TIMES JATIM, SITUBONDO – Tujuh dekade sudah perjalanan Pondok Pesantren Sumber Bunga berdiri di Desa Seletreng, Kapongan, Kabupaten Situbondo. Pada momentum harlah ke-70 yang dirangkai dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, pesantren ini kembali meneguhkan perannya sebagai pusat lahirnya generasi santri yang mengabdi untuk negeri.
Menariknya, nama “Sumber Bunga” tidak diambil dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Indonesia. Hal ini menjadi penanda bahwa pesantren yang didirikan almarhum KH Ahmad Sufyan Mifathul Arifin pada 1955 itu murni tumbuh dari khazanah ulama nusantara.
Sejak berdiri, ribuan santri telah ditempa di lingkungan pesantren ini. Mereka tersebar di berbagai daerah, mulai dari Bondowoso, Jember, Banyuwangi, Probolinggo, Solo, Jakarta, hingga Bali.
Santri Bermasyarakat, Menjaga Tradisi
Para alumni dikenal dengan sebutan santri bermasyarakat, sebuah istilah yang menegaskan bahwa identitas kesantrian tidak pernah tercabut meski mereka berkiprah di manapun berada.
Santri-santri Sumber Bunga kini hadir di berbagai profesi. Ada yang menjadi kiai dan ustaz, ada pula yang mengabdi di pemerintahan, legislatif, media, hingga dunia usaha.
“Santri bermasyarakat” bukan hanya jargon, melainkan cermin dari watak santri yang tetap membawa nilai pesantren ke ruang publik.
Kini pesantren diasuh oleh KH Syeinuri Sufyan, putra pendiri. Di bawah kepemimpinannya, Sumber Bunga tetap istiqamah menjaga tradisi keilmuan dengan sistem kurikulum keagamaan khas pesantren.
Sejak awal berdiri, metode belajar yang digunakan adalah sorogan dan wetonan. Baru kemudian, atas usulan salah satu guru, KH Dafir, sistem kelas dan madrasah mulai diterapkan untuk menyesuaikan perkembangan zaman.
Selain pembelajaran formal, santri juga diperkaya dengan kegiatan nonformal. Ada kajian kitab salaf, pembelajaran bahasa asing, hingga kajian ketatanegaraan.
Tidak ketinggalan kegiatan muhadarah dan diskusi rutin kitab kuning yang menjadi wadah santri mengasah retorika sekaligus memperdalam ilmu agama.
“Harlah ke-70 dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini adalah bentuk syukur kepada Allah SWT, atas nikmat iman dan Islam yang diturunkan melalui Rasulullah,” tegas KH Syeinuri di hadapan ribuan jamaah.
Kiai yang menimba ilmu di Pesantren Sidogiri dan Sarang ini juga berpesan agar masyarakat ikut melanjutkan cita-cita para ulama, khususnya cita-cita almarhum KH Ahmad Sufyan Mifathul Arifin.
“Teruslah menebarkan dakwah agama dan membumikan shalawat, khususnya shalawat nariyah. Bila kita ikut terlibat dalam cita-cita para ulama, maka sesungguhnya kita juga sedang melanjutkan cita-cita Nabi Muhammad SAW,” ujarnya.
Tak hanya pesan moral, Sumber Bunga juga hadir dengan lembaga pendidikan formal yang lengkap, mulai dari TPQ, MI Sumber Bunga, MTs Badrul Arifin, MA Badrul Arifin hingga SMK Sumber Bunga.
Sementara itu, kurikulum keagamaannya tetap menekankan pembelajaran kitab-kitab klasik dalam berbagai disiplin ilmu nahwu, sharaf, balaghah, fiqih, ushul fiqih, akhlak, tauhid, hadits, tafsir, hingga manthiq dan arudh.
Di tingkat dasar, santri dikenalkan dengan pegon, imla’, praktik ibadah, tajwid, hingga membaca Al-Qur’an. Semuanya dijalankan berjenjang sebagai bekal untuk menapaki jenjang ilmu yang lebih tinggi.
Tujuh puluh tahun bukanlah usia yang singkat. Namun, perjalanan panjang Pondok Pesantren Sumber Bunga justru menjadi bukti bahwa warisan para ulama masih kokoh menyalurkan mata air ilmu dan akhlak. Dari pesantren inilah, generasi santri terus lahir untuk negeri. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pondok Pesantren Sumber Bunga Situbondo, 70 Tahun Mencetak Santri untuk Negeri
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |