https://jatim.times.co.id/
Opini

Paradoks Bantuan Pendanaan Beasiswa

Sabtu, 27 September 2025 - 15:25
Paradoks Bantuan Pendanaan Beasiswa Muhammad Wahyu Prasetyo Adi, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya.

TIMES JATIM, MALANG – Baru-baru ini, anggota DPR RI Komisi XI, Primus Yustisio, menyoroti persoalan serius dalam dunia pendidikan, yakni beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Menurutnya, eksistensi beasiswa ini patut dipertanyakan, terutama terkait transparansi dan keadilannya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.

Kritik tersebut lahir dari kegelisahan bahwa LPDP lebih sering diposisikan sekadar sebagai laporan agregat serapan dana, tanpa benar-benar menjawab siapa yang seharusnya berhak menerima. 

Pemerintah memang dapat berbangga diri atas banyaknya penerima beasiswa, tetapi pertanyaan mendasar tetap muncul: apakah penerima itu berasal dari kelompok masyarakat yang kurang mampu atau justru mereka yang sudah mapan secara finansial?

Primus menemukan fakta di lapangan bahwa banyak masyarakat miskin yang lebih membutuhkan justru belum terakomodasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis: apakah beasiswa negara yang dibiayai dari anggaran publik hanya akan menjadi “hadiah” bagi mereka yang pintar sekaligus kaya? Jika demikian, tujuan mulia beasiswa untuk membuka akses pendidikan justru melenceng dari makna keadilan sosial.

Tidak heran jika isu ini menimbulkan polemik di ruang publik. Beasiswa LPDP bukan program kecil. Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan dana triliunan rupiah. 

Dalam logika sederhana, besarnya anggaran itu seharusnya mencerminkan keseriusan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, jika distribusi dana tidak tepat sasaran, keseriusan itu hanya menjadi klaim sepihak yang tidak dirasakan oleh masyarakat yang paling membutuhkan.

Paradoks inilah yang ditegaskan oleh Primus. Pemerintah tampak serius menggelontorkan dana, tetapi gagal memastikan siapa yang benar-benar layak dibantu. Faktanya, banyak penerima beasiswa datang dari keluarga yang sudah mapan, dengan akses ekonomi, kapasitas intelektual, bahkan jaringan sosial yang memadai. 

Sebaliknya, anak-anak dari keluarga miskin sering kali terpinggirkan karena terbentur persyaratan administratif yang berbelit-belit, biaya tambahan untuk mengurus dokumen, atau kurangnya fasilitas pendukung.

Kondisi ini menunjukkan bahwa birokrasi pendidikan kita masih jauh dari representatif. Gemuknya struktur birokrasi hingga ke tingkat daerah ternyata tidak menjamin ketepatan sasaran penerima beasiswa. 

Sistem yang ada justru lebih memudahkan mereka yang sudah memiliki privilese, sementara kelompok marginal kesulitan menembus dinding administratif. Akibatnya, alih-alih menutup kesenjangan sosial, beasiswa justru memperlebar jurang antara yang mampu dan tidak mampu.

Fenomena ini menimbulkan dampak sosial yang serius. Pertama, mereka yang sudah kuat secara ekonomi semakin diuntungkan, sementara yang lemah semakin tertinggal. 

Kedua, daerah-daerah periferal makin tersisih, karena akses beasiswa cenderung lebih mudah dijangkau oleh masyarakat perkotaan dengan fasilitas memadai. 

Ketiga, generasi muda dari keluarga tidak mampu bisa kehilangan harapan, karena merasa perjuangan mereka terbentur sistem yang tidak berpihak.

Primus bahkan menekankan, jika tidak ada filter khusus bagi kelompok tak mampu, akses beasiswa akan terus didominasi mereka yang memiliki privilese. Data empiris juga menunjukkan bahwa siswa berprestasi cenderung datang dari keluarga mampu.

Sejak awal mereka sudah didukung sarana belajar, gizi, hingga lingkungan yang kondusif. Artinya, negara masih gagal menjawab amanat konstitusi untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan “memajukan kesejahteraan umum.”

Kritik ini semestinya menjadi alarm keras bagi para perumus kebijakan. LPDP harus dikembalikan ke khitahnya: membantu mereka yang benar-benar membutuhkan agar memiliki kesempatan yang sama dalam meraih pendidikan tinggi. 

Reformasi prosedur mutlak dilakukan, mulai dari penyederhanaan administrasi, pengawasan ketat, hingga pengalokasian kuota khusus bagi kelompok miskin dan daerah tertinggal.

Jika hal ini terus dibiarkan, beasiswa hanya akan memperkuat kenyamanan mereka yang sudah mapan, bukan membuka jalan bagi mereka yang sedang berjuang. Padahal, hakikat pendidikan adalah perjuangan kolektif untuk mencetak generasi intelektual yang peka terhadap realitas sosial.

Maka, pertanyaan yang dilontarkan Primus Yustisio tidak bisa dipandang remeh. Beasiswa bukan sekadar angka serapan anggaran atau laporan keberhasilan, tetapi harus mencerminkan keadilan. 

Saatnya negara memastikan bahwa setiap rupiah dana pendidikan benar-benar menyentuh mereka yang paling membutuhkan. Hanya dengan begitu, cita-cita konstitusi bisa diwujudkan: pendidikan yang inklusif, adil, dan berkeadilan sosial.

***

*) Oleh: Muhammad Wahyu Prasetyo Adi, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.