TIMES JATIM, JOMBANG – Di tengah ketimpangan pembangunan infrastruktur, transportasi publik bagi pelajar di Jombang masih luput dari perhatian serius Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang. Hingga saat ini, tak ada bis sekolah atau transportasi pelajar, sementara angkutan umum semakin minim dan tidak layak, membuat mobilitas ratusan ribu pelajar dan warga terhambat.
Sorotan tajam pada Pemkab Jombang itu mengemuka dalam diskusi bertajuk “Menakar Arah Kebijakan Transportasi Publik Jombang” di Rumah Peradaban MEP (Menebar Energi Positif), Minggu (27/7/2025). Hadir sebagai narasumber Muhammad As’ad, Dosen UNHASY sekaligus kandidat doktor di Leiden University, Belanda, serta Yusron Aminulloh, pendiri Rumah Peradaban MEP dan pengusaha lokal.
Yusron secara tegas mempertanyakan prioritas Pemkab Jombang. Ia menyebut pengalokasian anggaran Rp17 miliar untuk pembelian tanah Sekolah Rakyat yang siswanya belum mencapai 1.000 orang, berbanding terbalik dengan minimnya perhatian terhadap transportasi publik yang menyangkut nasib ratusan ribu pelajar.
“Kalau Pemkab bisa menganggarkan belasan miliar untuk sekolah baru, kenapa tidak satupun kebijakan menyentuh transportasi pelajar? Setiap pagi kita lihat kemacetan akibat ribuan motor dan mobil, sementara fasilitas publik dari pemkab nihil,” tegas Yusron Aminulloh saat dikonfirmasi, Senin (28/7/2025).
Menurutnya, ketidakadilan kebijakan ini menimbulkan keresahan. Terlebih, kota-kota lain sudah mulai berbenah dan meluncurkan program transportasi massal, seperti Bus Wira-Wiri Surabaya atau Trans Jatim dari Pemprov.
Sementara itu, Muhammad As’ad narasumber dalam kegiatan tersebut menambahkan, Jombang sebagai kabupaten strategis seharusnya tak tertinggal dalam pembangunan sistem transportasi. Dengan sektor pendidikan, pertanian, dan pariwisata yang potensial, mobilitas masyarakat semestinya jadi perhatian utama.
“Transportasi adalah denyut nadi ekonomi dan akses pendidikan. Tapi hari ini, masyarakat Jombang masih bergantung pada angkutan desa yang tak layak dan tak menjangkau kebutuhan dasar,” jelasnya.
As’ad menyebut daerah seperti Tuban telah meluncurkan bus sekolah gratis “Si Mas Ganteng”, sementara Jombang belum menunjukkan kemauan politik untuk hal serupa.
“Kita butuh terobosan seperti Trans Jombang yang menghubungkan pusat kota dengan kecamatan-kecamatan seperti Diwek, Wonosalam, Ploso, dan Ngoro,” tandasnya.
Meski tidak langsung menguntungkan secara finansial, transportasi publik adalah bentuk kehadiran negara dalam menjamin kesetaraan dan pemerataan pembangunan.
Sementara itu, Yusron menawarkan solusi jangka pendek yang bisa segera diterapkan tanpa menunggu pengadaan armada baru. Ia mengusulkan agar Pemkab meniru pola Banyuwangi yang memberikan subsidi kepada angkutan umum dan membebaskan biaya bagi pelajar di jam-jam sekolah.
“Angkutan desa bisa difungsikan optimal jika pemerintah hadir memberi insentif. Pagi dan siang digunakan antar jemput pelajar, selebihnya bisa melayani warga. Ini cara cepat dan realistis,” jelasnya.
Kedua narasumber sepakat bahwa perencanaan pengadaan 10 hingga 20 bus mini bisa dikejar untuk jangka menengah, namun perlu didahului oleh langkah nyata. Terlebih, indikasi bahwa Rancangan Anggaran 2026 belum memuat pos pengadaan transportasi pelajar menunjukkan urgensi untuk mendorong advokasi kebijakan dari sekarang.
Diskusi ini menjadi refleksi mendalam bahwa pembangunan yang berkeadilan tidak hanya soal bangunan fisik dan proyek besar, melainkan juga akses dasar yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat, seperti transportasi yang layak dan inklusif bagi pelajar dan warga Jombang. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Transportasi Pelajar Mandek, Pemkab Jombang Dinilai Abai
Pewarta | : Rohmadi |
Editor | : Deasy Mayasari |