https://jatim.times.co.id/
Opini

Robot Polisi: Rakyat Bertahan, Negara Beli Mainan

Sabtu, 12 Juli 2025 - 08:30
Robot Polisi: Rakyat Bertahan, Negara Beli Mainan Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

TIMES JATIM, SURABAYA – Dalam negara demokratis yang menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, seharusnya setiap kebijakan publik lahir dari pemahaman terhadap realitas sosial yang hidup dan dirasakan masyarakat sehari-hari. 

Namun, akhir-akhir ini muncul satu ironi besar yang patut dipertanyakan secara serius: di tengah penderitaan masyarakat karena sulitnya lapangan kerja, pelayanan kesehatan yang terbatas, serta subsidi yang perlahan dicabut, pemerintah justru memutuskan untuk membeli robot polisi seharga hampir tiga miliar rupiah. Sebuah keputusan yang mencerminkan keterputusan antara elite dan realitas rakyat.

Pertanyaannya sederhana: dalam situasi ekonomi yang belum pulih, dengan jutaan pengangguran dan daya beli masyarakat yang terus menurun, untuk apa negara membeli robot polisi yang fungsinya bahkan belum jelas? 

Di mana letak urgensinya ketika antrean BPJS masih mengular berjam-jam, ketika rumah sakit tidak mampu menampung lonjakan pasien, dan ketika subsidi untuk masyarakat miskin satu per satu mulai dikurangi atas nama efisiensi fiskal?

Rakyat Berjuang, Negara Sibuk Belanja Simbol

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa per Februari 2025, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai lebih dari 7 juta jiwa. Di sisi lain, sebagian besar tenaga kerja informal hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Upah rendah, tanpa perlindungan sosial yang memadai, dan dengan biaya hidup yang terus merangkak naik. 

Banyak keluarga harus memutuskan antara membayar uang sekolah anak atau membeli beras untuk satu minggu ke depan. Di tengah kondisi itu, pembelian robot polisi yang bernilai fantastis menjadi keputusan yang tidak hanya tidak sensitif secara sosial, tetapi juga keliru secara etis dan strategis.

Masalahnya bukan pada teknologinya. Rakyat Indonesia tidak anti terhadap kemajuan. Masyarakat justru terbuka terhadap inovasi yang mempermudah hidup, meningkatkan produktivitas, dan menyelesaikan masalah yang riil. 

Tetapi ketika yang dibeli adalah robot patroli yang berjalan seperti mainan mahal di ruang publik yang tidak bisa membaca konteks sosial, tidak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan, bahkan tidak bisa berempati maka rakyat berhak bertanya: siapa sebenarnya yang sedang dijaga robot ini?

Efisiensi Anggaran atau Simulasi Kemajuan?

Salah satu alasan klasik pemerintah ketika menghapus atau mengurangi subsidi adalah keterbatasan fiskal. Rakyat diminta “mengerti” kondisi keuangan negara. Namun pengadaan robot polisi dengan biaya miliaran rupiah menunjukkan bahwa efisiensi anggaran ternyata bersifat selektif. 

Program rakyat dikurangi, tetapi proyek simbolik tetap jalan. Ini bukan sekadar persoalan alokasi anggaran, tetapi menyangkut integritas dan keberpihakan penguasa.

Dalam teori kebijakan publik, terutama yang menekankan value for money, setiap rupiah anggaran negara harus menghasilkan manfaat yang nyata dan terukur. Artinya, penggunaan anggaran harus berdampak langsung terhadap kesejahteraan publik. 

Jika tidak, maka pengeluaran tersebut masuk dalam kategori pemborosan. Robot polisi seharga 3 miliar rupiah yang hanya berfungsi sebagai alat pengawasan simbolik tanpa efek signifikan terhadap peningkatan rasa aman atau penurunan kejahatan jelas merupakan bentuk pemborosan anggaran yang sangat mencolok.

Ketimpangan Akses Pelayanan Publik

Sementara itu, di banyak daerah, rakyat harus bersabar antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan layanan BPJS. Rumah sakit penuh, fasilitas kesehatan terbatas, dan tenaga medis kewalahan. 

Di sektor pendidikan, masih banyak sekolah rusak, guru honorer digaji rendah, dan fasilitas belajar jauh dari standar layak. Subsidi pupuk dicabut, bantuan sosial dipangkas, dan harga pangan tidak stabil.

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa negara belum menempatkan prioritas pada kebutuhan dasar masyarakat. Padahal, amanat konstitusi sangat jelas: negara harus menjamin hak atas kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan yang layak. 

Ketika negara malah memilih membeli robot dengan harga miliaran, yang tidak menyelesaikan satu pun persoalan struktural masyarakat, maka yang perlu dievaluasi bukan hanya kebijakan, tetapi cara berpikir penyelenggara negara.

Simbol Teknologi Tanpa Arah

Robot polisi mungkin diciptakan atas nama kemajuan teknologi. Namun, teknologi yang tidak dikawal dengan kebijaksanaan politik hanya akan menjadi simbol kosong. Ia bukan solusi, melainkan menjadi tanda bahwa negara lebih tertarik membangun citra daripada memperbaiki sistem.

Dalam konteks negara berkembang, teknologi seharusnya diarahkan untuk menyelesaikan persoalan paling mendasar. Robot bisa berguna jika digunakan untuk mempercepat layanan publik, membantu sistem distribusi pangan, atau diterapkan dalam sektor kesehatan. 

Tetapi ketika robot digunakan untuk fungsi keamanan yang bisa dilakukan manusia dengan lebih efektif, maka itu adalah bentuk kegagalan dalam memahami esensi teknologi: ia adalah alat bantu manusia, bukan pengganti akal sehat.

Siapa yang Sebenarnya Perlu Diperbaiki?

Pertanyaan ini penting. Rakyat sudah terbukti mampu bertahan di tengah krisis. Mereka bekerja keras, berhemat, dan saling tolong-menolong untuk bisa hidup layak. Tapi rakyat tidak bisa terus-menerus diminta bersabar sementara negara justru tidak menunjukkan keberpihakan.

Yang perlu diperbaiki bukan rakyat, tetapi kebijakan yang gagal menjawab kebutuhan rakyat. Yang perlu dibenahi adalah logika anggaran yang lebih mementingkan proyek simbolik daripada program substansial. Yang perlu ditinjau ulang adalah pemahaman para pengambil kebijakan tentang apa makna “membangun negara”.

Rakyat bukan menolak kemajuan. Tapi ketika yang mereka butuhkan adalah jaminan hidup, pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan, lalu negara justru membeli robot yang tidak relevan, wajar jika kepercayaan terhadap negara mulai terkikis. 

Rakyat ingin negara hadir, bukan sebagai mesin tak bernyawa yang berdiri di tengah jalan, tetapi sebagai pelindung yang benar-benar memahami penderitaan mereka.

Membangun Ulang Arah Kebijakan

Kita tidak sedang bicara soal teknologi atau tidak. Kita sedang berbicara tentang prioritas. Dalam ilmu pemerintahan, setiap kebijakan harus menjawab persoalan yang nyata, berpihak pada kepentingan mayoritas, dan membawa manfaat jangka panjang. 

Pengadaan robot polisi dengan harga miliaran di tengah krisis ekonomi bukan saja tidak efisien, tetapi mencerminkan kegagalan moral dalam menjalankan mandat kekuasaan.

Jika pemerintah ingin bicara soal efisiensi, maka efisiensikanlah anggaran yang selama ini dipakai untuk proyek pencitraan. Jika ingin bicara soal modernisasi, maka modernisasikanlah sistem pelayanan publik, bukan sekadar menghadirkan teknologi tanpa jiwa. 

Dan jika benar-benar ingin menjadi negara yang berpihak pada rakyat, maka dengarkanlah suara mereka, suara yang datang dari antrean panjang di rumah sakit, dari ibu-ibu yang harus memutuskan beli beras atau bayar listrik, dan dari jutaan pengangguran yang setiap hari menanti keadilan sosial yang dijanjikan.

***

*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Assistant Professor at Uinsa, Activist, Media Team of Uinsa Postgraduate Program.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.