TIMES JATIM, LAMONGAN – Dalam waktu dekat ritual demokrasi di tingkat daerah akan digelar secara serentak, melalui mekanisme secara konstitusional. Pilkada yang esensinya dimaksudkan untuk melahirkan pemimpin yang berintegritas, memiliki kompetensi dan dedikasi tinggi dalam mensejahterakan masyarakat level daerah, akan menjadi kehilangan esensinya, manakala Pilkada dimaknai hanya sekedar ajang perebutan kekuasaan.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia merupakan salah satu pilar demokrasi yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan pemimpinnya. Namun, dalam praktiknya, Pilkada seringkali diwarnai oleh fenomena yang mencerminkan kelemahan mendasar dalam demokrasi kita: rendahnya pendidikan politik masyarakat dan maraknya politik uang. Fenomena ini tidak hanya merusak integritas Pilkada, tetapi juga mencerminkan tantangan besar dalam mewujudkan demokrasi yang matang dan berkeadilan.
Pendidikan politik adalah proses pembelajaran di mana masyarakat memahami hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam sistem demokrasi. Sayangnya, di Indonesia, tingkat pendidikan politik masyarakat masih rendah. Banyak pemilih yang tidak memahami secara mendalam mekanisme demokrasi, peran mereka dalam menentukan arah kebijakan, serta kriteria ideal untuk memilih pemimpin.
Salah satu penyebab rendahnya pendidikan politik adalah minimnya akses informasi yang objektif dan mendidik. Media massa, yang seharusnya menjadi sarana edukasi, seringkali lebih fokus pada sensasi dibandingkan substansi. Alih-alih memberikan ruang untuk debat visi dan misi kandidat, media seringkali lebih tertarik meliput isu-isu pribadi yang tidak relevan. Hal ini membuat masyarakat lebih cenderung memilih berdasarkan popularitas atau kesan personal kandidat, daripada mempertimbangkan rekam jejak dan program kerja.
Selain itu, rendahnya pendidikan politik juga dipengaruhi oleh lemahnya sistem pendidikan formal dalam memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan yang relevan dengan konteks demokrasi modern. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), misalnya, seringkali diajarkan dengan pendekatan hafalan dan tidak menumbuhkan kesadaran kritis siswa terhadap isu-isu politik dan kebijakan publik.
Politik Uang: Penyakit Kronis Pilkada 2024
Rendahnya pendidikan politik masyarakat membuka ruang bagi praktik politik uang, yang menjadi momok dalam setiap pelaksanaan Pilkada. Politik uang terjadi ketika kandidat atau tim suksesnya memberikan imbalan berupa uang, barang, atau fasilitas tertentu kepada masyarakat dengan tujuan mendapatkan dukungan suara. Praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak esensi demokrasi.
Politik uang berakar pada hubungan patron-klien yang masih kuat di masyarakat Indonesia. Dalam hubungan ini, pemilih melihat kandidat sebagai pemberi patronase, sementara mereka sendiri berperan sebagai penerima. Pemilih cenderung menilai kandidat bukan berdasarkan kompetensi atau integritasnya, melainkan seberapa besar manfaat langsung yang dapat mereka peroleh selama masa kampanye.
Selain itu, kemiskinan dan ketimpangan ekonomi juga menjadi faktor yang mendorong maraknya politik uang. Dalam situasi di mana kebutuhan dasar masyarakat belum terpenuhi, tawaran uang atau barang dari kandidat seringkali dianggap sebagai solusi jangka pendek yang lebih konkret dibandingkan janji-janji kampanye.
Kombinasi rendahnya pendidikan politik dan politik uang memiliki dampak negatif yang serius terhadap kualitas Pilkada. Pertama, hal ini menciptakan pemimpin yang tidak kompeten atau tidak memiliki visi yang jelas untuk kemajuan daerahnya. Pemimpin yang terpilih karena politik uang cenderung mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, daripada memperjuangkan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Kedua, politik uang memperkuat budaya korupsi. Kandidat yang mengeluarkan dana besar untuk memenangkan Pilkada akan merasa perlu mengembalikan "investasi" mereka setelah terpilih, seringkali dengan cara yang tidak etis seperti menyalahgunakan anggaran daerah atau melakukan kolusi.
Ketiga, rendahnya pendidikan politik dan politik uang mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. Ketika masyarakat merasa bahwa suara mereka hanya dipandang sebagai alat transaksi, mereka menjadi apatis terhadap proses politik. Apatisme ini, pada gilirannya, memperburuk partisipasi politik dan melemahkan legitimasi pemerintah yang terpilih. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya komprehensif dari berbagai pihak.
Peningkatan Pendidikan Politik
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Program-program edukasi seperti seminar, diskusi publik, dan pelatihan pemilih dapat membantu masyarakat memahami pentingnya peran mereka dalam demokrasi. Media juga harus berperan aktif dengan menyediakan informasi yang objektif dan mendidik tentang kandidat dan proses Pilkada.
Penegakan Hukum yang Tegas terhadap Politik Uang
Bawaslu dan lembaga penegak hukum harus lebih tegas dalam menindak praktik politik uang. Selain itu, masyarakat juga perlu diberdayakan untuk melaporkan kasus politik uang dengan memberikan perlindungan hukum bagi pelapor.
Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi
Mengatasi politik uang juga memerlukan pendekatan struktural. Pemerintah perlu fokus pada pengurangan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sehingga masyarakat tidak lagi tergoda oleh iming-iming jangka pendek.
Transparansi dan Akuntabilitas Kandidat
Calon kepala daerah perlu diwajibkan untuk mempublikasikan sumber dana kampanye mereka. Hal ini akan membantu mengurangi potensi praktik politik uang dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas kandidat.
Pilkada adalah momentum penting dalam demokrasi Indonesia. Namun, tanpa upaya serius untuk meningkatkan pendidikan politik masyarakat dan memberantas politik uang, Pilkada hanya akan menjadi ritual demokrasi yang kehilangan esensinya.
Pendidikan politik yang baik dan penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk memastikan bahwa Pilkada benar-benar menjadi sarana bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata. Dengan demikian, demokrasi Indonesia dapat tumbuh menjadi lebih sehat, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
***
*) Oleh : Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pilkada 2024, Rendahnya Pendidikan Politik dan Masifnya Politik Uang
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |