TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Sejumlah figur politisi mengaku mengeluarkan ongkos jumbo saat mengikuti kontestasi Pilkada Kabupaten Probolinggo 2024, Jawa Timur. Baik Pilkada 2013 dan Pilkada 2018.
Terkait dengan ongkos pilkada ini, KPU di daerah sebenarnya telah membuat keputusan tentang Pembatasan Pengeluaran Dana Kampanye, dalam setiap event pilkada.
Di Kabupaten Probolinggo, Jatim, misalnya. Pada Pilkada 2018, KPU setempat mengeluarkan keputusan Nomor 24/HK.03.1-Kpt/3513/KPU-Kab//II/2018 tentang Pembatasan Pengeluaran Dana Kampanye dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Probolinggo tahun 2018.
Kampanye anti politik uang oleh KPK (FOTO: Antara)
Dalam keputusan itu, kampanye setiap pasangan calon dibatasi maksimal Rp 35.350.065.250. Pilkada Kabupaten Probolinggo 2018 diikuti dua pasangan. Yaitu Puput Tantriana Sari-Timbul Prihanjoko, dan pasangan Abdul Malik Haramain-Muhammad Muzayyan.
Sedangkan dalam Pilkada Kabupaten Probolinggo 2024, KPU membatasi dana kampanye setiap pasangan calon senilai Rp 37.260.038.100. Baik pasangan nomor urut 1, Zulmi Noor Hasani-Abd Rasit, maupun pasangan nomor urut 2, dr. Mohammad Haris-Fahmi AHZ.
Pembatasan itu tertuang dalam keputusan KPU Kabupaten Probolinggo Nomor 1519 tahun 2024 tentang Pembatasan Pengeluaran Dana Kampanye dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Probolinggo tahun 2024.
Pembatasan ditetapkan dengan memperhitungkan metode kampanye, jumlah kegiatan, perkiraan jumlah peserta, standar biaya daerah, bahan kampanye yang diperlukan, cakupan wilayah dan kondisi geografis, logistik, dan manajemen kampanye/konsultan.
Pada Pilkada Kabupaten Probolinggo 2024, KPU juga memfasilitasi bahan dan alat peraga kampanye untuk setiap pasangan calon. Bahan kampanye yang difasilitasi meliputi selebaran, brosur, poster, dan pamflet. Masing-masing 109.027 lembar untuk setiap pasangan calon.
Adapun alat peraga kampanye yang difasilitasi KPU untuk setiap pasangan calon, meliputi lima baliho ukuran 3x5 meter, 480 umbul-umbul ukuran 4x1,5 meter, dan 660 spanduk ukuran 1,5x6 meter.
Umbul-umbul disediakan untuk dipasang di 24 kecamatan se-Kabupaten Probolinggo. Setiap kecamatan dipasangi 20 umbul-umbul.
Sedangkan spanduk disediakan untuk dipasang di 325 desa dan lima kelurahan se-Kabupaten Probolinggo. Setiap desa/kelurahan, dipasangi dua buah spanduk.
Komisioner KPU Kabupaten Probolinggo, Muhammad Arifin mengatakan, pembatasan dana kampanye dibuat agar tim pasangan calon tidak jor-joran mengeluarkan dana selama kampanye.
Usulan Menekan Biaya Pilkada
Biaya politik yang mahal untuk mengikuti kontestasi pilkada, telah menjadi perhatian sejak lama. Bahkan ketika pembahasan Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dilakukan, pada 2014 silam.
Anggota Komisi II DPR-RI periode 2009-2014 Abdul Malik Haramain mengatakan, sejumlah usulan mengemuka selama pembahasan, untuk mendesain agar pelaksanaan pilkada berlangsung efisien.
Yang pertama, pilkada hanya berlangsung satu putaran, berapa pun selisih suara yang diperoleh para kontestan. Kecuali untuk Daerah Khusus Ibukota atau DKI Jakarta, yang mengharuskan perolehan 50 persen suara.
Yang kedua, tata cara kampanye diatur lebih detil. Misalnya tidak perlu ada kampanye terbuka oleh pasangan calon yang berkontestasi. "Semuanya indoor (di dalam ruangan)," kata Malik.
Dalam usulan ini, pelaksanaan kampanye mirip dengan debat publik kandidat. Kampanye difasilitasi dan diselenggarakan oleh KPU. "Tapi (usulan) ini tidak jadi pasal," kata mantan Ketum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau PMII ini.
Usulan ketiga, terkait alat peraga kampanye atau APK. Malik mengungkap, selama pembahasan, muncul usulan agar pemasangan APK juga diatur jumlah dan tempat pemasangannya.
"Kalau bisa KPU yang memasang. Pasangan calon tinggal menyerahkan foto beserta visi misinya," terangnya.
Usulan berikutnya adalah KPU dan Bawaslu diminta lebih tegas terhadap pasangan calon yang diketahui melakukan transaksi politik. Sebab transaksi politik akan membuat biaya maju pilkada kian mahal.
"Ke depan semangat efisiensi harus digulirkan terus," kata politisi yang pernah mengikuti kontestasi Pilkada Kabupaten Probolinggo tahun 2018 sebagai calon bupati ini.
Adanya mahar politik untuk parpol pengusung juga sempat menjadi sorotan. Sebab hal itu diyakini juga akan membuat biaya politik untuk menjadi kepala daerah menjadi semakin mahal.
Dalam pembahasan di Komisi II DPR RI, muncul usulan agar aturan tentang mahar politik ini dipertegas. Sebab hal itu bisa dianggap sebagai korupsi politik.
"Kalau ketahuan ditangkap, dan itu masuk pidana pemilu. Bahkan pasangan calon dan parpol yang melakukannya, kalau bisa didiskualifikasi," kata pria yang kini staf khusus Menteri Sosial ini.
Bahaya Politik Uang
Secara terpisah, penulis Buku “Badai Politik Uang dalam Demokrasi Lokal”, Ahmad Hudri mengatakan, politik uang merupakan fenomena sosial. Ia ada dalam setiap kontestasi Pilkada. Bahkan mengalahkan gagasan ide dan citra figur kontestan.
Mantan Ketua KPU Kota Probolinggo ini menyebut, politik uang mirip dengan teori pertukaran sosial. Dalam politik uang, terjadi pertukaran sumber daya antara pemilih dan calon.
"Pemilih punya suara sebagai sumber daya. Sedangkan calon yang punya kepentingan, memiliki sumber daya uang atau barang," katanya.
Dalam pertukaran sumber daya ini, kedua belah pihak sama-sama senang dan sama-sama memaklumi.
Praktek politik uang ini dianggap sebagai pilihan rasional karena baik pemilih maupun calon sama-sama diuntungkan.
Politik uang terjadi layaknya jual beli barang. Begitu selesai transaksi, barang dan uang akan menjadi hak milik masing-masing. Begitu pula dalam transaksi politik uang di Pilkada.
Hudri mengatakan, politik uang akan membuat ongkos politik pilkada yang dikeluarkan pasangan calon akan semakin melambung tinggi.
Konsekuensi berikutnya, hak masyarakat atas kesejahteraan dan pembangunan daerah akan berkurang. "Ini karena pasangan calon akan berupaya mengembalikan ongkos tinggi yang sudah dikeluarkan selama kontestasi," ujar Hudri.
Buku terbitan tahun 2020 itu, lahir atas penelitian Hudri sejak 2018 hingga 2020. Penelitian dilakukan terhadap Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 di Kota Probolinggo.
Hudri mengatakan perilaku politik uang belum berubah hingga kini. Iya bahkan menyebut praktik itu sekarang menjadi lebih dahsyat.
"Kontestan Kadung terdoktrin, kalau ingin menang ya pakai politik uang. Masyarakat juga begitu," sebutnya.
Berdasarkan observasi yang dilakukan dalam pilkada 2024, Hudri menemukan gejala sosialisasi oleh pasangan calon tidak begitu gencar.
Berdasarkan observasi itu ia menyebut, pasangan calon menyimpan sumber daya yang dimiliki untuk dikeluarkan pada last minute berupa politik uang. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Semangat Efisiensi Pilkada vs Politik Uang (3)
Pewarta | : Muhammad Iqbal |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |