https://jatim.times.co.id/
Opini

Maqasid, Maslow dan Mimpi Anak Sekolah

Jumat, 21 November 2025 - 22:33
Maqasid, Maslow dan Mimpi Anak Sekolah Moh Nur Fauzi, Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu, Universitas KH. Mukhtar Syafaat Banyuwangi, Editor in Chief Jurnal Darussalam dan Penulis Opini-Esai.

TIMES JATIM, BANYUWANGI – Program makan siang gratis kembali menjadi sorotan publik. Ide yang tampak sederhana-memberi makan anak sekolah agar mereka tidak belajar dalam keadaan lapar-ternyata mengandung dimensi sosial, ekonomi, dan moral yang jauh lebih kompleks. Ia bukan sekadar urusan dapur dan logistik, melainkan potret bagaimana negara menafsirkan keadilan, kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial. 

Untuk memahami kedalaman maknanya, program ini menarik jika dibaca melalui tiga lensa: teori kebutuhan Abraham Maslow, prinsip maqasid al-syariah dalam Islam, dan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) PBB.

Dari sisi Maslow, pangan adalah kebutuhan paling dasar. Tanpa terpenuhinya kebutuhan fisiologis ini, manusia sulit memenuhi kebutuhan berikutnya misalnya rasa aman, kasih sayang, penghargaan, hingga aktualisasi diri. Artinya, memberi makan bukan hanya tindakan karitatif, tetapi fondasi pembangunan manusia. 

Anak yang lapar tak bisa fokus belajar, sementara anak yang kenyang lebih siap berpikir, bermimpi, dan berprestasi. Di negara yang masih bergulat dengan masalah stunting-sekitar 21 persen menurut BPS (2024) -program ini punya makna strategis untuk masa depan bangsa.

Namun dalam pandangan maqasid al-syariah, pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan tidak semata urusan jasmani, melainkan juga spiritual. Lima tujuan utama syariat menjaga agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal) menjadi fondasi moral bagi setiap kebijakan publik. 

Makan siang gratis jelas menguatkan dua maqasid sekaligus: menjaga jiwa (al-nafs) melalui asupan gizi yang cukup, dan menjaga akal (al-‘aql) karena anak-anak yang sehat mampu belajar lebih optimal. 

Dengan demikian, kebijakan ini bukan hanya “benar secara ekonomi”, tetapi juga “berkah secara moral”. Ia memenuhi maslahah ‘ammah kemaslahatan publik yang menjadi tujuan utama hukum Islam.

Kaitannya dengan Sustainable Development Goals (SDGs) pun sangat jelas. Setidaknya empat dari 17 tujuan SDGs secara langsung bersentuhan dengan ide makan siang gratis. 

Pertama, SDG 2: Zero Hunger mengakhiri kelaparan dan memastikan semua orang, termasuk anak-anak, memiliki akses terhadap pangan bergizi. 

Kedua, SDG 3: Good Health and Well-being, karena gizi baik di usia dini berpengaruh langsung terhadap kesehatan jangka panjang. 

Ketiga, SDG 4: Quality Education, sebab anak yang kenyang akan lebih fokus belajar dan memiliki prestasi akademik yang lebih baik. 

Keempat, SDG 10: Reduced Inequalities, karena program ini bisa menjadi instrumen pemerataan sosial antarwilayah dan antarkelas ekonomi.

Artinya, makan siang gratis bukan sekadar kebijakan nasional, tetapi juga bagian dari komitmen global Indonesia terhadap pembangunan berkelanjutan. Ini sejalan dengan semangat maqasid al-syariah yang juga menekankan keberlanjutan (istidamah al-maslahah) yakni kemaslahatan yang terus hidup dan berkelanjutan lintas generasi.

Meski begitu, pro dan kontra tetap tak terhindarkan. Pihak yang mendukung menilai program ini sebagai bentuk nyata kehadiran negara di meja makan rakyatnya. Dalam pandangan ini, kebijakan tersebut bukan charity melainkan investment. Investasi pada anak-anak berarti investasi pada masa depan bangsa. 

Dampaknya bisa ganda: menekan angka stunting, memperkuat daya saing SDM, sekaligus membuka lapangan kerja baru di sektor pertanian, kuliner, dan distribusi pangan. Bila diatur dengan baik, efek ekonominya akan menetes ke bawah (trickle-down effect) dengan lebih nyata daripada proyek infrastruktur besar yang sering tak dirasakan langsung oleh rakyat kecil.

Sebaliknya, kelompok kontra menilai ide ini terlalu ambisius. Dengan estimasi biaya yang mencapai triliunan rupiah per tahun, program ini dikhawatirkan membebani APBN dan menggeser prioritas lain yang sama penting, seperti peningkatan kualitas guru, pengentasan kemiskinan ekstrem, atau penyediaan layanan kesehatan dasar. 

Selain itu, muncul kekhawatiran soal implementasi: apakah mekanisme distribusi di pelosok bisa berjalan efisien, apakah kualitas makanan terjamin, dan apakah tidak terjadi penyalahgunaan anggaran?

Pertanyaan-pertanyaan itu wajar. Sebab, moralitas kebijakan publik tak cukup diukur dari niat baik, tetapi dari tata kelola dan transparansi. Dalam bahasa maqasid, menurut Abdurrahman Wahid (2006), kebijakan harus mendatangkan maslahah (manfaat) dan menolak mafsadah (kerusakan). 

Program yang bagus di atas kertas bisa kehilangan nilai jika dijalankan tanpa integritas. Di sinilah pentingnya pengawasan publik, keterlibatan masyarakat lokal, dan peran sekolah dalam memastikan kualitas pelaksanaan.

Lebih jauh, jika ditilik dari sisi sosial-budaya, makan siang gratis punya makna simbolis yang kuat. Ia menunjukkan wajah negara yang ngemong mengasuh rakyatnya dengan kasih, bukan hanya memerintah dari jauh. 

Dalam budaya Jawa, ngemong berarti memimpin dengan empati, memperhatikan kebutuhan paling kecil warganya. Negara yang ngemong bukan negara paternalistik, tetapi negara yang punya moralitas: yang memahami bahwa perut kenyang adalah prasyarat akal sehat.

Di titik ini, konsep Maslow, maqasid, dan SDGs bertemu dalam satu kesimpulan: pembangunan manusia adalah pembangunan holistik. Ia tidak bisa hanya memuaskan perut tanpa menumbuhkan akal dan moral. 

Makan siang gratis akan gagal jika hanya dipahami sebagai proyek politik populis. Tetapi ia bisa menjadi instrumen besar perubahan sosial jika dijalankan dengan visi keberlanjutan, integritas, dan kasih.

Bahkan, kebijakan ini bisa diintegrasikan dengan gerakan green economy misalnya, dengan melibatkan petani lokal, mengurangi limbah plastik kemasan, dan menggunakan bahan pangan lokal yang ramah lingkungan. Langkah ini akan memperluas dampak SDGs, menjadikannya bukan hanya kebijakan sosial, tetapi juga kebijakan ekologis.

Makan siang gratis adalah ujian moral bagi sebuah negara, sejauh mana ia mau menanggung tanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya. Dalam kerangka maqasid syariah, ia menjadi wujud nyata dari hifz al-nafs dan hifz al-‘aql; dalam teori Maslow, ia menjadi pijakan menuju aktualisasi diri; dalam agenda SDGs, ia menjadi kontribusi global terhadap dunia yang bebas kelaparan dan lebih adil.

Negara yang beradab bukan hanya negara yang membangun jalan, tetapi juga yang memastikan setiap anak bisa berangkat sekolah dengan perut kenyang dan hati gembira. Karena dari sepiring nasi itulah peradaban dimulai dan di sanalah masa depan bangsa sedang ditanam.

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu, Universitas KH. Mukhtar Syafaat Banyuwangi, Editor in Chief Jurnal Darussalam dan Penulis Opini-Esai.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.