TIMES JATIM, RIAU – Artikel ini ditulis bukan dari perspektif dystopia dan pesimistis. Artikel ini bukan bermaksud mengecilkan harapan dan cita-cita besar bangsa ini menuju Indonesia Emas 2045. Justru artikel ini bermaksud untuk membangunkan kembali semangat dan motivasi itu.
Bagaimana sebaiknya kita hendak mencapai cita-cita mulia bangsa ini pada Dirgahayu yang ke-100 di tahun 2045. Banyak isu, wacana, fenomena, dan konteks yang bisa menjadi bahan pembahasan. Namun, kita akan membatasi pembahasan kali ini pada konteks dan isu bagaimana generasi muda bangsa ini semakin tertinggal dari bangsa lain.
Sekali lagi, bukan bermaksud pesimis, akan tetapi kita perlu membangun optimisme berdasarkan pada realitas yang ada lalu kemudian menyusun strategi yang pas, tidak harus hebat, cukup pas saja, agar segala masalah yang menyertai realitas itu bisa diatasi, bisa dicarikan solusinya.
Tentu harapannya kita akan bergerak maju, selangkah demi selangkah, tidak harus berlari jika memang kaki dan tenaga kita belum sekuat atlit professional. Cukup melangkah, membuka selembar demi selembar chapter buku, agar sampai pada titik fokus Indonesia Emas 2045.
Kita mulai dari sebuah fakta menarik sekaligus mengejutkan. Realitas pertama, fakta bahwa budaya literasi generasi muda bangsa ini jauh tertinggal dari bangsa lain. Dilansir dari kallainstitute.ac.id, UNESCO menyatakan bahwa minat baca orang Indonesia hanya 0,001%. Miris dan mengerikan. Artinya dari 1.000 orang hanya ada 1 saja yang rajin membaca.
Lalu sebuah riset dari Central Connecticut State University pada tahun 2016 lalu menempatkan negara kita di urutan ke-60 dari 61 negara yang diteliti mengenai minat membaca, di bawah Thailand dan hanya 1 tingkat di atas Bostwana.
Yang mengejutkan dari penelitian itu, justru sebetulnya infrastruktur pendukung Indonesia jauh di atas negara-negara Eropa. Hal ini mengindikasikan bahwa belanja pada sektor pendidikan misalnya, belum bisa mengangkat secara signifikan literasi bangsa kita.
Berikutnya, BPS juga menyatakan bahwa pada tahun 2020 hanya sekira 10% saja masyarakat kita yang rajin membaca buku. Semakin mengejutkan ketika belakangan ramai di media sosial ditemukan generasi muda di level SMP dan SMA yang katanya belum lancar membaca dan/atau berhitung matematika sederhana. Lalu dimana masalah atas realitas ini? Nanti akan kita kaitkan dengan realitas kedua dan ketiga pada konteks pembahasan ini.
Realitas kedua, fakta menunjukkan bahwa generasi muda kita saat ini banyak yang kecanduan game online. Kemendikbud menyatakan demikian. Bahwa game online akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan fisik, mental, emosional, sosial, gangguan prestasi akademik, bahkan perkembangan karakter (https://ditsmp.kemdikbud.go.id/).
Dunia hiburan di gawai dengan hadirnya media sosial dan game online, memberikan banyak kemudahan kepada semua orang di semua generasi untuk menyenangkan dan menghibur diri mereka. Namun, hal yang kebablasan ketika sebuah hiburan justru menimbulkan kecanduan bahkan kematian. Jika kita berselancar di dunia maya, dapat dengan mudah kita temui kasus-kasus kematian akibat game online.
Bahkan ada sebuah penelitian dari Kuperczko dkk (2022) yang menyatakan bahwa kasus kematian akibat bermain game telah terjadi sejak 1982, lalu meningkat drastis pada tahun 2002 hingga 2021 (Kuperczko, D., Kenyeres, P., Darnai, G. et al. Sudden gamer death: non-violent death cases linked to playing video games. BMC Psychiatry 22, 824 (2022).
Sekali lagi, dimanakah masalah atas hal ini?
Realitas ketiga, judi online di kalangan generasi muda juga sangat memprihatinkan. Dikutip dari ppatk.go.id, dinyatakan fakta miris bahwa dari sekira 4 juta pemain judi online di Indonesia ada lebih dari 1 juta orang (25%) yang pemainnya adalah generasi muda dibawah usia 30 tahun.
Bahkan ada sekira 2% (80 ribu) adalah anak-anak dibawah usia 10 tahun. WOW, bukan? Dari besaran transaksi sendiri, PPATK menyatakan setidaknya Rp327 triliun sejak 2023 uang berputar di judi online. Mengerikan dan mengejutkan. Belum lagi kasus-kasus criminal akibat judi online, banyak. Bisa dengan mudah kita selancar di dunia maya. Lagi, dimanakah masalahnya?
Baiklah, dari ketiga realitas di atas, mari kita bahas dan uraian permasalahan sekaligus mungkin upaya-upaya yang bisa menjadi setidaknya alternatif solusinya. Realitas pertama, literasi yang rendah. Kita harus sadari bahwa budaya membaca di masyarakat kita semakin terpuruk.
Maka, kita harus memulai dari diri kita lalu kita ajarkan dan tanamkan, contohkan, kepada anak-anak kita. Jangan dilupa bahwa anak-anak kitalah yang pada tahun 2045 nanti akan menjadi harapan generasi emas itu. Membiasakan membaca tidak harus dengan buku-buku bacaan yang tebal-tebal.
Mulailah dengan bacaan yang ringan, mengenai cerita rakyat, cerita para sahabat Nabi, cerita para Nabi dan Rosul, atau cerita tokoh-tokoh pahlawan bangsa ini. Kebiasaan ini juga perlu digalakkan di sekolah-sekolah dari tingkat pradasar.
Perlu diberikan satu sesi khusus di pagi hari sebelum memulai pelajaran, anak-anak diminta membaca. Ada jam pelajaran literasi. Beberapa sekolah sudah menerapkan hal ini. Dan tentu ini banyak manfaatnya untuk membentuk budaya literasi di generasi penerus kita.
Realitas kedua, generasi muda kecanduan game online. Hal ini bisa jadi berkelindan dengan realitas pertama. Hiburan dan kesenangan dari bermain game tentu membuat keinginan membaca semakin memudar. Maka kita sebagai orang tua dan generasi pendahulu perlu membatasi atau meniadakan aktivitas bermain game online bagi anak-anak kita.
Sepertinya hal yang mustahil, ditengah era digital dan media sosial yang semakin masif. Namun dengan setidaknya mengurangi jam bermain mereka, lalu kita usahakan untuk mengalihkan perhatian mereka pada aktivitas bermanfaat lainnya seperti membaca, olahraga, atau hal lain yang jauh lebih bermanfaat.
Mungkin ini hal yang klise, tapi bukan tidak mungkin dari suatu hal yang sederhana ini kita bisa mengembangkan bakat dan karakter generasi penerus kita di masa depan.
Realitas ketiga, judi online di kalangan generasi muda. Dari data di atas, pemain judi online yang bukan di usia remaja berarti sekira 75%. Jauh lebih besar dari pemain generasi muda. Maka, kita para orang tua janganlah menjadi contoh buruk bagi anak-anak kita.
Stop dari sekarang bermain judi. Sudah banyak kasus-kasus kriminal terjadi akbiat judi, bahkan sampai pembunuhan. Cukup. Sudahi aktivitas dosa itu. Bang Haji Rhoma Irama sudah mengingatkan lewat lagunya jauh-jauh hari bahwa judi hanya akan merugikan, akan menyengsarakan kita dan keluarga kita.
Judi hanya akan dinikmati hasilnya oleh si bandar, sedang para pemain hanya akan dikeruk hartanya saja, sampai kering dan bahkan rela mengorbankan orang-orang di sekitarnya dengan harapan semu akan kemenangan. Yakinlah bahwa judi hanya akan disetting untuk kemenangan bandar, bukan pemain.
Memang solusinya tidak mudah, rumit, butuh waktu yang tidak sebentar. Tapi kata da’i kondang AA Gym, untuk memulai perubahan dan kebaikan harus dimulai dari tiga hal: dari diri sendiri, dari sekarang, dan dari hal yang kecil.
Ketiga realitas di atas, adalah sekelumit gambaran mengenai kemunduran generasi muda bangsa kita saat ini. Ini belum kita kaitkan dengan banyaknya kasus-kasus korupsi, suap, kolusi, dan nepotisme yang dicontohkan secara gamblang dari para politikus di negeri ini.
Yang tentu saja hal-hal buruk ini dapat menjadi preseden buruk bagi generasi muda. Mungkin saja akan ada idiom “lha mereka saja boleh korupsi, dihukum ringan, masa kita generasi muda gak boleh Mereka saja mencontohkan bahwa keluarga yang tidak cakap bisa jadi pejabat, masa kita gak?”.
Maka, janganlah kita yang saat ini berada pada posisi generasi X atau milenial, bahkan baby boomer, menjadi teladan buruk bagi generasi muda penerus bangsa ini.
Sebagai penutup, tentu kita harus selalu berdoa kepada Tuhan semoga bangsa ini diselamatkan. Namun kita tentu juga harus mengusahakan sendiri perubahan dan kebaikan serta cita-cita Indonesia Emas 2045.
Jangan sekadar hanya menjadi jargon dan gimmick, tapi melupakan esensi dan substansinya. Siapa dan apa? Yaitu generasi muda, yang pada era emas itu akan memegang tampuk-tampuk kepemimpinan bangsa ini.
***
*) Oleh : Muhammad Nur, Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II B Kanwil DJPb Provinsi Riau.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |