TIMES JATIM, MALANG – Hari ini, melalui maraknya media digital dan media sosial ada pergeseran otoritas keagamaan dengan munculnya penceramah tanpa kredibilitas. Di era media sosial ini, umat disuguhkan dengan berbagai konten keagamaan yang disampaikan oleh orang yang sama sekali tidak memiliki kapasitas keilmuan agama, seperti beberapa waktu terakhir ini, dunia media sosial sempat diramaikan oleh seorang yang dalam akun medsosnya lebih dikenal dengan sebutan "Guru Gembul", dia sering membagikan konten dakwah melalui media sosial.
Menariknya, dibeberapa podcast dia mengaku tidak pernah belajar agama secara mendalam dan bahkan tidak pernah secara khusus belajar ilmu agama Islam, mondok dan lainya, bahkan dia juga tidak memiliki latar belakang pendidikan agama secara formal, serta belum pernah menimba ilmu agama secara mendalam kepada ulama yang memiliki sanad keilmuan yang jelas.
Namun demikian, dengan pede nya dia berbicara seolah-olah seperti ustad yang faham ilmu agama, memberi nasihat keagamaan, menafsirkan ayat Alquran dan hadis dengan penafsirannya sendiri tanpa ilmu yang seharusnya dimiliki oleh seorang ustadz. Dia hanya bermodal jumlah pengikut yang mencapai jutaan di berbagai platform media sosial.
Fenomena ini terjadi tidak hanya pada "Guru Gembul" saja, di banyak ruang media digital dan media sosial, bertebaran "Ustadz-ustadz Digital" yang sama. Dengan latar belakang yang bermacam-macam, misalnya seorang artis, influencer, bahkan mantan atlet yang tiba-tiba berubah menjadi "ustadz dadakan" pasca mereka bertransformasi yang mereka sebut dengan "hijrah".
Mereka berbicara tentang surga dan neraka, halal dan haram, bahkan membedah persoalan fiqih yang rumit dengan santainya tanpa ilmu di depan kamera, semuanya dikemas dalam video berdurasi satu menit dengan musik latar yang catchy dan caption yang menggugah.
"Hijrah" ini menjadi Fenomena yang kemudian menandai lahirnya sesuatu yang bisa kita sebut "madzhab digital", sebuah corak madzhab baru dalam beragama di mana otoritas keagamaan tidak lagi bergantung pada kedalaman ilmu, tetapi pada seberapa viral konten dan seberapa banyak orang yang menekan tombol "like".
Agama di Layar Ponsel
Hari ini, kita tidak bisa memungkiri bahwa media sosial telah mengubah lanskap keberagamaan kita secara radikal. Dulu belajar ilmu agama itu datang ke majelis taklim, di masjid, mushola dan pesantren untuk mengkaji ilmu agama dengan menyimak ustadz dan kiai mengaji, namun sekarang hanya dengan scroll media sosial seperti TikTok atau Instagram dan lainya.
Para pencari ilmu, dulu membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk belajar ilmu agama, para pencari ilmu ini belajar ilmu agama melalui pondok pesantren dan lembaga formal keagamaan lainnya untuk memahami tafsir Al-Qur'an, ilmu hadist dan lainya, namun sekarang hanya cukup menonton video singkat berjudul "5 Amalan Pembuka Rezeki" atau "Ini Alasan Kamu Belum Jodoh".
Ada dua sisi yang kemudian terjadi atas perubahan ini. Pertama, terkait akses pada pengetahuan semakin terbuka, semua orang bisa belajar kapan pun dan dimanapun. Kedua, namun demikian, keterbukaan ini memberikan akses bagi siapa saja, termasuk mereka yang tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk berbicara atas nama agama.
Keterbukaan akses ini membawa perubahan yang radikal atas otoritas seseorang dalam menentukan siapa yang pantas dan layak serta dipercaya dalam menyampaikan ilmu agama. Kita tidak sedang menyalahkan media sosialnya. Namun dengan keterbukaan akses ini, menjadikan siapa saja dapat menjadi ustadz dadakan dan bicara soal agama walaupun tanpa ilmu dan tanpa kapasitas keilmuan yang memadai.
Jika dulu, untuk diakui sebagai seorang ulama dan ustadz butuh proses lama dan panjang dalam mempelajari ilmu agama, harus berguru kepada kiai atau guru yang mempunyai sanad keilmuan yang jelas, misalnya harus mondok dipesantren atau lembaga formal keagamaan lainya yang diakui keilmuanya oleh banyak kalangan.
Hari ini seseorang dengan mudahnya dijadikan rujukan hanya karena punya follower banyak dimedia sosial dan kemudian konten videonya viral dilihat ribuan orang, dan dijadikan rujukan walaupun tanpa kapasitas keilmuan.
Pergeseran dari Ulama ke Selebritas
Hari ini, popularitas di media sosial dan media digital seakan menjadi otoritas keagamaan, dan tidak lagi dimana otoritas keagamaan ditentukan oleh kredibilitas ilmu. Persepsi kebenaran masyarakat hari ini ditentukan oleh jumlah views, likes, dan shares.
Asalkan mampu membuat konten video yang menarik, menggunakan bahasa gaul dalam penyampaiannya dan menarik, akan lebih dipercaya daripada seorang ustadz atau kiai yang memiliki kapasitas keilmuan agama yang telah puluhan tahun belajar agama dan sudah mengajar, baik di lembaga formal keagamaan dan pondok pesantren.
Fenomena madzhab digital menunjukkan proses mediatization of religion (Hjarvard, 2008), di mana otoritas keagamaan tidak lagi sepenuhnya dipegang oleh lembaga ulama atau pesantren, melainkan bergeser ke figur publik yang mampu beradaptasi dengan logika media sosial. Di sini, “kebenaran” tampil bukan karena dalil, tetapi karena daya sebar konten.
Kita bisa lihat hari ini dengan munculnya "Guru Gembul" misalnya, dan ustadz sejenisnya. Mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang memadai, tidak pernah mendalami ilmu ushul fiqih atau tafsir secara sistematis, bahkan mungkin tidak tahu kitab-kitab dasar ilmu agama.
Namun demikian, dia dengan kemampuan membuat konten yang bagus dan terkadang kontroversi serta pemahaman terhadap algoritma media sosial, mereka berhasil membangun audiens yang loyal.
Pengikut yang loyal ini rata-rata mereka adalah Gen Z, yang lebih suka pada hal-hal yang instan dan lebih suka dalam bentuk visual Yang menarik. Yang lebih mengkhawatirkan adalah mereka tidak kritis terhadap apa yang disampaikan dan menerima begitu saja walaupun yang disampaikan tidak sesuai dengan ajaran agama.
Mereka menelan mentah-mentah apa pun yang disampaikan, tanpa mempertanyakan apakah sang "ustadz" benar-benar kompeten dalam bidang yang dia sampaikan. Mereka dengan bangganya, Ketika ada yang mengkritik, pengikut fanatik langsung membela dengan argumen, "Yang penting dia mengingatkan kebaikan, kok!" atau "Kan dia sudah berubah, jangan di judge!"
Mereka ini tidak memahami bahwa dalam Islam, menyampaikan ilmu agama memiliki tanggungjawab besar dan tidak bisa dilakukan sembarangan, apalagi menafsirkan Alquran dan hadist. Ada istilah "berbicara tanpa ilmu" yang dalam Al-Qur'an dikategorikan sebagai dosa besar. Rasulullah SAW. Sendiri bersabda, "Barangsiapa yang berbicara tentang Al-Qur'an tanpa ilmu, maka bersiaplah dengan satu tempat di neraka."
Ketika Algoritma Menentukan Kebenaran
Hari ini kebenaran tidak lagi ditentukan oleh fakta dan ilmu, tapi ditentukan oleh persepsi yang dibangun terus menerus melalui media sosial, dan ini diperparah dengan cara kerja algoritma media sosial.
Semua Platform media sosial seperti YouTube, TikTok, FB dan Instagram dirancang untuk memaksimalkan engagement. Konten video akan selalu muncul diberanda pengguna, baik itu yang benar atau salah, berkualitas atau tidak selama video tersebut banyak ditonton, di like, dan dibagikan.
Dampaknya kemudian adalah konten keagamaan yang paling menarik, gaul, menghibur dan kontroversi yang paling banyak di tonton dan viral walaupun tanpa ilmu agama, daripada kajian mendalam tentang ilmu agama yang di anggap membosankan.
Hari ini yang viral dan menarik adalah video berjudul "Inilah Tanda-tanda Kiamat yang Sudah Terjadi!" atau "Kisah Nyata, Orang yang Ditegur Malaikat di Mimpi!" akan jauh lebih banyak ditonton ketimbang kajian mendalam tentang figih, filsafat, tasawuf atau kajian tafsir oleh seorang kiai atau ulama.
Fenomena ini menjadikan umat, utamanya Gen Z yang belum matang dalam ilmu agama kehilangan kemampuan membedakan antara ilmu dan informasi. Dimana Ilmu membutuhkan proses, kedalaman, dan verifikasi. Sementara informasi bisa diproduksi siapa saja, kapan saja, tanpa standar kualitas yang jelas.
Apa yang terjadi kemudian adalah fragmentasi pemahaman agama. Orang hanya belajar ilmu agama dari media sosial yang menyajikan cuplikan-cuplikan ceramah yang terpotong, dari quote-quote inspiratif yang lepas konteks, dari fatwa instan yang tidak didasari kajian mendalam. Akibatnya, ilmu Agama tercerai-berai seperti puzzle, yang kemudian menyusunnya berdasarkan selera orang per orang, tanpa gambaran utuh, tanpa ilmu yang mendalam.
Manuel Castells (2009) menyebut fenomena ini sebagai displacement of authority dalam network society, perpindahan otoritas dari lembaga ke jejaring. Dalam madzhab digital, kekuasaan epistemik berpindah ke individu yang paling terhubung, bukan yang paling berilmu.
Madzhab Digital, Agama sebagai Tontonan
Dampak dari munculnya fenomena "madzhab digital" dalam beragama ini merubah cara masyarakat memandang agama itu sendiri, yang terjadi kemudian adalah agama tidak lagi sekadar tentang spiritualitas, ibadah, dan moralitas.
Agama hari ini dijadikan konten dan harus dikemas menarik agar dapat bersaing dengan konten lain di timeline yang padat yang berada di media sosial dan media digital.
"Pamer Hijrah" menjadi tren beberapa tahun ini, kemudian dengan rame-rame menampilkan perubahan penampilan mereka dimedia sosial dan media digital, dari rambut yang diwarnai menjadi hitam, dari pakaian ketat jadi gamis, lengkap dengan caption panjang tentang perjalanan spiritual mereka, dari yang tidak berjenggot menjadi berjenggot.
Kita bukanya melihat proses hijrah mereka tidak tulus dan ikhlas, namun ketika dipertontonkan diruang publik digital, seakan itu menjadi bagian keharusan bagi mereka dalam perubahan keberagamaannya.
Dalam konteks filsafat ontologi, “madzhab digital” dapat dibaca melalui lensa simulacra (Baudrillard, 1994). Realitas keagamaan di dunia maya sering kali bukan representasi ajaran, melainkan simulasi kesalehan yang diproduksi melalui citra visual, gaya berpakaian, dan kutipan ayat yang viral. Agama menjadi hyperreal, lebih banyak tampil daripada dihayati.
Hari ini kita juga dipertontonkan bahwa dakwah keagamaan dikemas menjadi seperti hiburan. Sehingga hari ini terlihat agama menjadi bagian dari industri kreatif yang harus berkompetisi dengan industri hiburan lainya, harus berinovasi agar tidak ketinggalan tren kekinian, misalnya dengan adanya tantangan tilawah, kompetisi hafalan doa, bahkan game islami yang lebih menekankan aspek entertaining ketimbang edukatif.
Konten agama yang dikemas menarik dan mengikuti tren kekinian memang tidak menjadi masalah, namun demikian yang menjadi masalah adalah ketika hanya mendahulukan kemasan daripada isi dan keilmuannya, ketika mendahulukan viralitas daripada lebih kebenaran, ketika performa keislaman lebih dihargai dari kedalaman pemahaman ilmu keagamaan.
Dalam kerangka aksiologi, fenomena madzhab digital memperlihatkan apa yang disebut Mosco (2009) sebagai komodifikasi makna, ketika ajaran agama diproses sebagai produk pasar. Akibatnya, nilai dakwah dapat berubah menjadi nilai tontonan.
Di Mana Peran Ulama dan Ahli Agama?
Munculnya fenomena "Madzhab Digital" dan "ustadz media sosial" ini, memantik berbagai pertanyaan diantaranya adalah dimana posisi para ulama ahli agama? Mengapa mereka tidak muncul dan seakan tenggelam ditengah arus media digital dan media sosial.
Dari beberapa persinggungan penulis dan beberapa data hasil penelitian, para ulama dan ahli agama tidak muncul dimedia sosial dan media digital karena beberapa hal diantaranya merasa tidak nyaman dengan dinamika dunia digital yang serba cepat dan sering kali superfisial. Kemudian ada yang memang tidak paham teknologi dan ada pula yang memilih fokus pada pengajaran langsung di pesantren atau majelis taklim.
Dampak dari ketidakhadiran para ulama dan ahli agama ini membuka ruang kosong dan kemudian diisi oleh mereka yang tidak faham agama namun memiliki keahlian dalam hal membuat konten digital. Hal ini akan berbahaya dan memiliki dampak luar biasa pada generasi muda yang haus akan pengetahuan agama yang kemudian mencari rujukan di media sosial, ketika mereka membuka media sosial yang mereka temukan adalah "ustadz digital" yang hadir dengan suara lantang dan percaya diri namun tanpa kredibilitas keilmuan agama yang memadai.
Ini menjadi tantangan yang tidak mudah, bagaimana para ulama dan ahli agama itu bisa hadir diruang-ruang media sosial dan media digital tanpa mengurangi kedalaman ilmu keagamaan mereka. Menghadirkan mereka untuk memahami gaya dan bahasa generasi muda terutama GenZ dan mampu mengemas ilmu dengan cara yang relevan dan kekinian, namun tetap menjaga standar keilmuannya.
Membangun Literasi Digital Keagamaan
Diera digital dan media sosial hari ini, membangun literasi digital keagamaan di kalangan umat merupakan keniscayaan sebagai solusi atas fenomena yang berkembang sekarang. Umat harus diajarkan untuk lebih kritis atas berbagai konten yang tersebar dimedia sosial khususnya tentang keagamaan yang setiap hari mereka lihat dan dengar, terutama bagi kalangan generasi muda.
Mereka harus didorong agar lebih kritis atas berbagai konten keagamaan yang selalu muncul di media sosial dan digital, sehingga tidak menerima begitus saja apa yang mereka lihat dan terima dari media sosial.
Mereka harus kita ajak untuk mempertanyakan beberapa hal, misalnya Siapa yang menyampaikan? Apa latar belakang pendidikannya? Apakah ia pernah belajar secara mendalam ilmu agama dari ulama yang kredibel? Apakah isi kontennya sesuai dengan ajaran Islam yang mainstream atau justru menyimpang? Apakah ada referensi yang jelas misal dari Alquran, hadist dan kitab-kitab klasik yang jelas dari apa yang disampaikan?
Dengan demikian, umat tidak akan mudah menerima konten keagamaan yang disampaikan oleh orang yang tidak jelas kredibilitasnya terkait dengan ilmu agama yang hanya bisa bicara lantang namun rendah pemahaman tentang keagamaan. Sehingga umat ini dapat membedakan mana yang berilmu dan mana yang hanya sekedar pintar bicara saja.
Mengembalikan Agama pada Esensinya
Hari ini, fenomena "Madzhab digital" dalam memahami agama merupakan sebuah realitas yang tidak bisa dihindari. Dimana media sosial sudah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, dan termasuk dalam beragama. Maka dari itu kita harus bijak dan pandai mengelolanya.
Keterbukaan akses melalui media digital dan media sosial hari ini berdampak pada kebebasan berbicara tentang agama oleh siapapun dan Kita tidak bisa membatasinya. Namun dengan literasi digital kita bisa mendorong terciptanya ekosistem digital yang lebih sehat, umat didorong lebih kritis agar tidak terjebak pada konten agama yang viral saja akan tetapi harus berkualitas, dengan demikian yang berbicara soal agama harus mereka yang memiliki keilmuan agama yang memadai, kredibel dan ahli dibidang keagamaan.
Umat harus diingatkan bahwa ilmu agama merupakan warisan Nabi, ini adalah prinsip dasarnya. Dan menyampaikan ilmu agama merupakan amanah yang berat dan akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah nantinya, sehingga harus disampaikan dengan ilmu bukan sekedar bermodal follower dan views semata sebagaimana dilakukan oleh ustadz-ustadz dadakan yang banyak bermunculan dimedia sosial.
Dalam kerangka epistemologi Islam klasik, Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu yang tidak lahir dari hati dan bimbingan guru hanyalah zhahir tanpa nur. Fenomena madzhab digital menegaskan kehilangan aspek ruhani dan sanad keilmuan ini, sebuah krisis epistemologis yang perlu direstorasi.
Fenomena madzhab digital juga dapat dibaca sebagai hasil pertemuan antara mediatization of religion (Hjarvard), simulacra (Baudrillard), dan displacement of authority (Castells). Ketiganya menjelaskan bahwa otoritas keagamaan kini dimediasi oleh algoritma, citra, dan jaringan. Akibatnya, cara umat memahami agama pun bergeser dari keilmuan menuju popularitas, dari sanad menuju viralitas.
Umat harus diajak untuk bisa membedakan mana yang ilmu dan mana yang hanya sekedar informasi. Mana yang ustadz beneran yang faham ilmu agama dan mana yang sekedar mengejar follower dan viewer. Karena agama ini bukan sekedar konten dan tontonan, agama merupakan jalan hidup yang membutuhkan pemahaman mendalam, penghayatan dan pengamalan yang konsisten. (*)
***
*) Oleh : Husnul Hakim, SY., MH., Dekan FISIP UNIRA Malang, Wakil sekretaris PCNU Kab Malang, Pemerhati kebijakan dan Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |