TIMES JATIM, BANYUWANGI – Kebijakan Dana Desa dalam rangka ketahanan pangan telah menjadi bagian dari prioritas pembangunan pedesaan sebagaimana diatur dalam Kepmendesa PDT Nomor 3 Tahun 2025.
Regulasi ini mengatur berbagai aspek strategis, mulai dari penyertaan modal desa kepada BUMDesa atau lembaga ekonomi masyarakat, pemberdayaan pelaku usaha di sektor pangan, hingga dukungan lintas pemerintah dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota.
Namun, dalam dinamika kelembagaannya, hampir 2 tahun berjalan, program ini sering mengalami kegagalan karena ketidaksiapan pemerintah desa dalam memahami instrumen kebijakan, indikator keberhasilan, dan strategi pengelolaan yang adaptif.
Ketiadaan pemahaman terhadap ekosistem kebijakan yang kompleks mengarah pada keputusan yang bersifat pragmatis dan tidak berbasis pada sistem pangan yang berkelanjutan.
Konsep resiliensi sistem pangan sebagaimana dijelaskan oleh Holling (1973) menjadi relevan dalam membaca kegagalan ini. Holling menyatakan bahwa ketahanan sistem ditentukan oleh kemampuannya dalam menyerap perubahan dan gangguan tanpa kehilangan fungsi utama.
Dalam konteks kebijakan Dana Desa, gangguan yang terjadi bisa berupa ketidaktepatan perencanaan, minimnya kapasitas teknis aparat desa, serta kegagalan dalam membaca dinamika sosial-ekonomi lokal.
Tanpa mekanisme adaptif yang tepat, sistem pangan desa mudah melewati ambang batas kritis (Threshold) yang menyebabkan perubahan struktural menuju kondisi yang lebih rentan.
Seperti yang dijelaskan oleh Béné et al. (2012), sistem yang gagal beradaptasi akan mengalami disrupsi besar, kehilangan daya serap terhadap tekanan, dan tidak mampu mereorganisasi dirinya secara internal.
Salah satu faktor utama dalam kegagalan ini adalah penerapan kebijakan yang terlalu teknokratik dan tidak mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi masyarakat desa.
Ostrom (2009) mengingatkan bahwa dalam sistem sosial-ekologi yang kompleks seperti sistem pangan, pendekatan Polycentric Governance lebih efektif dibandingkan pendekatan yang sentralistik.
Sayangnya, dalam implementasi Dana Desa, banyak kebijakan yang bersifat top-down, dengan desain yang seragam untuk berbagai desa tanpa mempertimbangkan konteks lokal.
Akibatnya, banyak proyek yang dilakukan hanya sebatas memenuhi syarat administratif, seperti pembangunan lumbung pangan atau pengadaan alat pertanian, tetapi tidak didukung dengan strategi keberlanjutan yang jelas.
Lebih jauh, konsep Tipping Points dalamnya sistem pangan (Zurek et al., 2025) juga dapat menjelaskan bagaimana kegagalan kebijakan ini bisa terjadi. Tipping Points adalah kondisi di mana gangguan kecil dapat memicu perubahan besar dalam sistem, seperti yang terjadi dalam krisis pangan global tahun 2008.
Dalam kasus Dana Desa, kegagalan bukan hanya berasal dari satu faktor tunggal, tetapi dari kombinasi berbagai aspek, seperti kelemahan tata kelola, lemahnya kapasitas sumber daya manusia di desa, dan kurangnya dukungan kebijakan yang terintegrasi dari berbagai level pemerintahan. Kombinasi ini menciptakan efek kumulatif yang menyebabkan kebijakan ketahanan pangan di desa-desa tidak berjalan efektif.
Oleh karena itu, untuk membangun kembali sistem pangan desa yang lebih tangguh, pendekatan berbasis resiliensi harus menjadi bagian dari strategi kebijakan ke depan.
Ini berarti pemerintah desa tidak hanya sekadar menerima instruksi dari pusat, tetapi juga perlu memiliki mekanisme untuk menyesuaikan kebijakan dengan kebutuhan lokal, meningkatkan kapasitas tata kelola, serta menciptakan sistem pangan yang lebih adaptif dan inovatif.
Seperti yang dikemukakan oleh Pretty et al. (2018), ketahanan pangan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui sinergi antara kebijakan yang fleksibel, inovasi berbasis komunitas, dan keterlibatan aktif para pemangku kepentingan.
Jika prinsip-prinsip ini tidak segera diadopsi, maka kebijakan Dana Desa hanya akan menjadi sekadar program administratif tanpa dampak nyata bagi ketahanan pangan pedesaan.
Memahami Kompleksitas Sistem Pangan dalam Implementasi Dana Desa
Bagaimana kita memproduksi, mengolah, mendistribusikan dan mengonsumsi pangan telah berkembang selama ribuan tahun dalam jaringan interaksi yang kompleks. Di mana produksi, pengolahan, distribusi, dan konsumsi pangan saling terkait dalam berbagai skala spasial, temporal, dan yurisdiksi.
Zurek et al. (2025) mengakui bahwa sistem pangan modern merupakan sistem sosial-ekologis yang kompleks (social-ecological system), yang menuntut pendekatan kebijakan yang tidak hanya bersifat teknis dan administratif, tetapi juga mempertimbangkan berbagai aktor, dinamika sosial-ekonomi, serta dampaknya secara menyeluruh.
Namun, dalam praktiknya, kebijakan seperti Dana Desa untuk ketahanan pangan sering kali terjebak dalam pola seragam yang hanya berorientasi pada pembangunan fisik dan operasional tanpa strategi keberlanjutan yang jelas.
Hal ini menyebabkan pola kegagalan yang terus berulang, di mana BUMDesa mendapatkan penyertaan modal tetapi tidak mampu berkembang sebagai entitas ekonomi yang mandiri.
Holling dalam teorinya tentang resiliensi menjelaskan bahwa sebuah sistem pangan harus memiliki kapasitas untuk bertahan, pulih, dan beradaptasi terhadap berbagai perubahan atau tekanan tanpa kehilangan fungsi utamanya.
Sayangnya, banyak kebijakan di tingkat desa tidak dirancang dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip ini, sehingga tidak mampu menciptakan daya tahan yang sejati dalam menghadapi dinamika sosial-ekonomi yang terus berubah.
Sebagai contoh, sebuah BUMDesa di daerah pertanian mendapatkan penyertaan modal untuk membeli mesin penggiling padi dengan harapan meningkatkan nilai tambah bagi petani lokal.
Namun, karena tidak ada strategi bisnis yang matang, termasuk kepastian pasokan gabah dari petani dan mekanisme distribusi hasil produksi, mesin tersebut akhirnya terbengkalai dan menjadi beban perawatan.
Jika mengacu pada pendekatan three-Rs resilience framework yang dikembangkan oleh Zurek et al. (2025), kebijakan penyertaan modal seharusnya dirancang dengan memperhatikan tiga prinsip utama: robustness, recovery, dan reorientation.
Dalam kasus ini, aspek robustness dapat diterapkan dengan memastikan bahwa investasi pada mesin penggiling padi didukung oleh kelembagaan petani yang kuat serta akses pasar yang terjamin.
Sementara itu, recovery dapat diwujudkan melalui skema reinvestasi dari keuntungan BUMDesa untuk mengembangkan sektor usaha lain, sehingga mengurangi ketergantungan pada satu sektor saja.
Adapun reorientation harus diterapkan dengan mendorong BUMDesa agar mampu beradaptasi terhadap perubahan pasar dan kebijakan, misalnya dengan mengembangkan diversifikasi produk berbasis beras atau menjalin kemitraan dengan koperasi konsumen.
Tanpa strategi berbasis ketiga prinsip tersebut, sistem yang dibangun tidak hanya kehilangan ketahanannya, tetapi juga cenderung terus bergantung pada intervensi eksternal tanpa arah yang jelas.
Selain itu, aspek risiko dan gangguan dalam sistem pangan desa sering kali diabaikan dalam implementasi kebijakan Dana Desa. Studi Béné et al. (2025) menunjukkan bahwa sistem pangan rentan terhadap berbagai shocks and stresses, baik yang bersifat lokal seperti perubahan harga komoditas dan kegagalan panen, maupun yang lebih luas seperti perubahan iklim dan ketidakstabilan pasar global.
Banyak program ketahanan pangan desa mengalami stagnasi karena kegagalan dalam mengantisipasi titik kritis (tipping points) yang dapat menyebabkan pergeseran sistem secara besar-besaran.
Sebagai contoh, BUMDesa yang mendapatkan penyertaan modal sering kali mengalokasikan dana ke sektor yang kurang produktif, seperti pembelian alat tanpa strategi bisnis yang jelas. Akibatnya, sebagaimana diramalkan oleh Béné et al. (2025), sistem mengalami over-reliance pada dukungan eksternal tanpa ada mekanisme pemulihan internal.
Hal ini juga berdampak pada keberlanjutan sosial, di mana investasi yang tidak tepat sasaran menghambat upaya membangun sistem pangan yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Padahal, jika dikelola dengan baik, penyertaan modal seharusnya dapat menciptakan kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat, seperti membuka lapangan kerja bagi kelompok rentan, memperkuat modal sosial antarpetani, serta memastikan bahwa praktik pertanian yang diterapkan tetap menjaga keseimbangan ekologis.
Oleh karena itu, strategi pengelolaan dana desa untuk ketahanan pangan harus bergeser dari pendekatan administratif ke pendekatan berbasis sistem. Ini berarti pengelola anggaran di desa harus memahami bagaimana kebijakan permodalan dapat membangun sistem pangan yang berdaya, adaptif, dan inklusif.
Sistem pangan yang mampu memberdayakan petani kecil dengan akses terhadap teknologi, pasar, dan modal yang berkelanjutan, sehingga mereka tidak hanya menjadi produsen tetapi juga aktor ekonomi yang mandiri.
Misalnya, di beberapa desa yang menerapkan skema kemitraan antara BUMDesa dan koperasi petani, hasil panen tidak hanya diolah secara lokal untuk meningkatkan nilai tambah, tetapi juga didistribusikan langsung ke konsumen melalui platform digital, memastikan harga yang lebih adil dan stabil bagi petani.
Mewujudkan sistem pangan yang berdaya, adaptif, dan inklusif bukanlah hal yang mudah karena masih banyak tantangan struktural, seperti keterbatasan akses permodalan bagi petani kecil, ketergantungan pada rantai distribusi yang dikuasai tengkulak, serta minimnya kebijakan yang benar-benar mendukung diversifikasi usaha berbasis lokal.
Salah satu solusi yang mungkin masih bisa dijangkau adalah memperkuat kelembagaan lokal seperti koperasi petani atau BUMDesa yang dikelola secara transparan dan partisipatif, dengan dukungan regulasi yang memastikan akses permodalan, pendampingan usaha, serta integrasi dengan pasar yang lebih luas.
Model yang diusulkan oleh Polycentric Governance (Ostrom, 2009) menunjukkan bahwa desa tidak bisa hanya bergantung pada regulasi tunggal dari pusat, tetapi perlu menciptakan mekanisme pengelolaan yang lebih fleksibel, berbasis pada pembelajaran kolektif dan inovasi komunitas.
Jika tidak, maka kegagalan dalam penyertaan modal ke BUMDesa akan terus berulang, dan program ketahanan pangan berbasis Dana Desa hanya akan menjadi proyek yang kehilangan makna substantif bagi kesejahteraan masyarakat desa.
***
*) Oleh : Dr. Emi Hidayati, M Si, Dosen Favorit Fakultas Dakwah Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |