TIMES JATIM, SURABAYA – Pondok pesantren selalu menjadi semacam pulau kecil di tengah samudera pendidikan Indonesia. Dikelilingi sekolah-sekolah formal dan kampus bergelar, mereka bertahan dengan caranya sendiri.
Namun, kabar datang dari Surabaya, Menteri Agama, Nasaruddin Umar mengumumkan niat baik Kementerian Agama RI untuk membentuk Direktorat Jenderal Pesantren. Semacam payung besar untuk menampung harapan para santri dari Sabang sampai Merauke.
"Secepatnya kita bentuk Direktorat Jenderal khusus untuk mengurus dan mengayomi pondok pesantren," tegas Menag Nasaruddin, yang disambut sorak-sorai dari ribuan peserta istighosah di Masjid Nasional Al-Akbar, Surabaya, Kamis (14/11/2024).
Berdekatan dengan Hari Pahlawan, seolah mengingatkan bahwa pesantren pun punya jasa besar dalam perjuangan negeri ini.
Tokoh-tokoh besar hadir dalam acara itu. Ada Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, lalu KH Miftachul Akhyar dari Pondok Pesantren Islam Miftachussunnah II, dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Muzakki.
Tak ketinggalan Kepala Kemenag Jawa Timur Ahmad Sruji Bahtiar, Kepala Kemenag Surabaya Muhammad Muslim, serta ribuan santri dan warga pesantren yang tumplek-blek di acara itu.
Bukan rahasia lagi, pesantren memang punya cara sendiri untuk bertahan. Menurut Menag Nasaruddin, pesantren adalah lembaga yang lahir dari rahim Nusantara.
Bahkan, ia mengingatkan bahwa sebelum orang-orang Belanda menancapkan kuku kolonialismenya di sini, pesantren sudah mendidik anak bangsa dalam sistem pendidikan khas Indonesia.
Dengan nada mantap, ia mengutip Nurcholish Madjid.
"Seandainya Indonesia tidak dijajah Belanda, perguruan tinggi kita sekarang mungkin bukan UI atau ITB, tapi Universitas Tremas, Universitas Lirboyo, atau Universitas Tebuireng," katanya.
Ini semacam tamparan kecil bagi institusi modern bahwa pondok pesantren punya sejarah pendidikan yang panjang.
Menag melanjutkan, inilah saatnya pondok pesantren mengembalikan masa jayanya. "Sudah waktunya pesantren jadi tuan rumah di dalam negeri sendiri," katanya dengan mata berbinar.
Hadirnya undang-undang tentang pesantren menjadi bukti nyata bahwa negara mulai mengakui peran pesantren. Namun, Menag menegaskan ini belum cukup.
“Tugas kami selanjutnya adalah bagaimana melanjutkan keberadaan pondok pesantren,” ujar Nasaruddin.
Salah satu andalan pesantren yang membuatnya berbeda adalah sistem pemondokan. Para santri mendapat pengawasan selama 24 jam, yang artinya pembinaan karakter berjalan siang-malam, tanpa jeda.
“Ini keunggulan pesantren. Karena waktu rawan bagi anak-anak itu ya setelah pulang sekolah,” jelas Menag sambil tersenyum.
Lebih lanjut, ia menyampaikan kebanggaan bahwa sistem pemondokan ini sudah diadopsi oleh sekolah-sekolah di Inggris dan Australia. Entah bagaimana, sekolah-sekolah jauh di sana sadar bahwa formula pesantren bisa menghasilkan generasi tangguh.
Dan begitu pulang dari acara Kemenag RI itu, ribuan santri membawa harapan baru. Pesantren mereka bukan lagi sekadar tempat mengaji atau menghafal, tapi rumah yang mulai dilihat penting oleh negerinya sendiri. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menag RI: Saatnya Pesantren Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Deasy Mayasari |