https://jatim.times.co.id/
Pendidikan

Dekan FH Widyagama Malang Minta RKUHAP Jangan Jadikan Beban Kepolisian

Kamis, 08 Mei 2025 - 20:05
Dekan FH Widyagama Malang Minta RKUHAP Jangan Jadikan Beban Kepolisian Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Dr. Ibnu Subarkah, SH., M.Hum (Foto: Istimewa)

TIMES JATIM, MALANG – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) versi Maret 2025 kembali menuai sorotan dari kalangan akademisi dan pakar hukum. Sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Dr. Ibnu Subarkah, SH., M.Hum, ia menilai bahwa pembahasan RUU KUHAP belum sepenuhnya mencerminkan sistem peradilan pidana yang utuh dan terintegrasi.

Dr. Ibnu mengatakan bahwa RKUHAP tidak cukup hanya membahas kewenangan dan tugas kepolisian, melainkan harus menghadirkan porsi yang seimbang bagi institusi penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan dan badan peradilan umum.

Menurutnya, hukum acara pidana adalah proses yang bersifat menyeluruh, bukan kerja partial dari satu lembaga saja.

“Persoalan besar dalam penegakan hukum bukan hanya terletak pada proses penyidikan oleh kepolisian. Namun harus dilihat secara sistemik, dari mulai penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan. Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri,” ujar Dr. Ibnu, Kamis (8/5/2025).

Ia mengungkapkan, keadilan sebagai tujuan akhir dari hukum pidana adalah sesuatu yang mahal. Karena itu, seluruh aktor dalam sistem peradilan pidana harus memikul tanggung jawab bersama. Tidak adil jika beban seolah-olah hanya ditimpakan kepada kepolisian.

“Polisi seringkali berada di ‘garis panas’, berhadapan langsung dengan pelaku kejahatan, mengejar DPO, mengungkap kasus. Tapi ketika perkara sampai di pengadilan, hasil kerja keras itu bisa saja sia-sia karena tersangka dibebaskan. Ini menunjukkan bahwa sistem belum berjalan secara integrated,” ungkapnya.

Dr. Ibnu juga menyoroti pentingnya keterlibatan kejaksaan dan peradilan dalam proses pembahasan KUHAP. Sebab pembahasan yang dominan menyasar kepolisian justru bisa menjadi beban norma dan membuka peluang terjadinya pengerdilan makna sistem peradilan pidana.

“Kejaksaan dan kehakiman juga harus duduk bersama dalam pembahasan KUHAP. Jangan sampai muncul norma yang berat sebelah. Kita lihat, bahkan sekarang muncul rancangan KUHAP Kejaksaan yang berdiri sendiri. Ini justru mengindikasikan lemahnya koordinasi lintas lembaga dalam merumuskan sistem hukum yang seharusnya holistik,” jelasnya.

Dalam konteks pelaksanaan hukum, Dr. Ibnu juga menyoroti asas oportunitas yang dimiliki oleh kejaksaan, di mana jaksa memiliki kewenangan untuk tidak menuntut perkara tertentu. Hal ini, menurutnya, kerap tidak dibahas secara mendalam dalam penyusunan KUHAP padahal berperan besar dalam mewujudkan keadilan substantif.

Ia menambahkan bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana formil bukan hanya prosedur membawa tersangka ke pengadilan, tetapi juga memastikan setiap tahapan penegakan hukum menghormati prinsip praduga tak bersalah dan hak korban.

Terkait dengan pendekatan keadilan, Dr. Ibnu juga menekankan perlunya penguatan prinsip Restorative Justice dalam KUHAP. Keadilan restoratif jangan hanya diatur dalam peraturan internal kepolisian, tapi harus menjadi bagian dari regulasi yang mengikat seluruh sistem peradilan pidana.

“Restorative justice harus menjadi pendekatan hukum yang terlembaga, bukan sekadar kebijakan internal. Kita bicara tentang keadilan yang memberi ruang bagi penyelesaian yang lebih manusiawi, tidak parsial, dan mengakomodir kepentingan korban, pelaku, serta masyarakat,” tuturnya.

Selain itu, asas transitoir dalam KUHAP juga menurutnya harus dikaji secara serius. Asas ini berkaitan dengan peralihan dan kesinambungan hukum acara pidana dari sistem lama ke sistem baru, yang harus menjawab kompleksitas kasus di lapangan dan tidak terjebak dalam pendekatan normatif semata.

Dengan begitu, ia mengingatkan bahwa RKUHAP versi Maret 2025 harus memperjelas batas kewenangan antara kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Tumpang tindih atau rebutan kewenangan hanya akan menimbulkan kekacauan dan memperlemah kepercayaan publik terhadap hukum.

“Sistem peradilan pidana harus satu kesatuan. Harus ada integrasi antara penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Jika tidak, maka bukan hanya aparat yang kewalahan, tapi masyarakat juga akan kehilangan rasa keadilan. Kita tidak bisa menegakkan hukum jika sistemnya sendiri tidak solid,” tandasnya. (*)

Pewarta : Rizky Kurniawan Pratama
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.