TIMES JATIM, SURABAYA – Lingkungan tidak sehat berdampak pada kesehatan manusia, mikroplastik atau MP saat ini menjadi isu lingkungan terbesar di Indonesia.
Proses penyadaran ini sangat lambat dilakukan di lingkungan yang terdekat. Limbah plastik masihh saja banyak ditemukan di darat dan laut.
Dalam pengukuhan Guru Besar Unair (Universitas Airlangga) beberapa hari yang lalu, Prof Dr Lilis Sulistyorini Ir MKes menyampaikan orasi berjudul Pengendalian Pencemaran Mikroplastik.
Prof Lilis menyoroti bagaimana mikroplastik mencemari ekosistem utama di udara, laut, dan tanah hingga menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan manusia.
“Mikroplastik bukan lagi sekadar limbah tak kasatmata. Partikel ini kini telah ditemukan dalam tubuh manusia, mulai dari saluran pencernaan, paru-paru, hingga plasenta. Risiko kesehatannya bukan spekulasi, tapi nyata dan terukur,” ungkapnya, Selasa (29/4/2025).
Dalam ekosistem atmosfer, mikroplastik bertransportasi melalui angin, terdeposit di wilayah terpencil, bahkan terhirup oleh manusia.
Proyeksi atmosferik menunjukkan bahwa partikel ini membawa senyawa kimia berbahaya, memperkaya gen resistensi antibiotik, dan berpotensi mempengaruhi pembentukan awan serta pola hujan global.
Sementara di laut, MP terakumulasi dalam organisme perairan melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi. Artinya, mikroplastik menjadi bentuk paling dominan yang ditemukan di pesisir. Hal ini mengancam populasi keamanan pangan laut.
“Serat mikroplastik menjadi bentuk paling dominan yang ditemukan di pesisir. Ini mengancam populasi ikan dan berdampak pada keamanan pangan laut kita,” paparnya.
Di daratan, MP mengubah sifat fisik dan kimia tanah, menurunkan kesuburan, serta mengganggu produktivitas pertanian.
“Penelitian telah menunjukkan bahwa partikel mikroplastik juga merusak struktur tanah dan mengurangi kualitas lingkungan hidup secara umum,” kata Guru Besar Ilmu Pencemaran Lingkungan dan Kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UNAIR ini.
Paparan MP terhadap manusia dapat terjadi melalui tiga jalur utama, inhalasi (pernapasan), ingestasi (konsumsi), dan dermal (kontak kulit).
Tingginya paparan saat ini membuat partikel mikroplastik telah banyak ditemukan dalam darah, paru-paru, plasenta, bahkan jaringan tubuh manusia dengan ukuran rata-rata 14 mikrometer.
Risiko kesehatan yang dapat muncul, yaitu inflamasi paru, gangguan reproduksi, penyakit metabolik, penurunan kualitas oosit, bahkan potensi karsinogenik.
Selain itu, paparan kronis terhadap MP juga dapat mempengaruhi kesehatan mental masyarakat urban akibat kualitas udara yang memburuk.
“Kerusakan lingkungan akibat mikroplastik bukan hanya permasalahan ekologis, tetapi juga krisis kesehatan masyarakat yang harus direspons segera,” tegasnya.
Upaya Pengendalian
Terkait pengendalian mikroplastik ini, Prof Lilis menambahkan perlu ada usaha kolektif dengan pendekatan kebijakan, edukasi, dan teknologi.
Beberapa solusi yang Prof Lilis sampaikan antara lain pelarangan plastik sekali pakai, pengembangan bahan bioplastik, promosi daur ulang, dan sistem pemilahan sampah yang efektif.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara akademisi, pembuat kebijakan, industri.
Kampanye literasi lingkungan diperlukan, upaya ini menuju proses penyadaran terhadap masyarakat. Terutama mengenai bahaya mikroplastik bagi kesehatan manusia.
“Diperlukan inovasi dalam sistem pengolahan limbah serta kampanye literasi lingkungan kepada masyarakat secara luas,” tuturnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Guru Besar Unair Bedah Ancaman Mikroplastik bagi Kesehatan Manusia
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Deasy Mayasari |