https://jatim.times.co.id/
Opini

Menggagas Pendidikan Seksualitas Berkualitas

Rabu, 05 Februari 2025 - 15:25
Menggagas Pendidikan Seksualitas Berkualitas Anjar Miska Prayoga, S.Pd., Guru SDN Banyurip 2 Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen.

TIMES JATIM, SRAGEN – Mendidik generasi saat ini memang membutuhkan strategi yang tepat. Generasi yang saat ini menempuh wajib pendidikan dua belas tahun adalah generasi Z dan generasi alpha. 

Satu hal yang sama dan pasti antara generasi Z dan alpha adalah mereka dikenal sebagai generasi digital (digital natives) yaitu generasi yang lahir dan tumbuh kembang sezaman dengan cepatnya perkembangan teknologi digital. Kita tahu, jika perkembangan teknologi dapat membawa dua sisi yang saling berkebalikan, sisi baik dan buruk. 

Situs-situs biru yang bertebaran di ranah maya menjadi tantangan dalam mendidik generasi. Tentu saja pemblokiran aplikasi atau situs esek-esek di luar kendali kalangan pendidikan. Namun, pemakaian gawai secara bijaksana oleh pelajar dapat menjadi diskursus. 

Tetapi, yang terpenting adalah supaya pengakuan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan tubuh dan jiwa dari lawan jenis dapat terpatri dalam pikiran para anak dan pelajar Indonesia. 

Beberapa tahun ke belakang wacana tentang pendidikan seksualitas sejak dini marak digaungkan seiring melonjaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada usia anak atau pelajar. Kondisi yang genting ini membuka paradigma jika pendidikan seksualitas tak lagi dipandang sebagai hal yang tabu. 

Saat ini, pelajar tingkat Sekolah Dasar pun harus mendapatkan pendidikan seksualitas yang tepat. Kembali karena perkembangan teknologi digital yang begitu cepat, kecenderungan pelajar tingkat SD mengalami pubertas dini saat ini sangat nampak.

Agar kasus kekerasan seksual pada pelajar tidak semakin banyak, sudah saatnya para guru mencari cara yang efektif mengenai pendidikan seksualitas. 

Langkah awalnya dapat dimulai dengan memahami tentang pendidikan seksualitas komprehensif atau Comprehensive Sexuality Education (CSE) sebagai istilah resmi yang digulirkan oleh UNESCO sejak 2018. 

Jika dulu pendidikan seksualitas “hanya” terlihat sebagai pelajaran tentang alat reproduksi dan anatominya. Maka, melalui pendekatan CSE membuka domain yang lebih luas termasuk didalamnya tentang kontrasepsi, perlindungan terhadap penyakit menular seksual, hubungan sehat, persetujuan, kesetaraan gender, dan berbagai nilai dan sikap yang berkaitan dengan seksualitas. Pendekatan ini juga mencakup isu-isu yang berkaitan dengan identitas gender dan orientasi seksual.

Tidak dapat kita tampik, materi tentang seksualitas di negara kita adalah materi “tepi jurang” yang cukup rawan disalahtafsirkan jika tidak tepat dalam penyampaian materi. Oleh karena itu, penting kiranya sebuah modul yang memuat CSE yang sesuai dengan budaya ketimuran yang kita junjung.

Menurut UNESCO dalam International technical guidance on sexuality education terdapat delapan topik yang perlu disampaikan dalam pendidikan seksualitas meliputi relasi, hak asasi dan seksualitas dalam budaya, gender, pencegahan terhadap kekerasan seksual, kesehatan dari penyakit menular seksual, tubuh manusia dan pertumbuhannya, seks dan perilaku seksual, serta kesehatan reproduksi. 

Modul CSE yang telah disiapkan  dapat memuat topik-topik tersebut yang tentu disesuaikan dengan tahap perkembangan usia anak didik kita, sehingga untuk guru masa kini selain memang harus memahami tahap perkembangan kognitif anak juga mesti mengerti tahap perkembangan psikososial anak. 

Lebih utama lagi jika modul CSE yang telah dibuat tidak hanya berakhir menjadi prasasti belaka atau sekadar menjadi dokumen fisik. Tetapi, juga kita upayakan untuk dapat terinternalisasi ke dalam diri setiap siswa. 

Dalam hal ini sekolah, melalui kolaborasi internal guru dapat mengadakan sosialisasi tentang pendidikan seksualitas kepada siswa atau dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga nirlaba yang konsen dalam bidang ini. 

Internalisasi akan pemaknaan terhadap kedaulatan tubuh dan jiwa dari lawan jenis pada anak dan pelajar ini akan optimal bila berjalan secara simultan di sekolah. 

Dalam hal ini bukan saja menjadi tanggungjawab guru agama dan budi pekerti, guru olahraga atau guru bimbingan konseling saja, akan tetapi, semua guru dengan latar belakang  rumpun ilmu apapun (harusnya) turut menjadi agen pendidikan seksualitas yang berkualitas. 

Sekali lagi karena berkaitan seksualitas adalah isu yang rawan maka guru mesti menjaga sikap, bahasa, pemilihan diksi, dan perilaku ketika menyampaikan. Karena dikhawatirkan jika materi ini disampaikan dengan humor yang kurang bertanggungjawab dapat mengarah pada pelecehan seksual secara verbal, body shaming atau menyudutkan gender tertentu. Alih-alih membuat siswa paham, justru dapat menimbulkan trauma. 

Langkah berikutnya sekolah dapat mengefektifkan lagi Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sebagai amanat dari Kemdikbud (saat ini Kemendikdasmen). Pembentukan TPPK tingkat sekolah juga sebagai upaya untuk mengantisipasi-salah satunya-kekerasan seksual agar tidak sampai terjadi di sebuah satuan pendidikan. Saya yakin sebagian besar kalangan pendidikan mengasosiasikan TPPK dengan anti perundungan atau bulliying semata. 

Padahal jika kita tidak memberikan perhatian yang lebih terkait kekerasan seksual dan cara mengantisipasinya (dengan pendidikan seksualitas) bisa menjadi bom waktu. Sehingga diperlukan personil khusus yang terdiri dari guru, tendik, dan juga siswa untuk merancang pendidikan seksualitas ini dengan tepat. 

Indikator keberhasilan dari pendidikan seksualitas yang berkualitas ini adalah siswa yang memahami jiwa dan raga mereka dengan tepat, mampu membuat keputusan yang benar terkait seksualitas, dan hal yang sangat penting juga adalah mereka mampu melindungi diri mereka dari pelecehan dan kekerasan seksual. 

Sungguh menjadi guru masa kini memang mengusung tugas mahaberat, selain beban administrasi maupun tugas tambahan lainnya yang sudah menyita waktu juga memikirkan akhlak perilaku dan moral anak didiknya. 

Kita sungguh tidak menginginkan kasus-kasus kekerasan seksual itu menimpa anak didik kita sendiri atau terjadi di tempat satuan pendidikan kita berdinas. 

***

*) Oleh : Anjar Miska Prayoga, S.Pd., Guru SDN Banyurip 2 Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.