TIMES JATIM, BONDOWOSO – Kabupaten Bondowoso menunjukkan kemajuan dalam upaya menekan angka kemiskinan sepanjang 2024 hingga 2025. Data resmi mencatat tren penurunan jumlah penduduk miskin.
Namun di balik capaian tersebut, persoalan kemiskinan ekstrem masih membayangi puluhan ribu warga dan menjadi pekerjaan rumah serius bagi pemerintah daerah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Bondowoso pada Maret 2024 sebanyak 99,62 ribu jiwa. Angka ini berkurang menjadi 96,71 ribu jiwa pada Maret 2025, atau turun sekitar 2,91 ribu orang.
Persentase penduduk miskin juga mengalami penurunan dari 12,60 persen menjadi 12,20 persen dalam kurun waktu satu tahun.
Meski demikian, data DTSE-N per Desember 2025 menunjukkan kondisi yang lebih mengkhawatirkan pada kelompok kemiskinan ekstrem.
Dari total populasi 800.441 jiwa yang tersebar dalam 321.522 keluarga, tercatat 87.032 individu atau 39.419 keluarga masih hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Fakta ini menegaskan bahwa penurunan angka kemiskinan secara umum belum sepenuhnya menyentuh kelompok masyarakat paling rentan.
Wakil Bupati Bondowoso, As’ad Yahya Syafi’i, menyebut penurunan angka kemiskinan sebagai hasil kerja kolektif berbagai pihak, mulai dari pemerintah kabupaten hingga desa. Namun ia menegaskan bahwa capaian tersebut bukan alasan untuk berpuas diri.
“Penurunan ini menunjukkan arah kebijakan sudah tepat, tetapi jaraknya masih jauh dari target,” ujarnya, Rabu (31/12/2025).
Pemerintah daerah menargetkan tingkat kemiskinan pada 2026 berada di kisaran 11,36 hingga 11,73 persen, dengan ambisi menekan kemiskinan ekstrem hingga nol persen.
Menurut Ra As’ad, target tersebut menuntut strategi yang lebih tajam, terlebih di tengah keterbatasan fiskal yang diprediksi terjadi pada 2026. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi kebijakan disebut menjadi kunci utama.
Ia juga menginstruksikan agar Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) di tingkat kecamatan memperkuat pendampingan desa.
Desa dinilai memiliki peran strategis, terutama melalui pengelolaan Dana Desa yang harus diarahkan langsung pada program peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin dan rentan.
“Pemerintah daerah menekankan pentingnya penggunaan anggaran yang tepat sasaran dan berdampak nyata,” katanya.
Selain itu, kualitas data menjadi perhatian serius. Proses verifikasi dan validasi DTSE-N diminta tidak sekadar administratif, melainkan menghasilkan data akurat agar bantuan dan program intervensi benar-benar diterima oleh warga yang berhak.
Penurunan angka kemiskinan memang menjadi sinyal positif, namun keberadaan puluhan ribu warga dalam kemiskinan ekstrem menjadi pengingat bahwa tantangan masih besar.
“Percepatan program pemberdayaan ekonomi, penyaluran bantuan sosial yang lebih presisi, serta penguatan sistem pendataan menjadi agenda yang tak bisa ditunda,” pungkasnya. (*)
| Pewarta | : Moh Bahri |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |