TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Ada satu ironi yang tumbuh diam-diam di kampus, seperti jamur yang subur di ruang lembap: kecintaan pada ilmu justru dicurigai. Mahasiswa yang gemar membaca diberi cap sok pintar, seolah kecerdasan adalah penyakit menular. Mereka yang rajin berdiskusi dicibir sok tahu, sementara yang tanggap pada isu sosial-politik dituduh aktivis baperan.
Bahkan, langkah kaki yang terlalu sering menuju perpustakaan dianggap gestur mencari perhatian caper bukan laku intelektual. Di titik ini, kampus berubah dari taman ilmu menjadi arena ejekan, tempat pikiran harus disamarkan agar bisa diterima secara sosial.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan selera bercanda atau dinamika pergaulan. Ia adalah gejala kebudayaan. Kampus secara tak sadar sedang membangun iklim yang memusuhi keseriusan berpikir. Yang dianggap “keren” adalah mahasiswa santai, yang kuliahnya mengalir tanpa beban, yang jarang gelisah oleh pertanyaan-pertanyaan besar. Berpikir terlalu dalam justru dipandang sebagai gangguan suasana, seperti suara gaduh di tengah pesta.
Dalam lanskap semacam ini, intelektualitas kehilangan martabatnya. Membaca tidak lagi dimaknai sebagai ikhtiar memahami dunia, melainkan sebagai simbol keanehan. Diskusi bukan dilihat sebagai ruang pertukaran gagasan, tetapi arena adu ego. Padahal, sejak awal kelahirannya, universitas dibangun sebagai civitas academica komunitas pencari kebenaran bukan sekadar pabrik ijazah atau tempat singgah menuju dunia kerja.
Akibatnya perlahan namun pasti, standar literasi dan intelektual di kampus menurun. Bukan karena mahasiswa tidak mampu berpikir, tetapi karena berpikir dianggap tidak perlu. Budaya instan menjadi agama baru: cukup tahu permukaan, cukup paham ringkasan, cukup menguasai slide. Kedalaman digantikan kecepatan, dan refleksi dikalahkan oleh sensasi.
Di tengah iklim semacam ini, mahasiswa yang sesungguhnya memiliki potensi intelektual tinggi justru memilih bersembunyi. Mereka meredam kegelisahan berpikirnya, menyederhanakan cara bicaranya, bahkan pura-pura tidak tahu agar tidak dicap aneh. Potensi yang seharusnya tumbuh justru disunat secara sosial. Intelektualisme menjadi sesuatu yang harus disamarkan, bukan dirayakan.
Ironinya, di ruang-ruang lain kita kerap mengeluh: mengapa bangsa ini kalah bersaing dalam inovasi? Mengapa riset tertinggal? Mengapa gagasan besar jarang lahir? Pertanyaan-pertanyaan itu sering diarahkan ke negara, ke birokrasi, ke kebijakan. Padahal, jawabannya bisa jadi sangat dekat: kampus kita sendiri tidak ramah pada pikiran. Bagaimana mungkin inovasi lahir dari ruang yang alergi pada kedalaman berpikir?
Negara-negara dengan daya saing tinggi tidak lahir dari kampus yang memusuhi intelektualitas. Mereka tumbuh dari tradisi membaca yang kuat, diskusi yang hidup, dan perdebatan yang dirawat. Di sana, mahasiswa yang rajin ke perpustakaan tidak dicibir, tetapi dihormati. Perbedaan pendapat bukan dianggap ancaman, melainkan energi. Intelektual bukan makhluk asing, melainkan bagian wajar dari kehidupan kampus.
Masalah kita bukan kekurangan mahasiswa pintar, melainkan krisis keberanian untuk menghargai kepintaran itu sendiri. Kita terlalu lama memelihara standar sosial yang keliru: seolah santai adalah puncak kebijaksanaan, dan berpikir serius adalah tanda tidak bisa menikmati hidup. Padahal, berpikir adalah kerja intelektual yang membebaskan. Ia justru memungkinkan manusia menikmati hidup dengan kesadaran, bukan sekadar mengalir tanpa arah.
Di sinilah kampus seharusnya melakukan pertobatan kultural. Bertobat dari kebiasaan meremehkan membaca. Bertobat dari budaya mengejek diskusi. Bertobat dari stigma terhadap mahasiswa yang gelisah oleh pertanyaan. Bertobat dari kenyamanan semu yang mematikan daya pikir. Karena tanpa pertobatan ini, kampus hanya akan melahirkan lulusan yang rapi secara administratif, tetapi rapuh secara intelektual.
Mahasiswa sejatinya adalah penjaga nalar zaman. Berpikir bukan hobi, melainkan kewajiban moral. Membaca bukan gaya hidup elitis, tetapi jalan memahami realitas. Diskusi bukan ajang pamer kecerdasan, melainkan proses kolektif mencari kebenaran. Jika semua itu terus diremehkan, maka kampus kehilangan rohnya.
Sudah waktunya kita berani membenahi ini. Mari berhenti menertawakan mereka yang berpikir, dan mulai menertawakan kebodohan kita sendiri yang menganggap berpikir sebagai aib.
Kampus harus kembali menjadi rumah yang ramah bagi pikiran, tempat di mana intelektualitas tidak disembunyikan, tetapi ditumbuhkan. Karena tanpa itu, kita tidak hanya kehilangan daya saing, tetapi juga kehilangan masa depan.
***
*) Oleh : Yusuf Ahsan, S.H., Lulusan Ilmu Hukum dan Ketua Angkatan Muda Ka'bah Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |