TIMES JATIM, JAKARTA – Pemerintah Indonesia mulai memberlakukan opsen pajak pada 5 Januari 2025, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Kebijakan ini mencakup tiga jenis pajak, yaitu opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).
Salah satu poin penting dari kebijakan ini adalah penerapan tambahan pungutan sebesar 66 persen untuk opsen PKB dan BBNKB. Sebagai contoh, tarif PKB untuk kepemilikan pertama yang sebelumnya sebesar 1,75 persen kini disesuaikan menjadi 1,86 persen, dengan tujuan untuk tidak membebani masyarakat secara signifikan.
Setelah penurunan tarif tersebut, pemerintah daerah akan mengenakan opsen pajak sebesar 66 persen dari pajak yang terutang, dan pembayaran pajak ini akan langsung dialokasikan ke rekening kas umum daerah (RKUD) kabupaten/kota, menggantikan mekanisme bagi hasil antara provinsi dan kabupaten/kota yang berlaku sebelumnya.
Namun, kebijakan ini menuai sorotan dari sejumlah pihak, termasuk Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI) Dr. Lia Istifhama, M.E.I., yang mengajukan harapan prioritas fungsi ekologi, disamping problem ketimbangan daerah akibat skema pembagian hasil pajak.
“Kita semua tentu sependapat bahwa skema OTODA atau otonomi daerah pasti diharapkan sebagai supported system pemerataan ekonomi. Namun harus diakui pada wilayah tertentu ternyata ini menjadi kendala tewujudnya keadilan ekonomi. Hal ini jika dikaitkan dngan penerapa skema opsen Pajak Kendaraan Bermotor," kata Lia kepeda TIMES Indonesia, kamis (30/1/2025)
"Pemberlakuan opsen PKB tersebut memiliki kecenderungan lebih menguntungkan bagi daerah yang memiliki jumlah populasi kendaraan bermotor terdaftar yang banyak, sedangkan daerah dengan populasi kendaraan bermotor terdaftar yang sedikit akan menerima bagian dari opsen PKB yang sedikit. Maka asas pemerataannya (horizontal in balance) tidak dapat terpenuhi," papar senator yang akrab disapa Ning Lia ini.
“Contohnya, dampak pada kemampuan fiskal di Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan 14 Pemerintah Kabupaten Kota di Jawa Timur yang menurun drastis. Namun daripada itu, jika skema ini tetap harus diberlakukan, maka setidaknya mohon diprioritaskan fungsi ekologi,” tambahnya.
Ning Lia mencatat banyak kantor cabang, dealer kendaraan, dan kantor pusat perusahaan besar, termasuk BUMN, terletak di pusat kota besar seperti Surabaya dan Jakarta. Akibatnya, opsen pajak kendaraan, yang dialokasikan berdasarkan lokasi registrasi kendaraan, cenderung mengalir ke kota-kota besar tersebut. Padahal, distribusi kendaraan seringkali lebih luas, dengan banyak kendaraan yang terdaftar di pusat kota namun digunakan di daerah lain, termasuk kota kecil atau wilayah pedesaan.
“Bahkan, rute atau distribusi kendaraan justru sering melewati jalan-jalan di kota atau kabupaten lain yang kondisinya lebih buruk, seperti jalan rusak, namun pajak yang diperoleh dari kendaraan tersebut tetap masuk ke kota tempat kendaraan tersebut terdaftar. Inilah yang saya kira menjadi dasar kuat penerapan fungsi ekologi," ucapnya.
Ning Lia mengatakan, Kabupaten/Kota yang menjadi alur distribusi kendaraan, tentu memiliki dampak polusi udara akibat emisi kendaraan. Semakin banyaknya kendaraan yang beroperasi di jalan raya akan meningkatkan emisi karbon dioksida (CO2) dan polutan lainnya, yang pada gilirannya akan memperburuk kualitas udara dan menambah beban pada lingkungan.
"Nah, apa yang bisa dilakukan Kabupaten Kota tersebut jika ternyata mereka hanya menerima distribusi kendaraan? Sedangkan kebijakan opsen pajak ini cenderung menggemukkan pendapatan daerah tertentu? Jadi maksud saya, harus ada suntikan juga untuk kabupaten kota penerima alur kendaraan yang melewati wilayah mereka. Pun dengan wilayah penerima pendapatan fiskal yang lebih besar, perlu memprioritaskan pada aspek ekologi agar kotanya selalu sehat," katanya.
Menurutnya, kota atau kabupaten yang menerima hasil dari opsen pajak kendaraan harus mengalokasikan sebagian pendapatan mereka untuk program-program pelestarian lingkungan.
Alokasi dana tersebut bisa digunakan untuk berbagai program seperti penghijauan di wilayah pesisir, pengadaan bak sampah di area publik, atau pembangunan fasilitas ramah lingkungan lainnya yang dapat membantu mengurangi dampak buruk polusi kendaraan.
“Saya berharap kebijakan opsen pajak kendaraan bermotor tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan daerah, tetapi dapat menjadi instrumen untuk mendukung perbaikan kualitas lingkungan hidup. Alokasi anggaran yang lebih besar untuk program-program pelestarian lingkungan akan berkontribusi dalam mengurangi dampak polusi udara, serta menjaga agar pertumbuhan ekonomi yang terjadi tetap sejalan dengan kelestarian alam,” kata Ning Lia. (*)
Pewarta | : Rudi Mulya |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |