https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Transformasi Paradigma Kebijakan Ekonomi Indonesia

Selasa, 23 Juli 2024 - 09:32
Transformasi Paradigma Kebijakan Ekonomi Indonesia Muhammad Hafizh Renaldi, S.Sos., Magister Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga

TIMES JATIM, YOGYAKARTA – Terhitung sejak beberapa hari yang lalu, publik di pertontonkan pelantikan tiga wakil menteri di Kabinet Indonesia Maju yang juga sekaligus merupakan bagian dari Tim Transisi Pemerintahan baru. Transisi kekuasaan yang akan dijalani pemerintahan saat ini menuju pemerintahan yang akan datang dirasa perlu untuk mendudukkannya dalam konteks perubahan dan dinamika ekonomi politik global. Terutama dengan adanya krisis rezim perdagangan multilateral. 

Setidaknya kita bisa memunculkan pertanyaan dari peristiwa ini, apakah pergantian kepemimpinan di Indonesia dari Pak Jokowi ke Pak Prabowo ini mencerminkan perubahan atau mencerminkan keberlanjutan dalam kebijakan perdagangan Indonesia. Hal ini bisa kita lakukan analisis melalui beragam literatur yang ada dan pandangan sebagian besar pengamat hingga akademisi.

Indonesia saat ini setidaknya mempunyai tiga karakteristik kebijakan perdagangan luar negeri atau internasional. Karakter ambivalensi, pragmatisme dan nasionalisme (Patunru, 2023). Ketiga karakteristik ini akan terus berlanjut demikian namun juga tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan yang signifikan dari setidaknya karakteristik yang selama ini menjadi ciri khas dari kebijakan perdagangan internasional Indonesia. Dalam aspek kebijakan tersebut kita juga bisa melihat, seperti apa sebetulnya wujud kebijakan perdagangan di Indonesia dalam merespons dinamika ekonomi politik global.

Dominasi Karakter Ambivalensi dan Pertentangan Kepentingan

Karakter ambivalensi bukan hal yang baru atau bukan hal yang berbeda atau bukan hal yang hanya menjadi ciri khas Indonesia, karena sebagian besar pemerintahan di dunia juga menunjukkan karakter semacam ambivalensi atau kontradiksi. Kebijakan ini hadir, karena ia perlu untuk menjembatani bagaimana mencapai dua kepentingan yang berbeda yang kerap kali justru bertentangan satu sama lain. 

Pertama, karena adanya kebutuhan liberalisasi. Kedua di tengah kebutuhan liberalisasi tersebut tentu saja juga diperlukan strategi untuk melindungi produsen dalam negeri. Kedua hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dalam konteks perkembangan global, karena ia menjadi suatu kebutuhan untuk mendapatkan akses pasar. 

Maka dari itu, ketika adanya narasi "alergi terhadap liberalisasi", maka kita sebetulnya sedang berbicara dalam konteks yang sangat bergantung pada situasi atau produk yang sedang kita bicarakan. Hal ini dikarenakan ketika Indonesia melanggengkan anti-liberalisasi secara penuh, maka negara ini juga sedang mengorbankan kepentingan sebagian produsen dalam negeri yang membutuhkan akses pasar di luar negeri. 

Sehingga kemudian pemerintah di beberapa rezim kekuasaan tidak pernah lepas memikirkan bagaimana membangun strategi liberalisasi, karena di pandang menjadi suatu kebutuhan untuk membuka akses pasar global bagi produk-produk indonesia. 

Namun, untuk melanggengkan strategi liberalisasi tentu saja memiliki tantangan yang cukup berarti. Kita mengetahui bahwa indonesia bukan merupakan satu-satunya negara berkembang yang membutuhkan pasar global, banyak negara berkembang memiliki produk serupa yang di produksi Indonesia, sehingga kemudian mengakibatkan rivalitas sesama negara produsen. 

Di satu sisi kebijakan liberalisasi ini juga menghadapi tantangan terutama karena kebutuhan sebagian besar produsen atau sektor yang membutuhkan pasar. Tetapi, di sisi yang lain juga ada sektor-sektor domestik yang membutuhkan input produk untuk kebutuhan industrialisasi dalam negeri. 

Di tengah upaya untuk mengejar akses pasar, pemerintah kita juga menghadapi situasi di mana ketika kita sudah terlibat di dalam sebuah perdagangan internasional, sifatnya menjadi riskal. Pada saat kita meminta negara lain untuk menerima atau membuka akses pasarnya, mau tidak mau kita juga harus membuka akses pasar kita bagi produk-produk luar. Hal ini dikarenakan prinsip utama dalam perdagangan internasional adalah timbal balik. 

Dalam situasi ini, di tengah mengejar kebutuhan untuk mendapatkan akses pasar keluar, pemerintah kita juga punya kepentingan untuk melindungi produsen dalam negeri, terutama di dalam mekanisme yang disediakan pada berbagai macam perjanjian perdagangan internasional atau yang kerap kali kita sebut sebagai safe guards.

Dalam strategi proteksionis ini, pemerintah kita juga sebagian besar punya kepentingan untuk menjembatani bagaimana agar produsen di dalam negeri bisa punya daya saing di dalam pasar domestik. Ini terjadi sebagai konsekuensi logis dari dibukanya pasar kita dan termasuk juga ada kebutuhan untuk tetap membuka keran impor karena ada kaitannya dengan proses industrialisasi di dalam negeri yang juga membutuhkan input produk dan itu hanya bisa diperoleh dari impor dari tempat lain.

Hal ini yang kemudian menjadikan  ambivalensi dijadikan sebagai salah satu karakteristik yang paling kuat dalam kebijakan perdagangan internasional Indonesia. Karakteristik ambivalensi dapat menciptakan dua kebutuhan untuk liberalisasi dan juga perlindungan pasar domestik serta produsen domestik. 

Pragmatisme sebagai Respons Dinamika Geopolitik

Hadirnya pilihan karakter pragmatisme seakan menjadi sebuah jawaban dari dinamika geopolitik yang semakin dinamis. Berbagai macam perubahan melalui kajian-kajian yang telah ada menunjukkan tantangan geopolitik atau otonomi politik global yang terkini bisa dikatakan terbagi menjadi dua. 

Globalisasi dan deglobalisasi, setidaknya keduanya semakin mengukuhkan kompetisi di antara berbagai macam negara. Karakter ini dipilih untuk menghadapi tantangan dan juga dinamika ekonomi politik global, maka dari itu tidak mengherankan pemerintah kita juga menjalankan berbagai macam kebijakan yang sifatnya sangat pragmatis.

Di satu sisi menginginkan liberalisasi, tetapi juga ada kebutuhan-kebutuhan untuk tetap memproteksi pasar domestik. Di sisi yang lain kita sadar sepenuhnya bahwa ada banyak persoalan di tingkat global yang tidak bisa diselesaikan secara individual oleh negara apalagi negara seperti Indonesia. 

Namun pada saat yang bersamaan kita juga menghadapi situasi di mana kompetisi itu semakin kuat, kompetisi terhadap penguasaan sumber daya alam, kompetisi terhadap penguasaan teknologi, kompetisi terhadap berbagai macam aspek yang sekarang juga menjadi salah satu ciri di mana perkembangan ekonomi politik global kontemporer merespons ini semua.

Untuk itu, tidak mengherankan ketika kebijakan perdagangan internasional Indonesia juga dicirikan dengan sikap yang sangat pragmatis. 

Terkadang kita merasa perlu bekerja sama dengan negara lain, tetapi di sisi yang lain kita juga perlu mempertimbangkan aspek geopolitik. Maka dari itu, di titik ini kebijakan yang sangat pragmatis juga menjadi salah satu ciri khas yang kita temui dalam kebijakan perdagangan internasional Indonesia. 

Karakter Nasionalisme 

Karakteristik ini menunjukkan adanya kebijakan yang hebat terhadap proteksi. Kebijakan ini bisa diambil untuk memastikan adanya kepatuhan terhadap domestik market obligation. Hal ini dilakukan pemerintah agar memberikan kepastian jaminan pasokan energi dalam negeri, lalu kemudian pemerintah memperkuat pelarangan ekspor bahan mentah karena bahan mentah dianggap sebagai kebutuhan untuk pemenuhan industri domestik melalui hilirisasi maupun peningkatan penjelajahan. 

Kebijakan yang sifatnya resource nasional horizon atau kebijakan yang sangat nasionalistik juga ditunjukkan dengan adanya beberapa kebijakan sebagai persyaratan unsur lokal bagi produk-produk maupun investasi yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian, melengkapi karakteristik yang ambivalen dan juga karakteristik yang pragmatis, pemerintah indonesia juga dicirikan dengan kebijakan yang sangat resource nasionalis. 

Implikasinya berkaitan dengan bagaimana kiprah Indonesia di WTO maupun di beberapa inisiatif regional agreement. Dalam situasi yang dengan karakteristik yang dicirikan setidaknya tiga hal ambivalen, pragmatis dan juga nasionalis tadi, pemerintah kita juga sedang menghadapi situasi di mana dunia mengalami krisis di dalam sistem perdagangan multilateral.

Stagnansi Sistem Perdagangan Global 
Wujud dari stagnasi dalam sistem perdagangan global ini kemudian membuat banyak negara memunculkan inisiatif regional agreement maupun kemudian tuntutan untuk mereformasi rezim perdagangan Global di bawah WTO.  

Dalam WTO sendiri sebetulnya muncul berbagai macam wujud stagnansi. Pertama, tidak jalannya fungsi monitoring terhadap kebijakan perdagangan, padahal salah satu fungsi utama dari WTO adalah memastikan adanya transparansi dan juga informasi untuk menjamin kepastian perdagangan internasional dan terutama karena negara-negara di bawah WTO mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan dan informasi. 

Aspek kedua mengapa terjadinya stagnansi di WTO disebabkan WTO sebagai wadah negosiasi semakin mendapatkan rongrongan karena kegagalannya di dalam memastikan tercapainya kesepakatan-kesepakatan. Terbukti sejak WTO berdiri tahun 1995, hanya ada dua peraturan perjanjian perdagangan internasional yang berhasil disepakati dari sekian banyak inisiatif. 

Aspek terakhir adalah terkait dengan subsidi dan tata kelola yang masih berlangsung dan terus-menerus tarik menarik antar berbagai macam anggota dengan berbagai macam kepentingannya. Sehingga berbagai macam sengketa yang sekarang sedang berproses di WTO mengalami kesulitan karena tidak ada proses banding atau terhambatnya proses mekanisme banding. Bagi Indonesia, hal ini bisa menjadi keuntungan karena telah mengulur waktu selama panel untuk menyelesaikan mekanisme banding ini belum ada demi memperjuangkan kepentingan banding. 

Beberapa contoh telah dilakukan oleh Indonesia, terutama di dalam memanfaatkan mekanisme penyelesaian sengketa, mulai dari kita sebagai penggugat maupun kita yang digugat gitu. Kita telah melakukan gugatan ke beberapa negara terutama terkait dengan aspek-aspek adverse di dalam perdagangan internasional tetapi juga pada saat yang bersamaan kita juga menjadi subjek dari gugatan negara lain. 

Mulai dari kita dituduh melakukan dumping, kita dituduh melakukan diskriminasi terhadap beberapa produk asing dan seterusnya. Bahkan termasuk kebijakan-kebijakan yang bersifat nasionalistik dapat menjadi salah satu sumber sengketa.

Dalam situasi semacam itu kita juga melihat bahwa krisis yang terjadi di dalam WTO itu sebetulnya berasal dari WTO sendiri yang sedang mengalami adaptasi kristik. Hal ini terjadi karena desain WTO sendiri yang dulu dibicarakan sejak tahun 80-an dan lalu kemudian diresmikan dan  berlaku mulai tahun 1990-an pertengahan dianggap tidak lagi kompatibel dengan perkembangan yang ada. Jika dulu negara-negara berkembang lebih banyak mengikuti arus gitu dan tidak punya kemampuan yang cukup besar. 

Namun belakangan, dengan kemunculan emerging markets, kemunculan Cina, India, Brazil dan seterusnya itu semakin memperkuat bargaining position mereka di dalam negosiasi di WTO. Hal ini kemudian menjadikannya sebagai salah satu penyebab mengapa sulitnya mencapai kesepakatan. 

Hal yang lain juga bisa dilihat dari perubahan relasi kuasa di dalam konstelasi politik di WTO dan yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai sebuah organisasi yang tujuan utamanya adalah untuk mengurangi hambatan-hambatan perdagangan, belakangan ini mulai kesulitan karena ada dinamika dan juga isu yang tidak lagi bisa diselesaikan dengan mekanisme yang lama. 

Misalnya isu yang terkait dengan keamanan pangan, keamanan energi transformasi digital membuat WTO kehilangan makna karena target-target WTO untuk meliberalisasi tadi seringkali tidak kompatibel dengan kebutuhan banyak negara untuk kemudian menerima atau mencapai tujuan-tujuan keamanan pangan, keamanan energi dan seterusnya.

Dalam situasi semacam itu banyak negara yang kemudian mulai memikirkan WTO sepertinya akan sulit yang berdampak pada keterlibatan beberapa negara melahirkan berbagai macam regional treat agreement. Kita bisa lihat bahwa data menunjukkan sejak terbentuknya WTO di tahun 1995 ada percepatan atau akselerasi dari jumlah RTA yang muncul. RTA itu sebetulnya istilah yang lebih umum untuk mencakup semua inisiatif perjanjian perdagangan baik bilateral maupun yang regional. 

Mengapa ini kemudian menjadi menarik dan Indonesia termasuk negara yang cukup aktif di dalamnya karena dianggap lebih memberikan jaminan dan mekanisme yang jauh lebih mengakomodasi kepentingan banyak negara, sebab seperti yang telah saya tulisan diatas bahwa di bawah rezim perdagangan multilateral WTO mekanismenya akan sangat kompleks dengan berbagai macam negara dan sulit sekali untuk mencapai kesepakatan sedangkan di bawah RTA itu jauh lebih bisa dikelola. Maka dari itu, ada istilah akselerasi atau semakin banyaknya inisiatif. 

Catatan Akhir Penulis

Berkaca selama 10 tahun terakhir, Indonesia merupakan negara yang cukup aktif dalam hal inisiatif RTA baik yang bersifat bilateral maupun regional, baik itu bersama ASEAN ataupun secara individual. Terlihat bahwa Indonesia punya cukup banyak inisiatif sampai dengan sekarang dan berada di nomor dua dibawah Singapura. 

Dalam hal ini, setidaknya WTO sudah harus melakukan reformasi di tubuhnya sendiri yang dimulai dari prinsip, mekanisme dan bagaimana kemudian meletakkan prioritas isu dalam konteks perkembangan WTO yang terkini. Dengan situasi ekonomi politik global saat ini dan melihat arah transisi pemerintahan baru di bawah presiden Prabowo Subianto, rasanya karakteristik ambivalensi akan terlihat lebih dominan untuk di gunakan dalam kebijakan ekonomi Indonesia ke depan. 

Tentu ini merupakan analisa awal dari penulis dan mari kita melihat ke depan secara bersama-sama, ambivalensi dapat dilihat dari pertarungan kepentingan berbagai aktor domestik dan ada kepentingan aktor tersebut untuk menguasai pasar, namun juga tidak dapat kita lupakan perihal liberalisasi pasar dalam memunculkan ruang untuk kebijakan perdagangan Indonesia. 

Di sisi lain, karakter pragmatisme bisa jadi akan sulit dihindari juga karena ini merupakan konsekuensi logis dari perkembangan dunia yang penuh kontradiksi, adanya globalisasi, intervensi namun juga saling berkompetisi dan karenanya pemerintah Indonesia ke depan juga perlu untuk menunjukkan karakter yang pragmatis. Kemudian karakter nasionalistik menjadi salah satu karakter yang akan di tampilkan pemerintah dengan terlebih dahulu melihat kebutuhan nasional Indonesia. 

Dalam kondisi ini seluruh resource nasional yang dimiliki tentu akan membuka kesempatan kepada pelaku asing untuk kemudian melakukan investasi di jalur produksi domestik yang sedang dikembangkan pemerintah. Di titik inilah, karakter nasionalistik akan lebih banyak mendapatkan tantangan dan bisa diukur dari sejauh mana prioritas yang ingin dicapai oleh pemerintah baru ke depan. (*)

***

*) Oleh : Muhammad Hafizh Renaldi, S.Sos., Magister Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.