TIMES JATIM, SUMENEP – Politik gentong babi atau pork barrel politics telah menjadi perhatian serius dalam dinamika demokrasi Indonesia, khususnya menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Istilah ini mengacu pada praktik penyalahgunaan sumber daya publik demi kepentingan politik tertentu, terutama untuk mendukung kandidat tertentu dalam kontestasi politik.
Di Kabupaten Sumenep, fenomena politik gentong babi mencuat dalam berbagai bentuk. Praktik ini kerap mencakup pembagian uang secara langsung hingga keterlibatan aparatur sipil negara (ASN) untuk memenangkan calon petahana.
Salah satu kasus yang mencolok adalah pembagian uang secara besar-besaran oleh Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI, yang terang-terangan mendukung keponakannya, Achmad Fauzi Wongsojudo, yang merupakan calon bupati petahana.
Dalam berbagai kesempatan, Said Abdullah diketahui membagikan amplop berisi uang kepada masyarakat. Tindakan ini dinilai sebagai penyalahgunaan sumber daya untuk mempengaruhi pilihan pemilih, yang mencoreng asas keadilan dalam demokrasi.
Lebih lanjut, terdapat laporan keterlibatan ASN dalam mendukung salah satu kandidat secara tidak langsung. Sebagian kelompok tani di Batuputih, mengaku diminta memberikan uang kepada oknum ASN sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan pemerintah. Bahkan, baliho kandidat yang menjadi rival petahana dilaporkan harus dipindahkan dari area tertentu karena tekanan pihak tertentu.
Praktik politik gentong babi seperti ini memiliki dampak buruk yang serius terhadap demokrasi. Selain menciptakan ketidakadilan dalam kontestasi politik, politik gentong babi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan. Kandidat yang memiliki integritas dan kualitas kepemimpinan sering kali kalah bersaing karena tidak mampu melawan kekuatan finansial yang digunakan pihak tertentu untuk membeli suara.
Lebih jauh, budaya politik transaksional yang terbentuk akibat praktik semacam ini sulit diberantas dalam jangka panjang. Ketika masyarakat terbiasa menerima uang atau bantuan sebagai imbalan suara, maka proses demokrasi yang ideal akan tergantikan oleh sistem yang transaksional dan koruptif.
Ironisnya, meskipun dampaknya nyata, politik gentong babi sering kali hanya menjadi bahan kritik tanpa diikuti oleh tindakan hukum yang tegas. Aktivis pro-demokrasi, Kurniadi, menekankan bahwa praktik ini seharusnya dikategorikan sebagai tindak pidana yang serius. Bahkan, kandidat yang terbukti terlibat seharusnya bisa didiskualifikasi dari kontestasi Pilkada.
Namun, pembuktian penyalahgunaan sumber daya publik sering kali menghadapi hambatan teknis dan politis. Independensi lembaga penegak hukum yang lemah turut memperparah situasi ini, sehingga banyak pelaku politik gentong babi yang lolos dari jerat hukum.
Untuk melawan politik gentong babi, langkah perlawanan harus dimulai dari akar rumput. Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan melalui diskusi publik dan kritik terbuka. Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) IAIN Madura, Sulaisi Abdurrazaq, menyerukan agar masyarakat menolak kandidat yang terlibat dalam praktik ini melalui mekanisme Pilkada yang bersih. Selain itu, penegakan hukum harus dilakukan dengan lebih tegas dan independen agar memberikan efek jera bagi para pelaku.
***
*) Oleh : Muhammad Dzunnurain, Student Faculty of Teacher Training and Education, English Education Department Unisma.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Membongkar Politik Gentong Babi di Pilkada Sumenep 2024
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |