https://jatim.times.co.id/
Opini

Krisis Upah, Buruh di Bawah Pertumbuhan Semu

Jumat, 10 Oktober 2025 - 11:42
Krisis Upah, Buruh di Bawah Pertumbuhan Semu Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

TIMES JATIM, MALANG – Di negeri ini, bekerja belum tentu berarti hidup layak. Setiap pagi, jutaan buruh berangkat dengan semangat yang sama mengais penghidupan dari mesin-mesin industri dan keringat yang tak pernah kering. Mereka bekerja lebih keras dari siapa pun, tapi pulang dengan upah yang tak cukup untuk sekadar merasa sebagai manusia.

Negara memuji diri sendiri atas pertumbuhan ekonomi 5 persen, tapi lupa bahwa di balik angka itu berdiri 109 juta pekerja yang masih menerima upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Negara menyebut ini kemajuan, padahal yang terjadi adalah stagnasi yang disulap jadi optimisme.

Pemerintah mengumumkan kenaikan rata-rata UMP 6,5 persen pada 2025. Angka yang tampak indah di podium konferensi pers, tapi kehilangan makna di meja makan buruh. 

Di Jawa Timur, misalnya, UMP ditetapkan Rp 2,3 juta. Tapi survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menunjukkan hidup “layak” memerlukan Rp 4 sampai 4,5 juta. Artinya, bahkan kenaikan itu tidak cukup untuk membeli kenyataan.

Buruh tetap menghitung ulang isi dompet setiap akhir bulan bukan untuk menabung, tapi untuk menentukan: beras, listrik, atau ongkos anak sekolah, mana yang harus dikorbankan lebih dulu. Upah naik, tapi hidup tak bergerak. Sebab upah di negeri ini bukan alat keadilan, hanya ritual tahunan tanpa makna sosial.

Upah Minimum, Sekadar Simbol Kepedulian

Lebih dari separuh pekerja formal di Indonesia masih menerima upah di bawah UMP, menurut Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Artinya, bahkan regulasi yang paling dasar pun gagal dijalankan.

Di sektor informal yang menampung 59,4 persen tenaga kerja nasional upah minimum bahkan hanya menjadi mitos. Pekerja tanpa kontrak, tanpa asuransi, tanpa jaminan, tetap bekerja karena tidak ada pilihan lain.

Negara seolah puas membuat aturan, tapi abai memastikan pelaksanaannya. 

Di mata buruh, hukum ketenagakerjaan adalah janji yang tak pernah ditepati.

Setiap kali pemerintah mengumumkan kenaikan upah, sebagian pengusaha menanggapinya dengan ancaman halus: efisiensi. Pada awal 2025 saja, Apindo mencatat 73.992 pekerja kehilangan pekerjaan, sementara pemerintah hanya mengakui sekitar 24 ribu.

Perbedaan angka ini menggambarkan betapa buruh selalu kalah dalam narasi. Ketika mereka kehilangan pekerjaan, itu disebut “penyesuaian pasar”. Ketika mereka menuntut upah layak, itu disebut “menghambat investasi”. Dalam logika negara yang sibuk memikat investor, buruh bukan lagi warga negara, melainkan biaya operasional yang harus ditekan.

Perempuan di Lapisan Terbawah

Di antara yang paling terpinggirkan, buruh perempuan menempati posisi paling sunyi. Data Komnas Perempuan 2025 menunjukkan mereka menerima 10–20 persen lebih rendah dari laki-laki di posisi yang sama. Mereka mengisi pabrik konveksi, toko ritel, dan layanan rumah tangga.

Jam kerja panjang, upah rendah, tanpa perlindungan hukum memadai. Keringat mereka menopang industri, tapi nama mereka jarang tercatat dalam laporan ekonomi negara. Krisis upah, dalam hal ini, juga adalah krisis gender. Negara gagal menegakkan keadilan, bahkan di tempat yang paling konkret.

Kita punya PP No. 6 Tahun 2025, yang menjanjikan kompensasi 60 persen gaji selama enam bulan bagi korban PHK. Tapi seperti kebanyakan janji negara, ia hanya berjalan di atas kertas. 

Indonesia memiliki sekitar 2.500 inspektur ketenagakerjaan untuk mengawasi puluhan juta pekerja. Satu orang mengawasi ratusan perusahaan. Bagaimana mungkin keadilan tumbuh dari sistem yang bahkan tak punya mata untuk melihat pelanggaran?

Negara tampak cekatan ketika memberi karpet merah bagi investor, tapi kaku ketika diminta memberi perlindungan pada buruh. Keberpihakan yang timpang ini menjelaskan segalanya, kesejahteraan rakyat tak lagi jadi prioritas, hanya efek samping pertumbuhan.

Alasan klasik pemerintah dan pengusaha selalu sama, “Produktivitas pekerja kita rendah.” Mereka lupa, produktivitas tidak tumbuh dari perut yang lapar. Produktivitas lahir dari pelatihan, fasilitas, gizi, dan kepastian hidup. 

Bagaimana mungkin pekerja bisa efisien jika separuh gajinya habis untuk transportasi dan sisa kecilnya untuk makan seadanya? Produktivitas dijadikan tameng untuk menolak keadilan. Padahal yang rendah bukan semangat kerja buruh, tapi niat politik untuk memperbaiki sistemnya.

Pertumbuhan Tanpa Kemanusiaan

Negeri ini sedang mabuk pembangunan. Jalan tol baru dibuka, pabrik baru berdiri, angka investasi melonjak. Namun di balik gemuruh kemajuan itu, jutaan pekerja masih berjuang membeli sekarung beras. Pertumbuhan ekonomi tanpa kesejahteraan adalah pertumbuhan tanpa rasa. 

Kita membangun gedung tinggi, tapi membiarkan moral kebijakan tenggelam di lantai bawah. Upah seharusnya bukan sekadar alat ekonomi. Ia adalah pengakuan atas nilai manusia. Namun kini, upah menjadi cara paling halus untuk memastikan rakyat tetap tunduk.

Krisis upah bukan sekadar masalah ekonomi, tapi cermin dari ketimpangan kekuasaan. Negara yang seharusnya menjadi sekutu rakyat, kini berdiri di sisi pasar. Kita tidak kekurangan aturan, hanya kekurangan keberanian. Kita tidak kekurangan data, hanya kehilangan empati.

Pemerintah harus menegakkan pengawasan ketenagakerjaan dengan sungguh-sungguh, memperluas perlindungan bagi sektor informal, dan menyesuaikan upah berdasarkan kebutuhan hidup riil, bukan sekadar rumus inflasi. Keadilan sosial bukan utopia, melainkan mandat konstitusi. Dan mandat itu sedang diabaikan, diam-diam tapi sistematis.

Meski begitu, para pekerja tetap bangun setiap pagi. Mereka tetap berangkat kerja, menyalakan mesin, menyapu jalan, mengangkat barang, melayani pelanggan. 

Mereka tahu upahnya kecil, tapi tidak punya kemewahan untuk menyerah. Mereka adalah fondasi negeri ini berdiri tegak di atas kelelahan. Tanpa mereka, semua klaim pertumbuhan hanyalah angka kosong di layar presentasi.

Krisis upah adalah luka kolektif yang kita biarkan terbuka. Dan selama negara terus diam, luka itu akan menjadi yang menelan makna kemerdekaan. Buruh tetap bekerja. Negara tetap diam. Dan diam, dalam konteks ini, adalah bentuk paling halus dari pengkhianatan.

***

*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.