TIMES JATIM, PACITAN – Menjadi narasumber workshop literasi dan sastra pesantren, jurnalis TIMES Indonesia Biro Kabupaten Pacitan, Jawa Timur Yusuf Arifai mengajak santri Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari lebih banyak menulis berita positif.
Bertempat di lantai 3 aula kampus STAIFA Pacitan, workshop yang pesertanya dari mahasiswa dan santri itu bertajuk 'santri cakap media bijak menanggapi berita'.
Di awal sesi, Yusuf Arifai mengatakan, bahwa teknologi menjadi kebutuhan primer manusia di era digital yang tidak dapat dihindari ataupun ditolak sehingga menuntutnya untuk lebih beradaptasi. Dalam literasi digital, yang dituntut bukan hanya sekedar kemampuan mencari, menggunakan dan menyebarkan informasi. Akan tetapi, diperlukan kemampuan dalam membuat informasi tersebut agar memahamkan dari setiap konten yang dibuat
"Saat ini kita mesti sadar, tanpa teknologi, manusia pasti menjadi ketinggalan zaman dan gaptek. Literasi digital ini meliputi tanggung jawab dari setiap penyebaran informasi yang dilakukan generasi milenial karena menyangkut dampaknya terhadap masyarakat," katanya, Minggu (30/10/2022).
Kendati demikian, lanjut pria yang juga penggiat literasi pesantren ini menegaskan, santri kekinian perlu dibekali pemahaman yang benar berkaitan dengan literasi digital agar bisa memproteksi diri dari potensi penyimpangan informasi.
"Pemahaman digital literacy perlu diterapkan kepada lingkungan pesantren, dunia pendidikan dan kampus. Caranya dengan memaksimalkan waktu seefisien mungkin," ucap Yusuf.
Yusuf pun menilai, lingkungan pesantren sangat menguntungkan dan memiliki magnet kuat bagi para santri untuk mengasah kecakapan dalam memproduksi pengetahuan secara argumentatif, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Tradisi ini menuntut empat keterampilan aspek berbahasa dan kesusasteraan.
"Tradisi literasi tak terlepas dari menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Sehingga, dengan tumbuhnya rangkaian kesadaran itu, santri yang sudah terbiasa menghadapi masalah dan memecahkannya juga begitu mudah menjawab tantangan zaman," paparnya.
Selain itu Yusuf menyatakan, jika satuan pendidik mampu mengarahkan para santri dengan baik, maka atmosfer literasi akan tumbuh dengan subur. Hal ini diperlukan dukungan oleh semua elemen di dalamnya.
"Misalnya, pesantren menciptakan ekosistem literasi yang menyenangkan. Dari situ tumbuh semangat membaca dan menulis. Kebiasaan ini yang kita butuhkan," ujar Yusuf.
Tak hanya itu, Yusuf kembali menegaskan, literasi digital harus mampu menghadang narasi negatif di media sosial yaitu salah satunya dengan saring sebelum sharing, pikirkan sebelum posting untuk media kebaikan. Tulisan yang positif juga berdampak positif bagi pembacanya.
"Tulislah berita yang positif. Jadi apapun yang akan kita sebarkan berdampak manfaat. Penebar keburukan dan ujaran kebencian jangan dikasih panggung lagi," jelasnya.
Sementara itu, Penggiat Sastra Sofwa Zahrotul Humaira mengatakan, banyak sastrawan yang lahir dari pesantren. Mereka berperan aktif menyampaikan kebenaran lewat puisi, cerpen dan buku. Tak heran jika saat ini karya-karya kaum santri masih enak untuk dinikmati.
"Seperti KH. Zawawi Imron dan Gus Mus, puisi-puisinya sangat menginspirasi kita untuk lebih berekspresi menyuarakan kebaikan, kegigihannya membuahkan ilmu," ungkapnya.
Perempuan yang juga guru SD ini mengajak peserta workshop gemar membaca berkualitas. Bukan soal harganya, namun proses dan cara mendapatkannya pun juga membutuhkan upaya. Kebiasaan mengoleksi buku adalah bawaan sejak masih menjadi santri.
"Kuncinya adalah cinta. Kalau para santri suka baca buku, carilah yang berkualitas. Nah, mulai sekarang harus belajar menabung. Sebab, membaca buku sama saja menghargai pengarangnya," papar Sofwa.
Dia pun menekankan kepada santri agar memiliki rasa cinta terhadap membaca dan menulis. Di akhir sesi, peserta workshop literasi dan sastra pesantren ada yang membacakan puisi. Tak sedikit mereka memiliki keinginan kuat untuk menjadi seorang penulis dan penyair.
Melalui kegiatan workshop literasi dan sastra pesantren, diharapkan peserta yang hadir dari beberapa sekolah, khususnya para santri di Ponpes Al-Fattah Kikil Pacitan memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi tantangan zaman, lebih adaptif dan transformatif. Terutama bisa menulis berita positif. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Irfan Anshori |