TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Dalam pusaran zaman yang serba cepat ini, manusia hidup dalam percepatan tanpa jeda. Teknologi menjanjikan efisiensi, media sosial memanjakan dengan kecepatan, dan segala sesuatu seolah dapat diraih tanpa proses panjang. Kampus pun tak luput dari arus besar itu.
Mahasiswa kini lebih akrab dengan layar gawai daripada halaman buku, lebih rajin menggulir layar ketimbang merenungi makna. Di tengah pusaran perubahan ini, akademisi dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menjaga kedalaman berpikir di era yang memuja kecepatan?
Seorang akademisi sejati, dalam sejarah peradaban, bukan hanya pengajar yang mengisi ruang kuliah dengan teori. Ia adalah penjaga nilai, penggerak perubahan, dan penafsir zaman. Dalam bahasa reflektif, akademisi sejati adalah the man of thinking, the man of change, dan the man of analysis.
Sebagai The Man Of Thinking, akademisi adalah sosok yang menyalakan bara kesadaran intelektual. Ia tidak sekadar mengajarkan konsep, tetapi menuntun akal untuk berpikir jernih, rasional, dan mendalam.
Dalam tradisi Islam, berpikir adalah bagian dari ibadah. Ibn ‘Arabi pernah menulis, “Berpikir adalah perjalanan hati dalam mencari cahaya makna.” Maka, ketika akademisi mengajak mahasiswanya berpikir, sejatinya ia sedang menyalakan lilin pengetahuan di tengah kegelapan kebodohan.
Sebagai The Man Of Change, akademisi memiliki tanggung jawab sosial untuk menjadi agen perubahan. Ia tidak cukup berhenti pada pemikiran, tetapi mesti hadir di tengah masyarakat dengan aksi nyata.
Kampus bukan menara gading, melainkan jembatan antara ilmu dan kehidupan. Di sinilah ambisi kebaikan menemukan ruangnya: ilmu harus menetes menjadi manfaat, pengetahuan harus menjelma menjadi keberpihakan pada kemanusiaan.
Dan sebagai The Man Of Analysis, akademisi harus membaca tanda-tanda zaman dengan jernih. Dunia modern penuh paradoks: di satu sisi membuka peluang tanpa batas, di sisi lain menjerumuskan pada kehampaan makna.
Akademisi yang tajam analisisnya tidak terjebak pada ilusi data, tetapi mampu menafsirkan realitas dengan kebijaksanaan. Ia melihat fakta dengan mata ilmu, namun menimbangnya dengan hati nurani.
Ambisi Kebaikan dalam Dunia Akademik
Ambisi dalam diri akademisi adalah sesuatu yang wajar, bahkan perlu. Tanpa ambisi, tidak ada pencapaian. Namun yang membedakan seorang akademisi sejati dari yang lain adalah arah ambisinya: apakah diarahkan pada kebaikan, atau hanya pada pencapaian diri.
Dalam tradisi Islam, ambisi yang diarahkan kepada kebaikan disebut sebagai ‘azm tekad yang lahir dari kejernihan niat. Al-Qur’an menegaskan, “Barang siapa yang bersungguh-sungguh (jahada), maka sesungguhnya kesungguhannya itu untuk dirinya sendiri.” (QS. Al-‘Ankabūt: 6). Artinya, perjuangan dan kerja keras dalam menuntut ilmu atau mengajar bukan sekadar mencari prestise duniawi, melainkan jalan penyucian diri menuju kemuliaan batin.
Di sinilah pentingnya membedakan antara ambisi keduniawian dan ambisi kebaikan. Ambisi keduniawian bersumber dari ego ingin dikenal, dipuji, dan diakui. Sementara ambisi kebaikan berakar pada kesadaran ruhani bahwa ilmu adalah amanah dan pelayanan terhadap kehidupan. Sosiolog Max Weber menyebut fenomena ini sebagai “etika panggilan” (Berufsethik).
Dalam pandangannya, profesi yang dijalani dengan kesadaran moral dan tanggung jawab sosial akan melahirkan etos pengabdian, bukan sekadar etos karier. Akademisi yang bekerja dengan etika panggilan sejatinya sedang menunaikan tugas historis: menjadikan ilmu sebagai alat pembebasan, bukan penindasan.
Dalam ranah keagamaan, Al-Ghazali mengingatkan bahwa ilmu tanpa niat yang lurus akan menjadi hijab bagi pemiliknya. Ia menulis dalam Ihya’ Ulumuddin: “Ilmu adalah cahaya; dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada hati yang gelap oleh ambisi dunia.”
Pesan ini relevan bagi dunia akademik modern, di mana banyak ilmuwan sibuk mengejar indeks sitasi atau jabatan, namun kehilangan semangat ikhlas yang menjadi fondasi moral keilmuan.
Sementara itu, dari perspektif sufistik, Jalaluddin Rumi mengajarkan bahwa ilmu sejati harus melahirkan cinta. Ia berkata: “Ilmu tanpa cinta hanyalah beban bagi jiwa; cinta tanpa ilmu hanyalah kesesatan.” Rumi mengingatkan bahwa keseimbangan antara pengetahuan dan kasih adalah kunci ambisi yang suci di sinilah letak “ambisi kebaikan” yang sejati.
Dari sisi sosiologi pengetahuan, Pierre Bourdieu menyoroti adanya “arena simbolik” dalam dunia akademik tempat para ilmuwan berkompetisi mendapatkan modal simbolik berupa pengakuan dan prestise. Jika arena itu tidak dituntun oleh nilai moral dan spiritual, ilmu akan tereduksi menjadi komoditas.
Oleh karena itu, penting bagi akademisi menanamkan kesadaran sufistik: bahwa setiap karya dan penelitian adalah ibadah ilmiah yang menghidupkan jiwa masyarakat, bukan sekadar menghidupi diri sendiri.
Ambisi kebaikan dalam dunia akademik, dengan demikian, bukan sekadar semangat mencapai puncak karier, melainkan semangat menyucikan niat. Ia adalah upaya terus-menerus untuk menjaga agar ilmu tetap menjadi cahaya, bukan bayangan. Seperti dikatakan Ibn ‘Arabi, “Ilmu yang tidak mengantarkanmu kepada Sang Pemilik Ilmu hanyalah kesibukan tanpa arah.”
Maka, akademisi sejati adalah mereka yang berjuang dengan niat lillāh, berpikir dengan jernih, dan bekerja dengan cinta. Mereka menyadari bahwa setiap kata yang diajarkan, setiap riset yang ditulis, adalah bentuk zikir intelektual mengingat Tuhan melalui kerja ilmiah yang jujur dan berfaedah bagi sesama. Inilah ambisi kebaikan yang menjadi fondasi spiritual dunia akademik: ambisi yang tidak membakar jiwa, tapi meneranginya.
Namun, dunia akademik hari ini menghadapi ancaman serius: pudarnya tradisi literasi. Mahasiswa semakin jauh dari buku, semakin dekat dengan layar. Mereka lebih sering menyalin daripada menulis, lebih banyak mengutip tanpa membaca tuntas. Gadget yang semula alat bantu belajar, kini menjadi racun halus yang merenggut perhatian, mematikan daya renung, dan mengikis kepekaan intelektual.
Akademisi harus hadir sebagai penjaga tradisi membaca dan menulis. Ia harus menciptakan ekosistem literasi yang hidup bukan hanya dengan mewajibkan tugas, tetapi dengan memberi keteladanan. Ketika dosen membaca dengan tekun, mahasiswa akan meniru.
Ketika dosen menulis dengan cinta, mahasiswa akan menyalin semangat itu. Sebab literasi bukan sekadar aktivitas kognitif, tetapi laku spiritual: membaca untuk memahami ciptaan, menulis untuk menyaksikan kebesaran Sang Pencipta.
Dalam tradisi sufi, membaca bukan hanya aktivitas intelektual, melainkan ibadah hati. Membaca dunia adalah membaca tanda-tanda Tuhan. Ketika mahasiswa diajak merenungi teks dan konteks, sejatinya ia diajak menempuh jalan ma’rifah mengenali kebijaksanaan Ilahi yang tersembunyi dalam pengetahuan.
Namun, kebangkitan budaya literasi tidak boleh berhenti pada romantisme masa lalu. Literasi hari ini menuntut bentuk baru: literasi yang berani berdialog dengan teknologi dan kecerdasan buatan (AI).
Mahasiswa dan akademisi perlu belajar bukan hanya bagaimana membaca buku, tetapi juga bagaimana membaca algoritma, data, dan wacana digital dengan kesadaran kritis. Tantangan berpikir di era AI adalah menjaga agar nalar manusia tidak tergantikan oleh logika mesin, melainkan diperkuat olehnya.
Karena itu, budaya literasi harus dihidupkan kembali bukan sekadar menyalin informasi, tetapi menumbuhkan daya tafsir, kedalaman makna, dan kebijaksanaan dalam menggunakan ilmu pengetahuan. Di sinilah kampus diuji: mampu atau tidak menjadi ruang di mana literasi tradisional dan literasi digital berpadu dalam semangat kemanusiaan.
Selain literasi, pengabdian kepada masyarakat juga mulai kehilangan rohnya. Banyak program hanya menjadi formalitas administratif, bukan gerakan nurani.
Akademisi sejati memahami bahwa pengabdian bukan pelengkap tri dharma, tetapi puncak dari dua dharma sebelumnya: hasil berpikir (pendidikan) dan hasil analisis (penelitian) yang diwujudkan dalam aksi nyata.
Pengabdian yang sejati lahir dari empati, bukan sekadar proyek. Ia tumbuh dari kesadaran bahwa ilmu harus membumi, bukan hanya berputar di ruang seminar. Akademisi harus menuntun mahasiswa kembali ke akar realitas social mendengar jeritan masyarakat, menyerap denyut kehidupan, dan menghadirkan solusi. Di sinilah ilmu menemukan maknanya yang paling luhur: memberi hidup bagi yang lain.
Akademisi sebagai Penjaga Cahaya
Akhirnya, peran akademisi tidak berhenti pada ruang kuliah atau lembar jurnal. Ia adalah penjaga cahaya penerus tradisi panjang para ulama, cendekia, dan sufi yang memandang ilmu sebagai cahaya Tuhan yang tak boleh padam.
Di tengah era yang serba instan dan bising, akademisi dipanggil untuk menjaga kedalaman, menumbuhkan kebijaksanaan, dan menyalakan lentera makna.
Ia bukan sekadar pengajar, tetapi penuntun jiwa; bukan hanya pencetak sarjana, tetapi pembentuk manusia. Dalam setiap langkahnya, ia menanamkan keyakinan bahwa ilmu yang sejati adalah ilmu yang menuntun pada kemanusiaan dan ketuhanan.
Dalam bahasa para arif, “Ilmu tanpa hikmah hanyalah beban, dan hikmah tanpa pengamalan hanyalah ilusi.” Maka akademisi sejati adalah mereka yang memadukan ilmu dan hikmah, berpikir dengan akal dan bergerak dengan hati.
Di tengah zaman yang tergesa, mereka hadir sebagai penenang pengingat bahwa tidak semua yang cepat itu benar, dan tidak semua yang instan itu bijak. Akademisi yang demikian bukan sekadar warga kampus, tetapi penjaga ruh peradaban.
***
*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |