TIMES JATIM, MALANG – Nuansa budaya Jawa Timur kembali terasa hangat di tengah masyarakat saat Pasar Kawulo Singhasari digelar pada Minggu (22/6/2025) di Desa Purwoasri, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Mengangkat tema “Lerok Srudinan”, acara ini tak sekadar menjadi hiburan, tetapi juga ruang pelestarian salah satu seni pertunjukan tradisional yang mulai jarang muncul di ruang publik.
Lerok Srudinan adalah salah satu bentuk dari seni ludruk, pertunjukan rakyat khas Jawa Timur yang sarat nilai sejarah dan sosial. Dari masa ke masa, ludruk telah mengalami perkembangan bentuk, mulai dari Lerok Ngamen, Lerok Besut, hingga Lerok Srudinan, yang dahulu menjadi medium kritik sosial dan hiburan bagi masyarakat. Namun sejak masa vakum sekitar tahun 1965–1968, seni ini mulai kehilangan pamor dan jarang dipentaskan secara luas.
Melalui Pasar Kawulo Singhasari, masyarakat dan para pelaku seni berupaya menghidupkan kembali seni pertunjukan ini. Acara kali ini juga menghadirkan sarasehan budaya, yaitu diskusi terbuka tentang peran dan masa depan seni tradisi dalam kehidupan masyarakat modern.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang, Purwoto saat membuka acara menyampaikan apresiasinya atas penyelenggaraan acara yang mengangkat seni Lerok Srudinan.
Menurutnya, pelestarian budaya lokal seperti ini harus didukung oleh berbagai pihak, termasuk kampus-kampus di Malang.
“Tema Lerok Srudinan tahun ini sangat tepat untuk membangkitkan kembali kesenian tradisi yang sudah jarang tampil. Saya berharap dunia kampus turut serta menjaga dan mengembangkan potensi seni budaya daerah,” ujarnya.
Pasar Kawulo Singhasari sendiri telah digelar rutin sejak tahun 2019. Pasar ini tidak hanya menyajikan produk kuliner dan kerajinan khas lokal seperti batik, tapi juga menyuguhkan kegiatan budaya, seperti pada Minggu (22/6/2025) yang menampilkan kesenian Lerok Srudinan dengan menghadirkan seniman Cak Sukirno dan Cak Marsam Hidayat dan sarasehan budaya.
Gaguk Prayitno, penggagas Pasar Kawulo Singhasari, menuturkan bahwa kegiatan ini sejak awal dirancang sebagai ruang hidup bagi budaya dan tradisi lokal.
“Pasar Kawulo bukan hanya tempat jual beli, tapi juga tempat belajar dan berbagi nilai-nilai kearifan lokal. Lerok Srudinan menjadi pengingat bahwa seni tradisi adalah cermin kehidupan masyarakat kita,” ungkapnya.
Acara tahun ini mendapat dukungan dari Ikatan Alumni Universitas Negeri Malang (IKA UM) Malang Raya dan Universitas Negeri Malang, yang turut memperkuat jaringan dan semangat kolaboratif antar komunitas budaya dan akademisi.
Dukungan tersebut dinilai penting untuk memastikan keberlangsungan regenerasi pelaku seni dan kelestarian tradisi.
Membangun Masa Depan Budaya Lewat Kolaborasi
Sarasehan budaya yang menjadi bagian dari agenda tahun ini menjadi wadah diskusi antara seniman, budayawan, akademisi, dan generasi muda.
Mereka membahas bagaimana seni tradisi bisa tetap hidup di tengah era modern dan digital. “Kalau bukan kita yang merawat, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” ucap salah satu peserta sarasehan, menggambarkan urgensi pelestarian budaya lokal.
Kini, Pasar Kawulo Singhasari tak hanya menjadi destinasi wisata budaya tahunan, tetapi juga menjadi simbol kekuatan komunitas dalam menjaga identitas lokal. Dengan semangat gotong royong dan kolaborasi lintas sektor, diharapkan seni seperti Lerok Srudinan terus menemukan panggungnya—bukan hanya sebagai tontonan, tetapi juga sebagai bagian hidup yang bermakna bagi masyarakat. (*)
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |