https://jatim.times.co.id/
Opini

Demokrasi yang Dipindahkan dari Rakyat

Rabu, 31 Desember 2025 - 20:21
Demokrasi yang Dipindahkan dari Rakyat Moh. Farhan Aziz, Mahasiswa Pascasarjana ADM Publik Unisma.

TIMES JATIM, MALANG – Pemilihan kepala daerah adalah jantung dari demokrasi lokal. Ia bukan sekadar prosedur administratif lima tahunan, melainkan ruang tempat rakyat menitipkan harapan, sekaligus kecurigaan, kepada siapa yang kelak memegang kendali kekuasaan di daerah. 

Sejak pilkada langsung diberlakukan, rakyat setidaknya diberi hak untuk menentukan arah nasibnya sendiri, meski sering kali hak itu dirusak oleh praktik politik uang yang menjadikan suara sebagai komoditas. Namun, di tengah berbagai cacat tersebut, muncul kembali wacana pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seolah demokrasi adalah barang yang bisa dipindah tangan demi alasan efisiensi.

Gagasan ini terdengar rapi di atas kertas, tetapi problematik dalam kenyataan. Memindahkan hak memilih dari jutaan rakyat kepada segelintir wakil rakyat sama saja dengan memindahkan sumber air dari mata air ke ember kecil yang mudah bocor. Pertanyaan mendasarnya sederhana: apakah DPR benar-benar mewakili kehendak rakyat, atau justru kepentingan partai dan elite politik yang menaunginya?

Kepercayaan publik terhadap DPR hari ini berada di titik rapuh. Deretan kasus korupsi, konflik kepentingan, dan politik transaksional telah lama menjadi konsumsi publik. Dalam kondisi seperti ini, menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada DPR justru membuka ruang transaksi yang lebih mahal dan lebih tertutup. 

Politik uang tidak hilang, ia hanya berpindah kamar dari ruang publik ke ruang lobi. Bahkan, bisa jadi ongkos “membeli” suara DPR jauh lebih mahal daripada memengaruhi rakyat, karena keputusan berada di tangan mereka yang terikat pada struktur partai dan instruksi elite.

Lebih dari itu, wacana ini menyentuh persoalan paling mendasar: hilangnya kedaulatan rakyat. Demokrasi, dalam makna paling sederhana, menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Pilkada langsung, dengan segala kekurangannya, masih memberi ruang partisipasi, perdebatan, dan penilaian publik terhadap calon pemimpin.

Ketika pemilihan diserahkan kepada DPR, rakyat direduksi menjadi penonton di panggung yang seharusnya mereka miliki. Ini adalah kemunduran dari semangat reformasi yang menuntut pemerintahan terbuka, partisipatif, dan akuntabel.

Kepala daerah yang lahir dari mekanisme legislatif juga berpotensi mengalami krisis legitimasi. Loyalitasnya lebih mungkin mengarah ke partai politik dan elite DPR ketimbang kepada rakyat. Dalam realitas politik Indonesia yang sarat kompromi, sulit berharap kepala daerah semacam ini benar-benar berdiri tegak di atas kepentingan publik. Kebijakan berisiko menjadi alat balas jasa, bukan instrumen kesejahteraan. Pembangunan daerah pun dapat terseret menjadi proyek elite, bukan kebutuhan rakyat.

Para pendukung pemilihan oleh DPR kerap beralasan bahwa pilkada langsung mahal dan rawan konflik. Argumen ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi sangat dangkal jika dijadikan dasar untuk memangkas hak demokratis rakyat.

Demokrasi memang mahal, tetapi mahalnya demokrasi adalah harga untuk mencegah kekuasaan jatuh ke tangan segelintir orang. Lagipula, rakyatlah yang membiayai negara melalui pajak; ironis jika hak mereka justru dikurangi atas nama efisiensi.

Konflik dalam pilkada langsung sejatinya bukan lahir dari sistem, melainkan dari lemahnya penegakan hukum dan buruknya etika politik elite. Maka solusi yang tepat bukan menarik kembali hak pilih rakyat, melainkan memperkuat pengawasan, menindak tegas pelanggaran, serta meningkatkan literasi politik masyarakat. Demokrasi tidak disembuhkan dengan amputasi, tetapi dengan perawatan yang serius.

Wacana pemilihan oleh DPR juga berpotensi menguatkan oligarki politik. Kekuasaan akan semakin terkonsentrasi di tangan elite partai, menutup ruang bagi figur alternatif yang memiliki kapasitas dan integritas tetapi minim modal politik. Demokrasi berubah menjadi klub eksklusif, sementara rakyat hanya menjadi latar belakang legitimasi.

Padahal, pilkada langsung memiliki nilai pendidikan politik yang penting. Kampanye, debat publik, hingga pencoblosan adalah proses belajar demokrasi, terutama bagi generasi muda. Jika mekanisme ini dihapus, apatisme politik akan semakin menguat karena masyarakat merasa suaranya tidak lagi bermakna.

Kritik terhadap wacana pemilihan oleh DPR bukan berarti menutup mata terhadap cacat pilkada langsung. Politik uang, populisme, dan kampanye dangkal memang nyata. Namun, jalan keluar yang lebih bermartabat adalah memperbaiki kualitas demokrasi, bukan mengurangi peran rakyat. Transparansi dana kampanye, seleksi calon yang ketat oleh partai politik, serta penguatan lembaga pengawas pemilu adalah agenda yang lebih jujur dan beradab.

Demokrasi bukan sekadar soal efisiensi, melainkan soal kepercayaan. Ketika hak memilih dicabut dari rakyat, yang hilang bukan hanya suara, tetapi juga rasa memiliki terhadap negara. Dan negara tanpa rasa memiliki dari rakyatnya, tak lebih dari bangunan megah tanpa pondasi.

***

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Mahasiswa Pascasarjana ADM Publik Unisma.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.