TIMES JATIM, GRESIK – Dalam dinamika politik lokal Indonesia, Pilkada serentak 2024 menciptakan fenomena menarik. Di Kabupaten Gresik, meski pasangan calon Fandi Akhmad Yani dan Asluchul Alif (YA) berhasil menang, namun capaian pemilih kotak kosong tembus di angka 40 persen.
Dengan raupan suara nyaris seperempat juta, lebih tepatnya 246.530 (versi sirekap KPU) tentu saja realitas ini dapat menjadi cerminan dari tantangan demokrasi lokal yang dihadapi kota pudak saat ini.
Sejak diperkenalkannya opsi kotak kosong dalam pemilu kepala daerah dengan calon tunggal, para ahli politik memandangnya sebagai bentuk "Protes yang dilegalkan." Fenomena kotak kosong dapat diinterpretasikan sebagai kritik terhadap sistem politik yang dianggap elitis, tertutup, atau hanya mewakili kepentingan oligarki.
Dr. Firman Noor dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut tingginya suara kotak kosong menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat. Tentu saja, jika ditarik ke dalam konteks lokal, ini bisa menjadi pesan jelas bahwa sebagian besar pemilih merasa tidak punya pilihan alternatif. Ketika demokrasi kehilangan daya saing, kotak kosong menjadi simbol pemberontakan.
Toh faktanya, kemenangan kotak kosong bukanlah hal yang asing di Indonesia. Kasus pemilihan Wali Kota Makassar tahun 2018 menjadi contoh di mana kotak kosong berhasil menang melawan calon tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki keberanian untuk menolak kandidat yang dirasa tidak merepresentasikan kepentingan mereka.
Tingginya pemilih kotak kosong di Gresik harus menjadi sinyal yang perlu diwaspadai. Belum lagi dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) 971.740 suara, ada lebih dari 300 ribu masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada. Ini bisa menjadi sebuah sinyal apatisme yang mengakar di kota Santri saat ini.
Prof. Alfitra Salam dari Universitas Airlangga pernah menyampaikan, bahwa partisipasi rendah ini seringkali disebabkan oleh rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem politik. "Golput dan kotak kosong adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya menandakan bahwa masyarakat tidak puas terhadap kandidat yang disodorkan, maupun terhadap tata kelola politik di daerah mereka," kata dia.
Sementara dalam buku "Political Participation," karya tiga ilmuwan politik dunia, Verba, Schlozman, dan Brady menyebut bahwa partisipasi politik adalah indikator utama dari legitimasi pemerintahan. Ketika partisipasi rendah, pemerintah yang terpilih menghadapi tantangan besar untuk memperoleh Public Trust yang merupakan sumber kekuatan dari seorang pemimpin.
Senada, Samuel P. Huntington dalam buku Political Order in Changing Societies yang dia tulis, fenomena ini sebagai "the gap of expectations." Yang bisa dimaknai ketika aspirasi masyarakat tidak terpenuhi oleh sistem politik, mereka akan mencari cara alternatif untuk mengekspresikan kekecewaan mereka, termasuk melalui abstensi atau dukungan terhadap kotak kosong.
Tantangan Paska Pilkada 2024
Kemenangan pasangan YA harus dilihat sebagai mandat sekaligus tantangan. Mereka tidak hanya harus membuktikan bahwa program kerja mereka mampu memenuhi harapan masyarakat, tetapi juga harus merangkul kelompok-kelompok yang memilih kotak kosong atau golput. Dalam konteks ini, transparansi, akuntabilitas, dan pendekatan partisipatif menjadi kunci.
Pengamat politik Titi Anggraini menyarankan bahwa pemerintahan daerah tidak memiliki Public Trust tinggi, perlu membangun mekanisme konsultasi publik yang aktif agar masyarakat merasa didengar. “Kemenangan adalah awal dari perjalanan. Menjaga kepercayaan publik adalah kerja keras yang membutuhkan konsistensi,” kata Titi. Dalam hal ini pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan program kerja dapat menjadi langkah awal untuk membangun kepercayaan publik.
Pelajaran dari Gresik untuk Demokrasi Nasional
Fenomena kotak kosong di Gresik bisa menjadi refleksi mikro dari demokrasi nasional. Dalam laporan Democracy Index 2023 yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di peringkat ke-54 dunia dengan skor yang menurun dalam partisipasi politik.
Untuk memperbaiki situasi ini, reformasi sistem politik lokal diperlukan. Pendidikan politik yang inklusif, penguatan peran partai politik sebagai agen perubahan, serta kebijakan yang mendorong lebih banyak kandidat independen adalah langkah penting yang harus diambil.
Banyaknya pemilih kotak kosong di Gresik jangan dianggap sekadar angka. Hal ini harus menjadi pengingat bahwa demokrasi lokal kita masih menghadapi tantangan besar. Masyarakat telah berbicara melalui suara mereka, baik yang memilih kotak kosong, golput, maupun pasangan calon. Kini, giliran pemerintah dan sistem politik untuk mendengarkan, memperbaiki, dan memastikan bahwa demokrasi bekerja untuk semua, bukan hanya untuk segelintir.
***
*) Oleh : M. Firman Syah, Analis dan Penggiat Media.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tingginya Pemilih Kotak Kosong Pilkada 2024
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |