TIMES JATIM, JEMBER –
Program krusial Bantuan Hukum dan Konseling bagi masyarakat miskin di Kabupaten Jember berada di ujung tanduk.
Kebijakan drastis pemangkasan anggaran telah memukul program ini dari yang semula mencapai Rp700 juta turun tajam menjadi hanya Rp50 juta pada tahun 2025.
Penurunan anggaran yang mencapai lebih dari 93 persen ini diklaim sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan efisiensi dan rasionalisasi anggaran nasional, mengancam akses ribuan warga miskin Jember terhadap keadilan.
Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Jember, Achmad Zaenurrofik dengan memaparkan bahwa pemangkasan ekstrem ini disebabkan oleh dua faktor utama yang saling berkait.
"Pihak terkait mengakui bahwa transfer dana dari pemerintah pusat, termasuk Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), telah berkurang secara sangat signifikan," ujar pria yang akrab disapa Rofik, Kamis (20/11/2025).
Ia menegaskan bahwa semua organisasi perangkat daerah (OPD), termasuk Bagian Hukum, diwajibkan mematuhi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD.
"Pengurangan itu sebagai konsekuensi dari berkurangnya juga transfer ke daerah. Seperti kita ketahui bersama bahwa transfer ke daerah itu berkurang sangat signifikan, termasuk juga DBHCHT," tegas Rofik.
Rofik menjelaskan bahwa pengetatan anggaran dari pusat telah melumpuhkan kemampuan daerah untuk menyediakan layanan dasar hukum.
Bahkan, beberapa kegiatan hukum non-esensial lainnya terpaksa ditiadakan sama sekali.
Menyikapi krisis anggaran yang menyebabkan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di setiap desa/kelurahan terancam mandek, fokus kini dialihkan pada upaya kolaborasi eksternal sebagai solusi darurat.
"Kami secara aktif mencari dan menyambut tawaran kerja sama dari perguruan tinggi serta lembaga masyarakat yang memiliki konsentrasi dan kepedulian di bidang hukum," jelasnya.
Menurutnya, kolaborasi ini sangat mendesak untuk mengisi kekosongan anggaran, terutama untuk program-program penyuluhan, informasi, dan pemberdayaan hukum.
"Kami menekankan bahwa kolaborasi ini harus datang dari pihak-pihak yang secara sukarela tergerak untuk membantu, mengingat sumber daya pemerintah saat ini sangat terbatas," ungkapnya.
Dia menyerukan kepada seluruh pihak terkait, baik akademisi maupun aktivis, untuk segera bertindak.
"Ini adalah momentum untuk membuktikan kepedulian kita terhadap hak-hak masyarakat miskin atas keadilan. Keterbatasan anggaran tidak boleh menjadi alasan untuk menghentikan akses mereka terhadap bantuan hukum. Kolaborasi adalah kunci," tutupnya. (*)
| Pewarta | : M Abdul Basid |
| Editor | : Dody Bayu Prasetyo |