https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Perkuat Konsolidasi, 10 Renungan Akhir 2024

Selasa, 31 Desember 2024 - 18:43
Perkuat Konsolidasi, 10 Renungan Akhir 2024 KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

TIMES JATIM, JAKARTA – Dalam perjalanan panjangnya sebagai organisasi-satu abad lebih berdasarkan kalender Hijriyah dan menuju satu abad berdasarkan kalender Masehi-Nahdlatul Ulama (NU) telah melewati berbagai dinamika, baik internal, eksternal, maupun dalam hubungan organisasi ini dengan negara.

Ketika NU tumbuh membesar, ia harus bergulat tidak saja dalam menjaga keutuhan organisasi, tetapi juga dalam menempatkan diri secara layak sesuai dengan visi dan misi yang dirumuskan oleh para ulama pendirinya: untuk membangun peradaban mulia di dalam kehidupan bersama umat manusia.

Pergulatan ini niscaya menghadirkan tantangan yang kompleks, mulai dari menjaga integritas struktur hingga memastikan visi keagamaan dan kebangsaan tetap sejalan di tengah arus perubahan yang kerap menguji ketangguhan organisasi. Dan semua pergulatan internal dan eksternal itulah yang telah menempa NU dan membentuk sosoknya hari ini.

Ada beban sejarah di kedua bahu kita, ada bayang-bayang kharisma para pendahulu, dan tidak sedikit pula warisan masalah yang menumpuk dari waktu ke waktu karena tak sempat teratasi pada periode-periode sebelumnya. Sementara di depan sana terbentang berbagai tantangan baru yang sangat kompleks. Dalam situasi ini, muncul pertanyaan mendesak: Apa langkah yang harus kita ambil sekarang?

Tantangan-tantangan ini memerlukan semua energi-baik fisik, intelektual, maupun spiritual-untuk menghadapinya. Beberapa tahun lalu, atau bahkan beberapa bulan lalu, kita mungkin tidak membayangkan akan menghadapi hal-hal yang harus kita hadapi hari ini. 

Kita tahu bahwa NU, sebagai organisasi massa keagamaan terbesar dan dengan pengaruh yang luas, akan selalu berjalan beriringan dengan segala macam ekspektasi yang berbeda dari berbagai kalangan tentang peran dan arah geraknya. Ada yang berharap NU menjadi lebih progresif, sementara yang lain ingin agar organisasi ini tetap konservatif sebagai penjaga gerbang moral.

Kritik-kritik ini, meski kadang terdengar keras, kita terima dengan sikap terbuka dan kerendahan hati yang telah dicontohkan oleh para ulama pendahulu. NU tidak menutup diri dari masukan, yang memang akan selalu kita perlukan sebagai bahan pertimbangan untuk memastikan bahwa setiap langkah organisasi tetap dalam koridor maslahat umat dan tetap menghormati warisan besar para pendirinya.

Pertama, konsolidasi fondasi untuk transformasi. Sejak awal masa kepengurusan ini, pasca-Muktamar Lampung, Desember 2021, fokus utama PBNU adalah konsolidasi. Tema ini, yang muncul setelah refleksi tentang sejarah panjang NU dan tahun-tahun tersulit dalam perjalanannya, menjadi inti dari seluruh inisiatif yang dilakukan dan akan terus menjadi prioritas hingga muktamar berikutnya. Konsolidasi merupakan langkah mendasar untuk meningkatkan kapasitas NU dalam merespons tantangan.

NU adalah organisasi besar yang mengusung panji kebenaran (al-haqq). Namun, tanpa konsolidasi dan pengaturan yang baik (tandhim), NU akan sulit mengatasi tantangan yang dihadapinya. Maka, sebelum memikirkan gagasan besar atau program inovatif lainnya, saya pikir langkah pertama yang harus dilakukan adalah konsolidasi.

Kedua, konsolidasi ini bertumpu pada dua elemen utama: koherensi dan kinerja.
Kita memerlukan organisasi yang koheren, sehingga seluruh elemen dalam organisasi NU bisa bekerja secara harmonis seperti halnya tubuh yang sehat, yang setiap organnya bergerak secara terkoordinasi. 

Ketika kita melangkah, kaki kiri dan kanan, tangan kanan dan kiri, semuanya bergerak selaras. Tidak mungkin kita menempuh perjalanan, dan tiba di tempat yang kita tuju, dengan satu kaki melangkah ke barat sementara kaki lainnya ke selatan. Jika PBNU bergerak ke utara, sementara Majelis Wakil Cabang (MWC) berlari ke timur, organisasi ini tidak akan pernah mencapai tujuannya. 

Begitu pula, jika Suriah ke barat dan Tanfidziyah ke selatan, NU hanya akan menjadi organisasi yang stagnan. Koherensi adalah prasyarat yang harus dipenuhi agar NU memiliki orientasi yang jelas, mampu melangkah selaras, dan tiba di tempat tujuan bersama.

Aspek berikutnya adalah kinerja. Kinerja yang optimal memastikan NU mampu merespons tantangan secara efisien. Persoalan akan selalu ada. Tanpa kinerja yang baik, NU akan tertinggal dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terus muncul. Kinerja bukan melulu tentang keberhasilan mencapai target; ia juga berurusan dengan cara kita menjalankan peran masing-masing secara tepat.

Ketiga, pelajaran dari para pendahulu. Konsolidasi mungkin topik yang tidak populer di kalangan NU, dan mungkin bahkan tidak ada dalam pemikiran kebanyakan aktivis organisasi ini. Selama bertahun-tahun, di bawah kharisma figur-figurnya, NU seolah-olah tidak membutuhkan konsolidasi yang ketat. 

Selama kepemimpinan Gus Dur, misalnya, tidak banyak ia mengatur cabang atau wilayah secara formal. Ini terjadi karena Gus Dur adalah sosok luar biasa dengan kemampuan kepemimpinan yang unik. Kita melihatnya leluasa bergerak zig-zag, melompat ke kiri dan ke kanan, dan tidak segan menempuh langkah yang oleh banyak orang dianggap kontroversial. Namun, dalam gayanya yang eksepsional itu, Gus Dur berhasil menghantam kebekuan sambil memastikan bahwa arah kepemimpinannya tidak pernah melenceng dari tujuan.

Di bawah Gus Dur, NU tetap mampu bergerak secara terarah meski tidak bergantung kepada struktur formal. Hal serupa juga terlihat pada masa kepemimpinan Kiai Bisri Syansuri, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan terutama Kiai Hasyim Asy’ari.

Namun, kita harus realistis. Para pemimpin pendahulu NU itu adalah pribadi-pribadi istimewa yang tidak mudah ditemukan lagi kualitasnya pada hari ini. Mereka berharga untuk dikenang, tetapi hampir mustahil mengandalkan lahirnya figur-figur seperti mereka dalam waktu dekat. Ketika Gus Dur wafat, saya mengatakan kepada wartawan bahwa mungkin diperlukan waktu 100 tahun lagi sebelum NU bisa melahirkan pemimpin dengan kualitas itu.

Penting bagi kita, terutama bagi saya pribadi, untuk menyadari fakta ini. Dalam ketiadaan figur luar biasa, yang diperlukan oleh NU adalah membangun kekuatan melalui struktur yang solid, kerja kolektif yang terarah, dan kemampuan tim untuk menghasilkan kinerja yang unggul. Dengan demikian, NU menjadi tangguh sebagai organisasi dan mampu menghadapi tantangan masa depan dengan penuh keyakinan.

Keempat, menerjemahkan kepemimpinan Gus Dur ke dalam struktur organisasi. Kepemimpinan Gus Dur adalah warisan istimewa, tidak hanya bagi NU tetapi juga bagi seluruh warga negara Indonesia. Gus Dur memiliki kemampuan luar biasa untuk memimpin, menginspirasi, dan menciptakan transformasi pola pikir dan tindakan masyarakat NU. Gus Dur, sebagai individu, mampu mendorong terjadinya perubahan besar.

Dalam masa kepemimpinannya, ia berhasil mentransformasi pola pikir satu generasi penuh. Saya dan generasi seangkatan saya di NU yang tumbuh di era Gus Dur merasakan perubahan itu secara langsung. Gus Dur menginspirasi kami untuk berpikir lebih luas, melangkah lebih jauh, dan bercita-cita lebih tinggi. Generasi saya, yang dibentuk oleh pengaruhnya, hidup dalam bayang-bayang teladan itu.

Namun, fakta bahwa kepemimpinan istimewa seperti Gus Dur sulit ditemukan lagi memaksa kita mencari pendekatan baru. Gus Dur telah membawa kita melakukan lompatan besar, dan kita tidak mungkin menyia-nyiakan hasil kerja kerasnya untuk menjadikan NU mundur lagi. Kita memerlukan hasil yang sebanding dengan transformasi yang sudah dicapai oleh Gus Dur.

Maka, ketika tak ada lagi seorang pemimpin yang mampu mengangkat beban seorang diri, langkah paling masuk akal adalah kita mengangkatnya bersama-sama. Seluruh struktur organisasi harus memikul tanggung jawab secara kolektif, sebab kita tidak lagi memiliki satu figur sentral seperti Gus Dur, yang kepadanya kita bisa merasa tenteram menyerahkan semua urusan. Inilah alasan utama bagi konsolidasi organisasi.

Kelima, Dan keberhasilan konsolidasi memerlukan disiplin. Tidak hanya disiplin dalam mengelola pekerjaan besar, tetapi juga dalam menghormati hal-hal kecil yang mencerminkan integritas organisasi. Dan sebetulnya justru dalam hal-hal kecil inilah kita membangun kedisiplinan kita. 

Saya memulainya dari hal yang tampak paling sepele, misalnya dalam setiap majelis organisasi, saya selalu menyebut Rais Suriah dari semua tingkatan kepengurusan dengan sebutan “yang Mulia” bukan sekadar penghormatan formal, tetapi sebagai pengakuan terhadap kedudukan Suriah sebagai inti dari NU.

Pada hakikatnya, Suriah-lah yang menjadi pilar penyangga organisasi kita. Mereka adalah pengemban wilayatuddin-wibawa dan tanggung jawab keagamaan yang luhur. Tanfidziyah hanyalah pelaksana tugas, bukan pemegang otoritas tertinggi. Ketua Umum Tanfidziyah adalah pelaksana amanah, bukan pemimpin NU secara keseluruhan. Pemimpin sejati NU adalah Suriah, dan pada tingkat PBNU, itu berarti Rais ‘Aam.

Dengan memahami dan menghormati struktur ini, saya percaya kita dapat menjaga keutuhan dan keluhuran NU. Disiplin dalam organisasi bukan semata-mata berkaitan dengan aturan; disiplin di tingkat kesadaran ini juga mencerminkan kekuatan kehendak kita untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar NU sebagai jam’iyah.

Keenam, tiga matra konsolidasi. Tata Kelola, Sumber Daya, dan Agenda
Upaya konsolidasi dalam organisasi sebesar NU hanya akan menjadi wacana tanpa implementasi jika kita tidak mampu menegakkan disiplin. Tanpa disiplin, koordinasi akan mudah terganggu oleh kebiasaan bekerja yang sembarangan, keputusan yang tidak berdasarkan aturan, atau inisiatif-inisiatif yang melenceng dari kebijakan organisasi. 

Disiplin menjaga kita tetap dalam keteraturan dan berfokus pada hal-hal yang menjadi prioritas. Ia juga menciptakan kejelasan tanggung jawab, akuntabilitas, dan membangun kepercayaan, sebab orang menjadi tahu bahwa tindakan mereka akan dievaluasi secara adil dan konsisten.

Dalam organisasi besar seperti NU, sumber daya harus digunakan dengan bijaksana. Disiplin menghindarkan organisasi dari pemborosan waktu, tenaga, dan dana akibat kurangnya koordinasi atau kerja yang tumpang tindih. Karena itu, menjadikan diri disiplin dalam situasi hari ini adalah bentuk kecintaan kita terhadap NU. Di luar soal kepatuhan terhadap aturan, disiplin juga mencerminkan komitmen terhadap tanggung jawab bersama untuk membangun organisasi yang lebih kuat dan efektif.

Saya menekankan soal disiplin karena konsolidasi adalah pekerjaan besar. Pendekatan konsolidasi ini kita rumuskan dalam tiga matra utama: Konsolidasi tata kelola, konsolidasi sumber daya, dan konsolidasi agenda.

Ketujuh, konsolidasi tata kelola. Konsolidasi tata kelola bertujuan untuk memastikan bahwa organisasi NU dikelola secara sistematis, tertib, dan berbasis pada prinsip yang jelas. Dengan tata kelola yang baik, kita mengatur kelancaran organisasi, menciptakan mekanisme yang transparan dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan program, dan pengelolaan konflik dan sanksi. Semua keputusan organisasi harus mematuhi aturan yang berlaku, sesuai dengan AD/ART NU, dan dilakukan melalui prosedur yang rinci.

Dalam konteks membangun tata kelola yang akuntabel dan transparan inilah kita harus memberhentikan Ketua PWNU Riau karena yang bersangkutan mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Ini bertentangan dengan aturan NU yang melarang mandataris ikut dalam kompetisi politik. 

Aturannya sederhana: jika ingin maju dalam politik, pengurus harus mundur dari jabatan. Jika tidak, ia harus diberhentikan. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan transparansi dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, kita memperlihatkan bukti konkret bahwa aturan bukan sekadar formalitas, melainkan panduan untuk menegakkan disiplin organisasi.

Konsolidasi tata kelola ini penting, atau bahkan mendesak, sebab NU sering menjadi alat yang rentan disalahgunakan. Organisasi sebesar NU, dengan pengaruhnya yang luas, kerap dimanfaatkan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Hari pertama saya mengemban amanah sebagai ketua umum Tanfidziyah, saya menemukan lebih dari 40 perusahaan yang menggunakan nama NU tanpa izin atau pengawasan dari organisasi. Sungguh mengejutkan ada sebuah PT yang memakai nama “Layanan NU”, terdaftar dengan alamat di Kantor PBNU di Jalan Kramat Raya 164, tetapi organisasi tidak tahu-menahu siapa yang mendirikannya.

Kasus Rumah Sedekah NU di Malang adalah contoh lainnya. Inisiatif tersebut awalnya digagas oleh Lazisnu Jawa Timur untuk mendukung misi kemanusiaan, tetapi kemudian beralih menjadi yayasan yang dikuasai individu tertentu, dan kehilangan hubungan dengan NU secara struktural. 

Penyalahgunaan semacam ini meluas ke berbagai sektor strategis, termasuk perguruan tinggi, rumah sakit, hingga yayasan-yayasan besar yang seharusnya menjadi aset NU. Banyak dari lembaga tersebut kini dikuasai oleh individu, tanpa NU memiliki akses untuk mengawasi atau mengelolanya.

Ada banyak tuntutan dari cabang, wilayah, dan lembaga-lembaga di bawah NU untuk mereklamasi, untuk mengambil kembali, aset-aset yang dulu dibuat demi kepentingan NU tetapi kini berubah menjadi milik pribadi. Lembaga-lembaga strategis seperti perguruan tinggi dan rumah sakit seharusnya menjadi alat organisasi untuk memperluas maslahat NU bagi umat, bukan alat kepentingan individu.

Maka, jika kita melakukan upaya penarikan kembali, prinsip dasarnya jelas: apa pun yang dimulai atas nama NU harus tetap menjadi bagian dari NU. Tidak boleh ada pihak yang memanfaatkan organisasi untuk kepentingan pribadi. Di atas prinsip itulah kita melakukan pembenahan tata kelola, yang kita perlukan untuk menata ulang aset dan keberadaan lembaga-lembaga strategis NU. Dan ini menjadi pekerjaan besar bagi PBNU. 

Prosesnya memerlukan negosiasi yang tegas dan keberanian untuk menegakkan prinsip, dan kita melakukannya sebagai bagian dari komitmen untuk menjaga integritas NU, untuk memastikan bahwa semua yang dilakukan atas nama organisasi kembali bermanfaat bagi umat.

NU adalah organisasi massa keagamaan dengan jumlah anggota terbesar. Dengan menerapkan prinsip disiplin dan transparansi dalam tata kelola, kita bisa berharap bahwa organisasi kita akan mampu mentransformasikan kebesaran jumlah anggotanya menjadi kekuatan yang terorganisir, efektif, dan berdampak nyata bagi masyarakat. Ini jalan bagi NU untuk tetap menjadi suluh yang menerangi umat di tengah tantangan zaman.

Kedelapan, konsolidasi sumber daya. Matra kedua dalam konsolidasi NU adalah konsolidasi sumber daya, yang mencakup dua aspek utama, ialah sumber daya manusia dan sumber daya pembiayaan.

Jutaan jumlah anggota, bagaimanapun, adalah kekuatan faktual yang dimiliki oleh NU, tetapi kekuatan ini memerlukan pengelolaan yang sistematis. Setiap kader NU sudah selayaknya memahami visi, misi, serta tugas dan tanggung jawabnya.

Jabatan dalam NU bukan sekadar gelar, bukan tanda pangkat, melainkan amanah yang di dalamnya melekat tanggung jawab. Untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya, Dalam dua tahun terakhir ini, kita telah melaksanakan ratusan kali PDPKPNU (Pendidikan Dasar Pelatihan Kader Penggerak NU) di seluruh Indonesia dan meluluskan lebih dari 70.000 kader. PMKNU (Pendidikan Kepemimpinan Menengah NU) menyusul kita gencarkan. 

Hingga saat ini tercatat telah terlaksana 48 kali PMKNU dengan jumlah lulusan lebih dari 2.500 kader pimpinan. Kegiatan ini bertujuan agar setiap pengurus tidak berhenti semata-mata pada urusan menjalankan tugas-tugas administratif. Mereka bekerja dengan kesadaran yang tulus bahwa setiap langkah mereka adalah ikhtiar untuk mendukung visi besar NU sebagai organisasi keagamaan yang melayani umat.

Sumber daya berikutnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah pembiayaan. Selama bertahun-tahun, NU sering bergantung kepada donasi atau "jualan proposal" untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Pendekatan ini tidak menjamin kestabilan, menjadikan langkah kita tersendat-sendat, dan membuat organisasi rentan terhadap pengaruh eksternal.

Melalui upaya konsolidasi yang kini berjalan, PBNU berhasil mencapai kemajuan yang layak disyukuri dalam urusan pembiayaan. Operasional kantor PBNU-termasuk listrik, air, gaji karyawan, dan kebutuhan harian lainnya yang memerlukan anggaran tidak sedikit setiap bulannya-kini dapat dibiayai sepenuhnya oleh usaha-usaha lembaga di bawah PBNU.

Keberhasilan ini merupakan langkah besar menuju kemandirian. Dengan kemandirian finansial, NU dapat menjalankan visinya tanpa terpengaruh oleh kepentingan pihak-pihak tertentu. Sebagaimana pentingnya kedaulatan pangan bagi negara, kemandirian pembiayaan ini penting untuk memastikan NU tetap bebas dalam menentukan arah perjuangannya.

Kesembilan, konsolidasi agenda. Konsolidasi agenda, yang merupakan matra ketiga, adalah ikhtiar untuk memastikan bahwa semua kegiatan yang dilakukan oleh unit organisasi NU-dari tingkat ranting, Majelis Wakil Cabang, Cabang, Wilayah, hingga PBNU-memiliki arah yang selaras. 

Kita memerlukan konsolidasi agenda agar seluruh unit organisasi NU bekerja dalam harmoni, saling terhubung, dan terkoordinasi-untuk mewujudkan tujuan bersama, dan dengan pemahaman yang sama tentang prioritas dan visi besar NU.

Setiap bagian harus memahami apa yang dikerjakan oleh bagian lainnya. Jika Muslimat NU meluncurkan program tertentu, maka Ansor dan IPPNU perlu mengetahuinya. Demikian pula, jika sebuah kegiatan dilakukan oleh satu pengurus cabang, pengurus cabang lainnya harus memahami dan menyesuaikan agendanya.

Inilah esensi dari konsolidasi agenda: menjadikan NU satu badan yang bergerak selaras. Untuk mendukung keselarasan, saat ini NU telah memiliki Rencana Strategis Nasional yang disahkan dalam rapat pleno PBNU pada akhir Juni lalu. Dokumen ini menjadi panduan utama seluruh kegiatan organisasi NU, seperti layaknya rencana strategis nasional pemerintah untuk pembangunan.

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) berfungsi sebagai badan perencanaan strategis NU, yang bertugas mengumpulkan data, menganalisis kebutuhan, dan menyusun rekomendasi kebijakan. Setiap pengurus wilayah berkoordinasi dengan lembaga ini untuk menerjemahkan agenda-agenda nasional ke tingkat lokal.

Konsolidasi agenda telah menunjukkan dampak positif di berbagai tingkatan organisasi, terutama melalui forum-forum permusyawaratan dan pelatihan kader. Saat ini, pelatihan kader berjalan lebih masif, dan hampir separuh dari frekuensi pelaksanaan pelatihan telah terpenuhi. Dampaknya mulai dirasakan di daerah-daerah, baik dalam peningkatan kapasitas maupun semangat kader.

Salah satu dampak positifnya bisa kita lihat pada peningkatan martabat jabatan di tubuh NU. Menjadi Ketua PCNU kini membutuhkan standar kompetensi yang lebih tinggi, dan ini berbeda dari masa lalu yang lebih longgar. Sebelumnya, siapa pun bisa mencalonkan diri sebagai pengurus tanpa syarat yang jelas.

Dengan standar ini, posisi Ketua PWNU atau PCNU kini lebih bermartabat, dan kader yang mengisinya memiliki pemahaman lebih mendalam tentang idealisme organisasi. Ini membuat mereka tidak mudah dipengaruhi oleh kepentingan remeh yang bertentangan dengan visi besar NU.

Kesepuluh, konsekuensi konsolidasi. Harus diakui bahwa konsolidasi ini bukan tanpa konsekuensi. Salah satu konsekuensi langsungnya adalah menjadi sangat sulit bagi siapa pun untuk bertindak sembarangan atas nama NU. Jika dulu nama NU mudah dimanfaatkan untuk mendukung inisiatif-inisiatif pribadi atau kelompok tertentu, sekarang hal itu nyaris tidak mungkin.

PBNU membatasi? Benar. PBNU membuat aturan main bahwa setiap tindakan atas nama NU harus mengikuti aturan dan prosedur yang telah ditetapkan—demi menjaga integritas dan martabat organisasi.

Kita sepenuhnya memahami bahwa langkah menuju perbaikan niscaya memunculkan keluhan-keluhan. Begitu pula dengan konsolidasi yang kita lakukan. Keluhan dan penolakan muncul, dan munculnya dari arah yang mudah ditebak: Ia datang pihak-pihak yang sebelumnya bebas bertindak atas nama NU. 

Sistem yang lebih tertib membuat ruang gerak mereka terbatas, dan mereka mengeluhkan ketertiban. Beberapa mencoba mengemas keluhan dengan label Musyawarah Luar Biasa (MLB), untuk memberi kesan genting pada keluhan mereka.

Kita hanya perlu menyikapi keluhan-keluhan itu dengan kepala dingin bahwa tiap-tiap orang memerlukan waktu yang berbeda-beda, dan mereka mungkin memerlukan waktu yang lebih panjang untuk memahami pentingnya tertib organisasi. Dan mereka tetap warga NU, bagian dari kita. Keluhan mereka bisa kita maknai secara positif sebagai tanda keberhasilan konsolidasi yang membuat praktik lama tidak mungkin lagi dilakukan.

Mereka punya agenda, dan PBNU punya agenda. Jika agenda konsolidasi ini dapat kita selesaikan dengan baik, NU akan memiliki sistem organisasi yang solid dan berkelanjutan. Para pemimpin masa depan NU akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat, matang, dan mampu menjalankan tanggung jawab dengan baik, karena mereka didukung oleh struktur yang kokoh dan sistem yang mendukung kerja mereka. 

Dan NU akan berkembang sebagai kekuatan besar yang bisa dibanggakan oleh semua warganya, sebuah jam’iyah yang tidak hanya besar dalam jumlah tetapi juga unggul dalam mengelola dirinya, tidak mudah dicederai oleh pihak-pihak mana pun, dan mampu menjadikan kehadirannya berkah bagi umat manusia.

***

*) Oleh : KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.