TIMES JATIM, JOMBANG – Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, KH Zainul Ibad As’ad atau yang akrab disapa Gus Ulib, tampil sebagai representasi Indonesia dalam forum internasional bergengsi The 15th International Roundtable of Multinational Corporations Leaders yang digelar di Beijing, China, pada Sabtu (13/12/2025).
Forum ini mempertemukan para pemimpin perusahaan multinasional, pemikir global, akademisi, dan tokoh lintas sektor dari berbagai negara untuk membahas masa depan ekonomi dunia, etika bisnis, serta peran kemanusiaan di tengah arus kapitalisme global.
Di tengah dominasi diskursus ekonomi dan teknologi, Gus Ulib membawa perspektif khas pesantren Indonesia, mengawinkan rasionalitas, spiritualitas, dan nilai kebangsaan dalam praktik bisnis global.
Berotak China, Berhati Makkah, dan Berjiwa Indonesia
Dalam keterangannya, Gus Ulib mengemukakan gagasan besar yang ia sebut sebagai “Berotak China, Berhati Makkah, dan Berjiwa Indonesia” sebuah formula etis dan filosofis untuk membangun peradaban bisnis global yang berkeadilan.
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang, KH Zainul Ibad As’ad atau yang akrab disapa Gus Ulib, saat mengikuti forum bisnis internasional di China, Sabtu (13/12/2025). (FOTO: Rohmadi/TIMES Indonesia)
“China mengajarkan kita tentang disiplin, kerja keras, dan kecerdasan strategis. Makkah mengajarkan nilai tauhid, kejujuran, dan kemuliaan akhlak. Indonesia mengajarkan harmoni, kebersamaan, dan kemanusiaan,” ujar Gus Ulib saat dikonfirmasi TIMES Indonesia, Sabtu (13/12/2025).
Menurutnya, dunia usaha modern membutuhkan lebih dari sekadar kecanggihan teknologi dan kekuatan modal. Tanpa fondasi moral dan nilai kemanusiaan, pertumbuhan ekonomi justru akan melahirkan ketimpangan dan krisis sosial.
Menanamkan Spirit Kemanusiaan dalam Bisnis Global
Gus Ulib menyoroti bahwa praktik bisnis global saat ini kerap terjebak pada orientasi keuntungan semata, mengabaikan dampak sosial dan lingkungan. Ia menegaskan perlunya reorientasi paradigma bisnis: dari sekadar profit menuju kemaslahatan bersama.
“Bisnis harus menghadirkan manfaat bagi manusia, bukan hanya angka di laporan keuangan. Spirit kemanusiaan harus hidup dalam setiap keputusan bisnis,” tegasnya.
Gus Ulib mengusulkan beberapa prinsip utama untuk menumbuhkan etika kemanusiaan dalam dunia usaha global, di antaranya:
* Keadilan dalam relasi kerja, termasuk perlindungan hak buruh dan penghormatan martabat manusia.
* Keberpihakan pada keberlanjutan, dengan memperhitungkan dampak lingkungan dan sosial.
* Tanggung jawab moral korporasi, bukan sekadar tanggung jawab hukum.
* Kolaborasi lintas budaya dan agama, untuk menciptakan ekonomi yang inklusif dan damai.
Bagi Gus Ulib, nilai-nilai tersebut sejatinya telah lama hidup dalam tradisi pesantren dan kearifan lokal Indonesia, yang kini relevan untuk ditawarkan kepada dunia.
Pesantren dan Diplomasi Nilai Indonesia
Partisipasi Gus Ulib dalam forum internasional ini sekaligus menegaskan peran pesantren sebagai aktor penting dalam diplomasi nilai Indonesia. Ia menyampaikan bahwa pesantren bukan hanya pusat pendidikan keagamaan, tetapi juga laboratorium etika sosial dan ekonomi.

“Pesantren mengajarkan keseimbangan antara akal, hati, dan tindakan. Nilai ini sangat dibutuhkan dalam dunia global yang semakin kompetitif,” katanya.
Putra dari KH. As’ad Umar itu menambahkan, Indonesia memiliki modal besar untuk berkontribusi pada peradaban dunia, bukan hanya dari sisi sumber daya alam atau pasar, tetapi dari nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan spiritualitas.
Indonesia sebagai Penjaga Nurani Global
Menutup pemaparannya, Gus Ulib mengajak para pemimpin korporasi multinasional untuk menjadikan bisnis sebagai jalan pengabdian kepada kemanusiaan.
Kehadiran Gus Ulib di Beijing menjadi penegasan bahwa Indonesia, melalui pesantren dan tokoh-tokoh ulama moderatnya, mampu tampil di panggung global sebagai penjaga nurani dunia usaha, menawarkan wajah ekonomi yang tidak hanya kuat, tetapi juga beradab.
“Jika China memberi kita cara berpikir maju, dan Makkah memberi kita arah moral, maka Indonesia memberi kita jiwa—jiwa yang merawat kemanusiaan dan perdamaian,” pungkasnya. (*)
| Pewarta | : Rohmadi |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |