TIMES JATIM, GERSIK – Pagar makan lautan. Demikian Tempo menulis. Laut yang sejatinya area tak bersekat, justru ditemukan dipagari di pesisir utara Tangerang. Bukan, bukan saja melanggar hak warga. Karena menghambat akses nelayan lokal. Tapi yang mencengangkan kemudian, ternyata di atas lautan tersebut telah terdaftar sertifikat lahan atau hak atas tanah.
Pagar laut sepanjang 30 kilometer di wilayah perairan Tangerang tersebut, ternyata memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Sekitar 263 bidang SHGB yang terbit di area tersebut. Sisanya, ada 17 bidang sertifikat Hak Milik (SHM). Sertifikat-sertifikat tersebut, dikonfirmasi Menteri ATR/BPN, terbit dalam kurun 2022-2023. Artinya masih tergolong baru, belum genap 5 tahun.
Kejadian ini pun, menuai protes dari banyak kalangan. Tidak saja warga lokal. Tingginya pemberitaan di media, juga selaras dengan rasa geram dan reaksi negatif dari berbagai pihak terhadap persoalan pagar laut tersebut. Hingga, dalam Rapat Kerja di Komisi II DPR RI, Kamis (30/1), Menteri ATR/BPN pun menyatakan telah membatalkan sertifikat di atas area pagar laut tersebut.
Menurut Menteri ATR/BPN, terbitnya SHGB dan SHM tersebut terdapat cacat prosedur dan cacat material. Dari hasil peninjauan, SHGB dan SHM berada di luar garis pantai yang tak diperkenankan menjadi kepemilikan dan disertifikasi.
Berdasar PP No 18/2021, selama sertifikat belum berusia 5 tahun, Kementerian ATR/BPN mempunyai kewenangan untuk mencabutnya tanpa proses dan perintah pengadilan.
Kasus dan kejadian pagar laut tersebut benar-benar menjadi refleksi bagaimana berjalannya konsep negara hukum di Indonesia. Pasal 1 ayat (3) UUD, "Negara Indonesia adalah negara hukum".
Maka, sebagaimana ditulis Plato dalam Nomoi, penyelenggaraan negara yang baik ialah didasarkan pada pengaturan hukum yang baik. Dipertegas Aristoteles dalam Politica-nya, "Negara yang baik, negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum."
Singkatnya, sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih rinci, Aristoteles menjelaskan, "Pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat." Bukan didasarkan pada kehendak penguasa yang bersifat terbatas dan temporer. Apalagi hasrat dan kepentingan pengusaha yang berwatak oligarkis.
Selanjutnya, Pasal 2 ayat (1) UUPA, menyebutkan," Bumi, air, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara." Hak menguasai dari negara tersebut yang kemudian memberikan wewenang pada pemerintah untuk mengatur peruntukkan, penggunaan, dan persediaan tanah. Sekaligus, mengatur hubungan serta perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah.
Karena itu, negara tidak boleh kalah dengan korporasi atau entitas kelompok tertentu. Yang karena tindakannya bukan lagi melanggar atau menabrak aturan hukum. Melainkan sudah mengucilkan, atau bahkan mengkerdilkan aturan hukum demi melanggengkan kepentingannya. Pasal 2 ayat (3) UUPA mengamatkan, Hak Menguasai Negara digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Mengacu pada PP No 18/2021 jo Permen ATR No 18/2021, HGB tidak bisa diterbitkan di atas laut atau perairan. Di luar tanah dalam definisi yang lazim, hak atas tanah berupa bangunan juga bisa terbit di wilayah pesisir pantai, bukan di atas laut. Tentu, pemagaran laut sehingga nelayan tidak bisa melaut merupakan bentuk pelanggaran konstitusionalitas nelayan di perairan-laut Tangerang.
Franz Magnis Suseno pernah menulis, "Demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum." Baik itu apa yang dinamakan negara hukum demokratis maupun negara demokratis konstitusional, mempersyarakat adanya perlindungan hak-hak asasi warga. Salah satunya, hak bagi semua warga negara untuk kesejahteraan di perairan dan laut yang terbuka selama dalam koridor peraturan yang berlaku.
Mengingat, negara hukum Pancasila merupakan negara hukum kesejahteraan. Hamid S Attamimi pernah menuliskan, bahwa negara hukum Indonesia, rechtsstaats, adalah rechtsstaats yang memajukan kesejahteraan umum (welfare state). Karena itu, reforma agraria harusnya memberikan perlindungan, jaminan, dan kesejahteraan bagi para nelayan dan kelompok rentan. Bukan malah menghalang-halangi hak-haknya.
Satu lagi yang menjadi prinsip negara hukum. Baik dalam konsep rechtsstaats-nya F.J. Stahl maupun Rule of Law-nya A.V. Dicey. Yakni pentingnya peran serta masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah. Lord Acton sudah memperingatkan, "Power tends to corrupt..," Karena itu, untuk membatasinya, peran serta dan kapasitas masyarakat menjadi sangat penting.
Terkuaknya kasus pagar laut di pesisir utara Tangerang bermula dari laporan komunitas nelayan setempat, Agustus 2024 silam. Memang tak langsung viral. Tapi karena menerus disuarakan, akhirnya kasus mengemuka ke publik melalui pemberitaan media.
Tentu, kita pun berharap peran-peran masyarakat di hal-hal lain, di tempat-tempat lain, yang sekiranya itu memang penting untuk menegakkan kembali hak-hak masyarakat untuk bersama-sama merasakan kesejahteraan di negara hukum Pancasila yang demokratis.
***
*) Oleh : Faiz Abdalla, Juara 1 Karang Taruna Berprestasi Provinsi Jawa Timur 2022.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |