TIMES JATIM, MALANG – Sejumlah Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) yang berada di wilayah Kota Malang menuntut keadilan atas hak-haknya di kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) oleh PT NSP.
Mereka berjuang mencari keadilan atas dugaan eksploitasi yang diterima selama berada dipenampungan PT NSP.
Salah satu CPMI yang menjadi korban berinisial RH mengatakan, selama tinggal di tempat penampungan PT NSP, ia mendapat perlakuan tidak manusiawi. Ia dipekerjakan secara paksa tanpa upah yang dibungkus dengan kedok sebagai pelatihan.
Para calon pekerja migran ini dipaksa bekerja di warung makan milik RY, yakni suami dari pemilik PT NSP, yaitu HR tanpa upah.
“Saya dipekerjakan di warung, bekerja selama 17 jam dan tidak diberi upah. Harusnya kami semua sudah diberangkatkan, ternyata tidak berangkat,” ujar RH, Senin (28/4/2025).
Sementara, korban CPMI lainnya berinisial LA mengaku dipekerjakan paksa dan tidak diperlakukan manusiawi.
“5 orang ini kerja dan giliran dengan yang lain setiap minggu. Satu orang disuruh motong bawang 20 kilogram tanpa upah sepeserpun,” ungkapnya.
Selain persoalan eksploitasi dan tindakan kekerasan yang dilakukan kepada CPMI, dugaan praktik penahanan dokumen asli milik para korban juga terjadi. Dokumen asli seperti KTP, KK, Akta Kelahiran hingga Ijazah sekitar 47 CPMI masih ditahan oleh PT NSP.
“Semua dokumen asli masih ditahan. Karena persyaratannya, dokumen yang diserahkan harus asli dan sampai hari ini tidak dikembalikan,” katanya.
“Waktu dulu kami minta, juga dimintai uang, mulai Rp1 juta sampai Rp10 juta lebih agar bisa dikembalikan dokumen asli kami,” lanjutnya.
Perlu diketahui, pengelola dan pemilik PT NSP Malang, yakni HR dan DPP kini sudah menjadi tersangka kasus penampungan CPMI Ilegal, usai digrebek Satreskrim Polresta Malang Kota beberapa bulan lalu.
Tak hanya itu, dari hasil perkembangan kasus, tersangka baru berinisial AB juga ditangkap oleh pihak kepolisian karena berperan sebagai tangan kanan tersangka HR.
Kasus ini, sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang dan dijerat dengan 7 pasal berlapis, diantaranya Pasal 2, Pasal 4 dan Pasal 10 UU RI No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO serta Pasam 81, Pasal 83, Pasal 85 C dan Pasal 85 D UU RI No 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Kini, para korban berjuang menuntut keadilan dan dalam perjuangannya, mereka meminta bantuan pendampingan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Dewan Pertimbangan SBMI, Dina Nuriyati mengatakan, pihaknya telah menerima laporan pengaduan dari korban CPMI PT NSP Malang.
"Sejak awal Maret 2025, kami sudah menerima laporan pengaduan dari para korban. Yang mengadu ke kami ada 6 korban, yaitu empat korban berdomisili di Malang dan dua korban berdomisili di Banyuwangi," jelasnya.
Dirinya menjelaskan, bahwa para korban CPMI PT NSP ini mendapat perlakuan tidak manusiawi. Yaitu, dipekerjakan di warung makan secara paksa tanpa upah yang dibungkus dengan kedok pelatihan.
"Jadi, indikasi adanya eksploitasi sudah jelas dan harusnya pelatihan sesuai dengan pekerjaaan yang harus dilakukan CPMI seperti merawat bayi, merawat lansia atau pekerjaan rumah tangga lainnya," terangnya.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut dugaan eksploitasi tersebut.
Termasuk berkomitmen akan terus mengawal kasus ini sampai keadilan didapatkan oleh para korban.
"Kami tegaskan bahwa SBMI tidak akan berhenti mengawal proses kasus ini sampai keadilan benar-benar didapatkan. Termasuk meminta polisi bergerak cepat untuk mengusut termasuk meminta peran aktif dari BP2MI," tandasnya.(*)
Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
Editor | : Imadudin Muhammad |