https://jatim.times.co.id/
Opini

Menimbang Indonesia sebagai Negara Nonblok dalam Perang Iran-Israel

Minggu, 22 Juni 2025 - 15:43
Menimbang Indonesia sebagai Negara Nonblok dalam Perang Iran-Israel Muhammad Nafis, S.H, M.H., Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Perang antara Iran dan Israel kini memasuki babak paling berbahaya dalam sejarah konflik Timur Tengah modern. Sejak 13 Juni 2025, Israel meluncurkan Operasi "Rising Lion", serangan udara skala penuh yang menargetkan fasilitas nuklir Iran di Bushehr, Natanz, Isfahan, hingga Qom. 

Tidak hanya itu, instalasi rudal dan markas elite Garda Revolusi Iran (IRGC) turut dihancurkan, bahkan beberapa ilmuwan dan komandan tinggi Iran dilaporkan tewas. Serangan ini tidak hanya menandai tekad Israel untuk menghentikan program nuklir Iran, tetapi juga menjadi sinyal bahwa konflik tidak akan berhenti pada peringatan diplomatik atau sanksi internasional belaka.

Iran membalas dengan peluncuran lebih dari 150 rudal balistik dan ratusan drone kamikaze yang menghantam wilayah vital Israel, termasuk Tel Aviv, Haifa, dan Beersheba. Rudal yang menghantam Soroka Hospital di Beersheba bahkan melukai puluhan orang, dan menjadi sorotan dunia karena menyerang fasilitas sipil yang semestinya dilindungi dalam hukum internasional. 

Korban tewas di kedua belah pihak telah mencapai ratusan, dan ribuan lainnya mengalami luka-luka, termasuk warga sipil yang tak bersalah. Banyak warga Iran juga telah mengungsi dari Teheran karena takut akan serangan balasan lebih besar dari Israel.

Dalam skala geopolitik, dampaknya bisa lebih mengerikan dari sekadar perang dua negara. Iran telah mengancam akan menutup Selat Hormuz, jalur vital ekspor minyak dunia. Jika ini terjadi, maka dunia akan menghadapi guncangan ekonomi besar-besaran. Harga minyak bisa meroket, rantai pasok global terganggu, dan efek domino terhadap perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak dapat dihindari. 

Belum lagi kemungkinan keterlibatan milisi-milisi pro-Iran dari Irak dan Lebanon, yang bisa menyeret konflik ini menjadi perang kawasan yang tak terkendali. Apalagi jika Amerika Serikat memutuskan untuk turun tangan langsung. Iran pun telah memperingatkan bahwa keterlibatan AS akan menjadi “bencana global.”

Kekhawatiran besar lainnya adalah potensi bencana radiasi nuklir. Jika serangan Israel mengenai fasilitas penyimpanan uranium atau reaktor aktif, maka dunia berpotensi menghadapi tragedi ekologis yang setara dengan Chernobyl atau Fukushima. 

Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sudah memberi sinyal waspada, mengingat lokasi-lokasi yang diserang sangat sensitif dan berisiko tinggi terhadap kebocoran radiasi. Ini bukan hanya ancaman regional, tapi ancaman kemanusiaan.

Dalam situasi seperti ini, Indonesia tak bisa terus diam. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia tentu memiliki perhatian serius terhadap kondisi di Timur Tengah, apalagi yang melibatkan dua kutub kekuatan seperti Iran dan Israel. 

Namun, hingga kini, posisi Indonesia masih tetap seperti biasanya: memilih jalur diplomasi lunak, menghindari konfrontasi langsung, dan berdiri di bawah payung "negara non-blok." Pertanyaannya, seberapa efektif strategi ini dalam konteks konflik yang melibatkan kepentingan global dan ancaman terhadap stabilitas kawasan?

Keputusan Indonesia untuk tetap berada di jalur non-blok tentu memiliki nilai historis dan prinsipil. Namun, jika sikap netral ini hanya dimaknai sebagai posisi pasif, maka Indonesia berisiko kehilangan pengaruh di panggung global. Dunia tidak hanya membutuhkan negara yang netral, tetapi juga negara yang berani bersuara dan memediasi. 

Ketika konflik sudah berdampak pada energi, keamanan global, dan krisis kemanusiaan, maka suara Indonesia harus hadir. Apalagi, Indonesia memiliki legitimasi moral sebagai pemimpin di dunia Islam dan anggota aktif dalam berbagai forum internasional.

Menjadi non-blok bukan berarti tidak bersikap. Justru dalam posisi ini, Indonesia seharusnya mampu tampil sebagai penengah, mendorong PBB dan OKI untuk bertindak lebih tegas, serta membuka ruang-ruang diplomasi yang konkret. 

Diam di tengah eskalasi bisa ditafsirkan sebagai pembiaran. Dan jika konflik ini berdampak langsung pada ekonomi kita dari lonjakan harga BBM hingga instabilitas politik regional, maka rakyat Indonesia sendiri yang akan menanggung bebannya.

Indonesia harus keluar dari paradigma “penonton dunia” dan mulai menempatkan diri sebagai aktor aktif perdamaian. Ini bukan soal memilih Iran atau Israel, tetapi memilih kemanusiaan dan stabilitas global. 

Ketika peluru dan rudal terus melayang, ketika rumah sakit jadi sasaran, ketika kota-kota berubah jadi puing, dunia tak butuh lagi negara yang hanya berbicara netral di forum diplomasi. Dunia butuh negara yang bisa menggugah nurani dunia dan Indonesia seharusnya menjadi itu.

Kini saatnya Indonesia bersuara lantang. Diam hanya akan menenggelamkan kita dalam arus sejarah yang tak berpihak. Dan saat dunia terbakar, siapa yang akan peduli bahwa kita pernah memilih untuk tidak memihak?

***

*) Oleh : Muhammad Nafis, S.H, M.H., Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.