaha, dalam menerapkan model ini secara lebih luas. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk terus menyempurnakan model RaBaSATI agar lebih optimal dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |