https://jatim.times.co.id/
Opini

Krisis Integritas Organisasi Mahasiswa di Era Aksi Instan

Sabtu, 06 September 2025 - 21:13
Krisis Integritas Organisasi Mahasiswa di Era Aksi Instan Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Dalam sejarah perjalanan bangsa, mahasiswa selalu ditempatkan sebagai garda moral, penyuara nurani rakyat, dan penggerak perubahan. Dari 1966, 1974, 1998 hingga berbagai momentum politik, peran mahasiswa kerap melampaui batas tembok kampus. 

Mereka menjadi saksi, sekaligus pelaku sejarah. Namun, ironi hari ini, wajah aktivisme mahasiswa justru sedang berhadapan dengan krisis paling mendasar, krisis integritas.

Aksi demonstrasi terbaru di berbagai kota menggambarkan hal itu. Panggung orasi yang semestinya menjadi ruang artikulasi gagasan kritis berubah menjadi ajang teriakan kosong tanpa arah. 

Bendera organisasi yang seharusnya melambangkan nilai perjuangan, justru tampak lebih besar daripada substansi aspirasi yang diusung. Mahasiswa seakan sibuk mengumbar identitas kelembagaan, tetapi gagap ketika diminta menjelaskan detail isu yang mereka protes.

Fenomena ini tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari pola aktivisme instan yang menjadikan demonstrasi sekadar ritual tahunan, tanpa dialektika mendalam. Aksi massa tereduksi menjadi seremoni yang diulang-ulang, bahkan kadang hanya demi menjaga eksistensi organisasi. 

Lebih tragis lagi, tak jarang demonstrasi dimanfaatkan sebagai alat tawar-menawar dengan kekuasaan. Integritas perjuangan tercabik, diganti kalkulasi pragmatis yang murah.

Kita patut mengingat, integritas dalam gerakan mahasiswa bukan sekadar slogan moral, tetapi fondasi yang membedakan aktivisme dari sekadar kerumunan. Ketika mahasiswa turun ke jalan, publik berharap ada kejujuran, keberanian, dan komitmen pada rakyat. 

Jika itu runtuh, maka tak ada lagi yang membedakan antara organisasi mahasiswa dengan kelompok kepentingan lain yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek.

Aksi demonstrasi terbaru memperlihatkan gejala itu. Isu yang diangkat memang krusial soal korupsi, pendidikan, kebijakan ekonomi tetapi cara menyuarakannya dangkal. Banyak orator sekadar mengulang klise: “Turunkan harga”, “Hapus korupsi”, “Tolak kebijakan” tanpa mengajukan peta jalan solusi. 

Padahal, tugas mahasiswa adalah membangun narasi alternatif yang menawarkan harapan. Bukan sekadar marah-marah di jalan raya lalu pulang dengan tangan kosong.

Krisis integritas ini juga tampak dari lemahnya konsistensi. Di satu sisi, organisasi mahasiswa lantang berteriak soal keadilan dan anti-oligarki, tetapi di sisi lain mereka tak jarang menjalin hubungan mesra dengan elite politik demi logistik atau fasilitas. 

Fenomena “politik dua kaki” ini melahirkan wajah gerakan yang munafik: keras di mimbar, lunak di meja perundingan. Bagaimana publik bisa percaya, jika suara mahasiswa mudah dibeli dengan segelintir kepentingan?

Lebih parah lagi, ada kecenderungan menjadikan demonstrasi sebagai ajang eksistensi personal. Media sosial dipenuhi swafoto aksi, lengkap dengan caption heroik, namun substansi perjuangan nyaris hilang. 

Seolah turun ke jalan hanya demi mendapat pujian, bukan demi mengubah keadaan. Inilah wajah baru aktivisme yang kian dangkal: lebih sibuk memburu validasi digital daripada membangun strategi perlawanan nyata.

Apakah kita hendak menafikan pentingnya demonstrasi? Tentu tidak. Demonstrasi tetap menjadi instrumen sah demokrasi. Ia adalah bahasa jalanan yang kerap lebih jujur daripada rapat parlemen. 

Namun, demonstrasi hanyalah satu alat, bukan satu-satunya. Tanpa riset, tanpa data, tanpa kerja advokasi yang konsisten, demonstrasi hanya akan menjadi pesta gaduh tanpa hasil.

Sejarah membuktikan, keberhasilan gerakan mahasiswa selalu lahir dari integritas yang kokoh. Gerakan 1998 misalnya, mampu mengguncang rezim bukan hanya karena jumlah massa, tetapi karena ada konsistensi moral dan gagasan besar yang mereka bawa: demokratisasi, reformasi hukum, pemberantasan korupsi. Bandingkan dengan aksi hari ini yang kerap bubar setelah beberapa jam, tanpa risalah perjuangan yang jelas.

Organisasi mahasiswa harus kembali menata diri. Integritas harus dipulihkan dari dalam. Pertama, dengan meneguhkan kembali basis intelektual gerakan. Demonstrasi mesti ditopang riset yang kuat. Sebelum turun ke jalan, mahasiswa wajib membaca data, memetakan masalah, dan merumuskan solusi. Orasi tanpa dasar hanya akan mempermalukan diri sendiri.

Kedua, konsistensi moral harus dijaga. Artinya, organisasi mahasiswa harus berani menolak segala bentuk kooptasi politik praktis. Jika benar ingin memperjuangkan kepentingan rakyat, maka jangan sekali-kali menjual suara demi keuntungan sesaat. Integritas adalah harga mati, sebab begitu ia terjual, kepercayaan publik tak akan pernah kembali.

Ketiga, aktivisme harus dimaknai sebagai proses panjang, bukan sekadar euforia sesaat. Demonstrasi hanyalah puncak dari proses advokasi, bukan awal dan akhir. 

Ada kerja-kerja sunyi yang jauh lebih menentukan: diskusi internal, penyusunan policy brief, advokasi kebijakan, hingga membangun jaringan lintas elemen masyarakat. Tanpa itu, demonstrasi hanya akan menjadi kembang api: indah sesaat, lalu padam tanpa bekas.

Kita harus berani mengakui bahwa krisis integritas ini bukan hanya tanggung jawab organisasi mahasiswa, tetapi juga refleksi dari ekosistem bangsa yang lebih luas. 

Ketika politik kotor dianggap lumrah, ketika elite memberi contoh buruk, maka wajar jika generasi muda ikut terpapar. Namun, justru di titik inilah mahasiswa diuji: apakah mereka akan tenggelam dalam arus pragmatisme, atau bangkit sebagai penentu arah baru bangsa?

Krisis integritas bukan takdir. Ia bisa diatasi jika ada keberanian untuk berbenah. Mahasiswa harus kembali meneguhkan diri sebagai kaum intelektual pejuang, bukan sekadar massa bayaran. 

Jika integritas pulih, maka suara mahasiswa akan kembali didengar, bukan hanya sebagai teriakan di jalanan, tetapi sebagai cahaya harapan bagi masa depan negeri. (*)

***

*) Oleh : Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.