TIMES JATIM, JAKARTA – Masih ada sejumlah catatan pada tahapan Pemilu 2024 yang saat ini masuk tahap pencocokan dan penelitian (coklit) oleh Pantarlih dalam pemuktahiran daftar pemilih dengan cara mendatangi secara langsung.
Coklit digelar mulai dari 12 Februari sampai dengan 14 Maret 2023. Banyak menimbulkan persoalan yang muncul pada saat pencoklitan berlangsung,pada level kelembagaan KPU dan Bawslu sebagai penyelenggara pemilu juga masih tarik menarik soal tugas dan wewenang dalam penggunaan dan akses data kependududukan yang menjadi rujukan dalam coklit.
Terakhir yang menghebohkan ketua (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, mengklaim pihaknya akan melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, KPU tidak bersedia membagikan data yang menjadi rujukan petugas pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) melakukan pencocokan dan penelitian (coklit).
Akibatnya, Bawaslu kesulitan melakukan pengawasan ,Bawaslu beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh KPU bertentangan dengan pesan Presiden Jokowi dalam Konsolidasi Nasional Bawaslu pada 17 Desember 2022, Bawaslu berpendapat bahwa Bapak Presiden Joko Widodo sudah mengingatkan jika ada lembaga pemerintah yang menghalang-halangi Bawaslu untuk mengakses data pemilih, maka laporkan kepada Presiden.
Kondisi ini seperti berbalas pantun, KPU mengakui bahwa daftar pemilih yang menjadi rujukan pantarlih melakukan coklit tidak dibagikan ke siapa pun di luar KPU, sebab data tersebut tergolong sebagai data bergerak atau belum final, data yang masih diproses, dikecualikan (dari data yang bisa dibagikan), karena belum data pemilih, KPU beranggapan masih data hasil sinkronisasi. Hal yang sama juga soal DP4 (Data Penduduk Potensial Pemilih) ada kebijakan dari Mendagri soal (zero sharing data policy) artinya di luar kelembagaan KPU tidak diperbolehkan mengakses atau menggunakan data tersebut.
Kerawanan Coklit
Jika persoalan yang mencuat pada level kelembagaan penyelenggara pemilu yang paling tinggi sekaliapun, ternyata banyak persoalan yang lebih kompleks pada jajaran yang paling rendah sebut saja, masih ditemukan adanya problem berulang, salah satunya adalah keterlambatan kelengkapan logistik coklit yakni stiker serta formulir model A daftar pemilih. Sebab, formulir Model A dan stiker adalah instrumen yang wajib dipegang oleh Pantarlih sebagai bukti bahwa mereka telah melakukan coklit.
Di samping itu, juga banyak keluhan yang disampaikan oleh PPS dan Pantarlih berkaitan dengan aplikasi coklit (e-coklit) yang kerapkali mengalami masalah. Aplikasi coklit yang sering mengalami trouble dan sulit diakses oleh Pantarlih dapat berpotensi coklit tidak berjalan sesuai dengan tahapan jadwal yang sudah ditentukan dan berdampak pada tidak akuratnya data pemilih hasil coklit.
Pantarlih tidak dibimtek dengan baik, sehingga menjadi kendala besar saat menjalani tugas dan fungsi dalam melakukan coklit, kondisi ini sering dijumpai karena pantarlih tiba-tiba mengundurkan diri kareana honor yang diberikan berbeda dengan beban kerja saat bertugas, keterlambatan pembayaran honor menjadi persoalan serius, karena petugas patarlih tidak mau menyerahkan data kepada PPS dikarenakan belum menerima honor atau uang transport.
Berikutnya, pantarlih yang tidak dapat menunjukkan SK saat bertugas melakukan coklit. Petugas pantarlih tiba-tiba mengundurkan diri, petugas pantarlih coklit adalah tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih. Permasalahan teknis kerjanya adalah mendatangi dari rumah ke rumah (door to door), kemudian menempelkan Sticker Coklit untuk setiap KK yang telah didata. Pada tahapan teknis sekalipun masih banyak problem di lapangan.
Apa fakta dan potensi permasalahannya? Pantarlih bekerja dengan dua cara: Coklit manual dan E-Coklit (aplikasi online)
Beberapa potensi masalah yang dijumpai adalah Coklit Manual dan E-Coklit, (idelanya) sebagai teknis kerja yang saling melengkapi, dengan output utama adalah hasil Coklit Manual yang akan dilaporkan secara berjenjang oleh Pantarlih hingga ke KPU; Namun bisa saja muncul berbagai problem di lapangan, diantaranya:E-Coklit tidak bisa bekerja (bersamaan dengan Coklit Manual) karena: kendala jaringan, kendala handphone atau Smartphone, gagal login, dan sebagainya. Maka Pantarlih biasanya akan bekerja dengan mengisi formulir Coklit Manual, sementara E-Coklit tidak dikerjakan atau dikerjakan menyusul belakangan.
Ada juga kemungkinan kondisi sebaliknya, Coklit Manual belum bisa dikerjakan karena kendala Pantarlih “belum ada ” Formulir Coklit (bisa karena kehabisan atau belum cetak). Dalam kasus demikian, Pantarlih akan mengerjakan E-Coklit, sedangkan Coklit Manual akan dikerjakan menyusul belakangan.
Dalam kondisi demikian maka ,berpotensi menyebabkan “bias data” jika pada akhirnya output kedua data tersebut tidak disinkronisasi secara benar. Apalagi pada kasus diatas di mana E-Coklit bisa dilaksanakan lebih dulu sementara Coklit Manual di isi belakangan. Karena semestinya data formal adalah data hasil Coklit Manual, sedangkan data E-Coklit merupakan data pelengkap (complementary).
Coklit manual bisa diawasi oleh pengawas pemilu, sementara E-Coklit tidak bisa diawasi karena merupakan aplikasi yang ada di HP/Smartphone pribadi masing-masing Pantarlih. Akun E-Coklit juga hanya diberikan kepada masing-masing Pantarlih, tidak bisa diakses orang lain atau pengawas pemilu;
Potensi permasalahan tersebut, merupakan daftar panjang inventarisasi masalah yang bisa ditambahkan melengkapi kerawanan prosedur Coklit lain yakni: Pantarlih tidak mencoret pemilih yang TMS, Pantarlih (justru) mencoret pemilih yang MS, Pantarlih tidak bekerja dengan mendatangi dari rumah ke rumah pemilih, pantarlih tidak menindaklanjuti masukan,tanggapan, masyarakat atau pengawas pemilu, dan lain sebagainya.
Pidana Coklit
Dari semua titik rawan diatas yang sudah diuraikan oleh penulis akan sangat berdampak dan berpotensi pelanggaran administrasi pemilu yang berkaitan dengan tata cara ,mekanisme dan prosedur saat pantarlih dalam melaksanakan coklit.
Tidak hanya pelanggaran administrasi pemilu bahkan berpotensi penerapan ketentuan pidana dalam pasal 512 UU/7/2017 tentang pemilu berbunyi “ Setiap anggota KPU,KPU Provinsi,KPU Kabuapten/Kota PPK,PPS,dan/atau PPLN yang tidak menidalanjuti temuan Bawaslu,Bawaslu Provinsi,Bawaslu Kabupaten /Kota ,Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa dan atau Panwaslu LN dalam melakukan pemutahiran data Pemilih penyusunan dan pengumuman daftar pemilih sementara, perbaikan dan pengumuman daftara pemilih sementara hasil perbaikan, penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap, daftar pemilih tambahan ,daftar pemilih khusus, dan /atau rekapitulasi daftar pemilih tetap yang merugikan warga Negara Indinesia yang memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud dalam pasal 220 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000.00 (tiga puluh enam juta rupiah)”
Jika penerapan pasal diatas, bisa berakibat fatal jika kemudian temuan bawaslu yang semula hanya pelanggaran administrasi akan beruba menjadi pidana pemilu jika dari semua tingkatan bawaslu dibawahnnya merekomendasi saran perbaikan kemudian ,tidak ditindak lajuti oleh semua jajaran KPU.
Pada kontruksi pasal 489 UU 7 tahun 2017 “Setiap anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak mengumumkan dan /atau memperbaiki daftar pemilih sementara setalah mendapat masukan dari masyarakat dan/atau peserta pemilu sebagaimana dimaksud dalam pasal 206 pasal 207 dan pasal 213 ,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)bulan dan denda paling banyak Rp.6.000.000.00 (enam juta Rupiah)
Pasal 513 “Setiap anggota KPU Kabupaten /kota yang sengaja tidak memberikan salinan daftar pemilih tetap kepada partai politik peserta pmilu sebagai mana dimaksud dalam pasal 208 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000.00 (dua puluh empat juta rupiah)
Pasal 488 “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatau hal yang diperlukan untuk pengisian dagtar daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam pasal 203,dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000.00 (dua belas juta rupiah)
Pasal pidana diatas berpotensi akan di terapkan pada tahapan ini jika pengawas yang ikut serta mengawasi pantarlih melakukan coklit di lapangan seperti kehilangan orientasi tanpa data acuan.Saat ini pengawas pemilu melakukan pengawasan tidak mengetahui objek pengawasan yang dilakukan bagai peta buta metode yang dilakukan , mengawasi melekat dengan kepada pantarlih di tingkat bawah,hal ini juga menimbulkan persoalan baru karena tidak semua petugas patarlin nyaman dengan kondisi pengawasan melekat tersebut sebab merasa selalu kemana-mana diikuti oleh pengawas.
Pada bagian ini harus menjadi renungan bersama bagi penyelenggara pada tingkat atas untuk mengambil inisiatif kongkrit dalam penyelesaian tahapan coklit ini,sebab suksesnya sebuah pesta demokrasi tidak hanya KPU ataupun Bawaslu akan tetapi semua elemen bangsa untuk bahu membahu mewujudkan pesta demokrasi yang akan datang.
Sekali lagi tidak ada ego lembaga yang menganggap lebih (super power) atau lebih sempurna ,yang ada hanyalah semua anak bangsa bergotong royong untuk melanjutkan cita-cita luhur pendiri bangsa dengan selalu merawat dan memupuk demokrasi agar semakin menemukan elan vital demi kesejahteraan masyarakat.
***
*) Oleh: Nasarudin Sili Luli, Pegiat Kebangsaan dan kenegaraan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |