TIMES JATIM, SURABAYA – Tenggelamnya kapal feri di Selat Bali masih menimbulkan berbagai macam pertanyaan terkait keselamatan transportasi laut. Banyak faktor yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi.
Menurut Neffrety Nilamsari SKM MKes, Pakar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Universitas Airlangga, tragedi ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam keselamatan transportasi laut di Indonesia.
“Aspek cuaca memang tidak bisa dikendalikan oleh manusia meskipun memiliki alat secanggih apapun. Tapi sistem keselamatan dan teknologi prediksi seharusnya mampu memberi peringatan dini. Kecelakaan ini terjadi karena sistem itu tidak berfungsi atau diabaikan,” ujarnya, Jumat (11/7/2025).
Radar cuaca, sistem komunikasi, hingga early detection sebenarnya sudah menjadi standar di kapal penumpang. Namun seringkali sistem ini luput dari pengujian secara fungsi sebelum kapal berangkat. Memungkinan adanya kegagalan sistem, sehingga tidak bisa memprediksi cuaca sebelumnya.
“Ada kemungkinan kegagalan sistem sehingga tidak bisa memperlihatkan prediksi cuaca sebelum berangkat. Sehingga penerapan keselamatan untuk penumpang dan awak kapal itu menjadi minimal,” jelasnya.
Dampaknya, keselamatan penumpang dan awak kapal menjadi minim. Penanganan darurat pun terhambat karena tidak semua kru memahami prosedur evakuasi dengan baik.
Neffrety mengatakan, hal ini menunjukkan kurangnya pelatihan dan kedisiplinan operasional di lapangan.
Kondisi Kapal, Beban dan Non Manifest
Neffrety juga menyoroti kondisi fisik kapal yang disinyalir tidak layak berlayar. Parahnya, banyak kapal tidak diperiksa oleh tenaga ahli bersertifikasi.
Awak kapal ditugaskan menguji mesin, radar, hingga indikator angin, tugas yang seharusnya dilakukan teknisi profesional.
“Korosi pada dinding atau dek kapal bisa membuat kapal mudah robek jika terseret jangkar. Pemeriksaan menyeluruh harus dilakukan, bukan hanya formalitas. Kesalahan teknis kecil bisa berujung bencana jika ditangani orang yang tidak kompeten,” tegasnya.
Sementara jumlah penumpang yang melebihi kapasitas turut memperbesar risiko. Kapal kekurangan pelampung dan sekoci.
Kesadaran publik juga perlu dibangun, terutama kapal yang sudah penuh. Penumpang tidak hanya berpikir tiba lebih cepat, melainkan keselamatan yang perlu diperhitungkan.
"Penumpang non-manifest sangat berbahaya dalam kondisi darurat. Evakuasi jadi kacau, dan identifikasi korban sulit dilakukan. Disamping itu kalau kapal penuh, jangan nekat. Keselamatan harus jadi prioritas, bukan sekadar tiba lebih cepat,” ungkapnya.
Sebagai penutup, ia menyerukan audit menyeluruh dan penerapan SOP ketat oleh perusahaan pelayaran.
“Jangan tunggu tragedi berikutnya. Disiplin keselamatan tidak boleh lagi dinegosiasikan,” katanya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Pakar K3 Unair Sinyalir Adanya Kegagalan Sistemik di Balik Tragedi Selat Bali
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Deasy Mayasari |