TIMES JATIM, MALANG – Pemkot Malang melalui Disnaker-PMPTSP buka suara perihal polemik penolakan warga terhadap megaproyek hotel bintang 5 dan dua apartemen di kawasan Jalan A.Yani, Kecamatan Blimbing, Kota Malang.
Diketahui, megaproyek tersebut akhir-akhir ini mendapat penolakan warga lantaran dinilai memberi dampak buruk bagi mereka yang tinggal di sekitaran proyek milik PT Tanrise Property Indonesia.
Kepala Disnaker-PMPTSP Kota Malang, Arif Tri Sastyawan mengatakan, saat ini pihaknya baru menerima informasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dari PT Tanrise Property Indonesia.
KKPR sendiri, merupakan salah sayu persyaratan dasar yang wajib dipenuhi pelaku usaha untuk mendapatkan perizinan berusaha. KKPR memastikan bahwa kegiatan usaha yang dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTH) wilayahnya.
“Perizinan ya belum keluar, masih KKPR saja. Hanya menginformasikan bahwa itu bisa dibangun untuk lokasi hotel dan apartemen,” ujar Arif, Senin (28/4/2025).
Ia menyebut, izin yang diserahkan bukan bangunan setinggi 197 meter. Akan tetapi, izinnya untuk bangunan setinggi 150 meter atau tinggi maksimal sesuai dengan peraturan daerah (perda) yang ada.
Ia mengaku, proses perizinan masih berjalan cukup lama. Banyak tahapan yang harus dilakukan untuk memenuhi syarat izin sebelum pembangunan dimulai.
Proses izin yang harus dilakukan, mulai Amdal Lingkungan, KKOP (Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan), PBG hingga Amdal Lalin.
“Saya juga minta wajib ada KKOP. Artinya, walaupun yang diajukan 150 meter (tinggi bangunan), kalau dalam syarat KKOP harus turun, ya mau tidak mau harus dipatuhi,” ungkapnya.
Disisi lain, terkait adanya penolakan dan protes warga, Arif menegaskan bahwa itu merupakan hak warga sekitar yang terdampak.
Namun, ia meminta agar protes itu bisa disampaikan dan dimasukkan secara resmi dalam Amdal Lingkungan dan pengembang atau pengusaha harus bisa menerima hal tersebut.
“Misal kekhawatiran warga terkait air bawah tanah, warga tidak mau adanya sumur bor tanah, itu bisa dimasukkan dalam Amdal Lingkungan. Pengembang harus memberi solusi,” tuturnya.
Ia mengaku sampai saat ini belum mengadakan pertemuan antara warga, Pemkot Malang dan PT Tanrise Property Indonesia untuk mencari solusi dalam polemik ini.
Meski begitu, Pemkot Malang sendiri menginginkan para pengembang dan pengusaha dalam berinvestasi harus bisa mematuhi aturan yang ada.
Seperti, harus sesuai dalam Perda Tata Ruang yang berlaku, menyerap aspirasi warga dan menyerap tenaga kerja lokal sebagai prioritas utama.
“Kita tidak bisa menolak suatu usaha untuk berinvestasi di Kota Malang, sesuai amanah Perda Tata Ruang. Cuma kita minta agar sesuai dengan aturan yang ada, jangan memaksa,” bebernya.
Meski begitu, jika megaproyek ini gagal terlaksana di Kota Malang, Arif mengaku bahwa Pemkot Malang bisa kehilangan nilai investasi sebesar Rp500 miliar. Seharusnya, nilai besar tersebut bisa berdampak banyak untuk target investasi Kota Malang di tahun 2025 sebesar Rp1,6 triliun.
“Investasi paling banyak kan masih hotel dan perumahan. Ya kalau itu (megaproyek hotel dan apartemen Blimbing) nilainya sekitar Rp500 miliar lebih. (Kalau gagal target terancam) ya bisa jadi begitu,” ucapnya. (*)
Pewarta | : Rizky Kurniawan Pratama |
Editor | : Imadudin Muhammad |